The Alchemists: Cinta Abadi

Ayah bahagia kau sudah pulang...



Ayah bahagia kau sudah pulang...

0Altair tersenyum lebar dan merentangkan tangannya.     

"Aku melihat lavender..." bisiknya ke telinga Alaric. "Ini seperti musim panas."     

Ayahnya tersenyum haru dan mengangguk. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap Aleksis dalam sekali. Bibirnya lalu mengucap 'terima kasih' tanpa suara.     

Aleksis tersenyum dan mengangguk, lalu tiba-tiba saja menghambur ke arah suaminya dan mencium Alaric.     

Aleksis merasa sangat bahagia, sehingga tak dapat lagi menahan perasaannya. Alaric memejamkan matanya dan menikmati kecupan bibir Aleksis pada bibirnya. Ia belum pernah sebahagia ini dalam hidupnya.     

"Uhmm.... aku tidak bisa bernapas..." keluh Altair yang barusan terjepit di antara keduanya.     

Orang tuanya segera tergugah dan buru-buru melepaskan diri. Aleksis tersenyum malu, karena tadi dialah yang berinisiatif mencium Alaric di depan semua orang.     

Kini setelah masalahnya terselesaikan dengan Lauriel, Nicolae dan anak-anaknya, ia merasa sangat lega dan tanpa dapat ditahan hatinya menariknya mendekat kepada Alaric, seakan tidak mau lepas lagi.     

"Hmm... aku tidak mengira masalahnya seperti ini..." Portia tiba-tiba angkat bicara. Ia sedari tadi memperhatikan apa yang terjadi dan hanya bisa mengurut dada. Ia kembali teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika baru bertemu Alaric di Glasgow. Waktu itu ia menyadari Alaric hampir tidak pernah tersenyum.     

Portia hanya melihat pemuda itu tersenyum ketika menerima panggilan telepon dari istrinya. Kini Portia melihat senyum kebahagiaan yang sama menghiasi wajah anak angkatnya ketika ada Aleksis di sisinya, dan sang putri mengerti bahwa ini gadis ini memang orang yang sama dengan yang dulu pernah membuat Alaric bahagia.     

Alaric hanya terlihat bahagia setiap ia bersama gadis ini, pikir Portia. Ia mengamati Aleksis dan menilai bahwa gadis ini sangat sempurna. Ia cantik, tata kramanya tidak bercela, dan terlebih dia adalah anak perempuan Caspar Schneider sendiri.     

Portia tidak dapat memikirkan gadis lain yang bisa menandingi Aleksis dalam hal kecantikan dan keturunan. Ia kemudian teringat kepada Kit Blue dan beberapa gadis lain yang sempat ingin ia jodohkan dengan Alaric dan kini ia sadar, tidak ada yang bahkan memiliki setengahnya saja kelebihan Aleksis.     

Semua orang menoleh ke arah Portia dan berusaha mengira-ngira apa yang akan dikatakannya. Bagaimanapun Portia adalah seorang putri bangsawan dari keluarga paling terpandang dan ia memiliki pengaruh besar di dalam klan. Pendapatnya akan memiliki nilai penting.     

"Aku pun demikian," Caspar menanggapi kata-kata Portia. "Aku sudah bertemu Eli dan kami tidak menemukan kesepakatan tentang beberapa hal. Peristiwa yang terjadi hari ini sama sekali di luar dugaanku."     

Alaric menatap Caspar tanpa berkedip. Ia tahu Caspar memaksudkan pola pikir mereka yang bertolak belakang tentang klan Alchemist. Genggaman tangannya pada tangan Aleksis sedikit mengencang, seolah siap melarikan gadis itu bersamanya, jika Caspar sampai menolak memberikan restunya.     

"Ini semua karena kau tidak mengumumkan anak perempuanmu," omel Portia. "Kau hanya mengumumkan anak-anak lelakimu. Kalau aku tahu kau punya anak perempuan, aku bisa lebih awal mengetahui bahwa menantuku masih hidup."     

Caspar mengerutkan keningnya dan menunjuk ke arah Sophia yang duduk di sebelah Portia, "Aku menyembunyikan anak perempuanku untuk melindunginya. Tidakkah kau tahu dulu Alexei, kakak Sophia menculik dan meracuni anakku hingga hampir mati? Aku hanya mencegah orang-orang jahat seperti mereka agar tidak menganggu Aleksis... Aku sudah beberapa kali hampir kehilangan anakku. Maka wajar kalau aku menjadi lebih protektif terhadapnya."     

"Sophia?" Portia menoleh ke arah Sophia yang seketika menjadi pucat, "Alexei berbuat begitu? Apakah kau tahu?"     

Sophia melengos, berusaha tidak membalas tatapan tajam Portia.     

"Sophia tahu Aleksis adalah anakku. Dia tidak pernah bilang?" tanya Caspar keheranan. Ia tampak sangat kecewa dan kesal. Sophia jelas-jelas tahu Aleksis adalah anaknya, karena dulu juga Sophia-lah yang memberi tahu Alexei tentang keberadaan anak perempuan Caspar itu. "Sophia, aku sudah memaafkanmu karena mengadu domba aku dan Finland. Ternyata hingga sekarang kau tidak juga berubah!"     

Alaric sangat terkejut mendengar bahwa sepupunya itu ternyata sengaja menyembunyikan informasi penting ini darinya, dan ia sangat marah ketika mengetahui bahwa Aleksis pernah hendak dibunuh oleh kakak Sophia.     

Ia melepaskan genggamannya dari tangan Aleksis dan sudah bergerak cepat mendapatkan Sophia. Tangannya lalu mencengkram leher gadis itu dan mengangkatnya ke udara.     

"Kakakmu mau membunuh Aleksis? Dan kau tahu tentang Aleksis dari semula tetapi kau sengaja menyembunyikannya dariku... Kenapa kau lakukan itu, Sophia?!" tanyanya dengan suara berat. Ia belum pernah semarah ini.     

Semua orang sangat terkejut melihat perbuatan Alaric. Sophia menggapai-gapai dan berusaha melepaskan diri dari Alaric tetapi pemuda itu terlalu kuat untuknya. Seketika Sophia menjadi sangat panik.     

Ia tahu Alaric dapat berbuat kejam dan ia sadar seharusnya dari tadi ia sudah menghilang karena cepat atau lambat mereka pasti akan menyadari perannya dalam kesalahpahaman ini... Tetapi tadi ia terlalu kaget dan tidak sempat melarikan diri.     

"Aghhhhh.... to.. tolong ak... akuu... " Suara Sophia yang tercekik dan menahan sakit membuat semua orang terkejut dan untuk sesaat tidak dapat berbuat apa-apa. Untunglah Nicolae dengan cepat segera menghampiri Alaric dan menarik tangannya agar melepaskan Sophia.     

"Alaric, jangan... tolong hentikan ini. Anak-anakmu melihat. Kau tidak boleh membuat mereka takut..." katanya tegas. Ia mencengkram bahu saudaranya dan memberi tekanan sehingga pelan-pelan lengan Alaric turun dan melepaskan leher Sophia.     

Gadis itu terjatuh ke lantai dan terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya. Ia sangat ketakutan. Baru saja ia lolos dari bahaya dan pengalaman itu membuatnya sangat jerih.     

Nicolae menahan Alaric yang masih sangat marah dan menepuk-nepuk bahunya berusaha menenangkan saudaranya yang pemarah. Pelan-pelan Alaric dapat menguasai diri dan ia berdiri diam menatap Sophia dengan pandangan tajam.     

"Sophia... kau sengaja menyembunyikan hal ini.. Kenapa kau tega sekali?" tanya Portia dengan nada kecewa. "Aku benar-benar tidak mengira kau sanggup berbuat begini kepada sepupumu sendiri..."     

"Ini semua karena Aleksis..." bisik Sophia sambil berusaha mengatur napasnya. "Gara-gara dia kakakku dihukum dengan Kematian.. Aku sekarang tidak punya siapa-siapa lagi..."     

Lauriel mendatangi Portia dan memegang tangannya, "Portia... akulah yang menghukum Alexei dengan Kematian. Ia berusaha membunuh anak angkatku, dan ia juga menjebakku dengan menggunakan nama Luna. Caspar masih berbaik hati membiarkan Sophia membawa Alexei ke Swiss dan hidup tenang di sana, tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Kalau kau mau marah karena Alexei, kau boleh marah kepadaku, tetapi jangan libatkan Aleksis."     

Portia menghela napas. Ia memang memendam rasa kesal kepada Caspar sejak keponakannya, Alexei dihukum menjadi manusia biasa. Tetapi ia tidak mengetahui apa latar belakang peristiwa yang membuat Alexei dihukum, karena Sophia membohonginya selama ini.     

"Alexei tidak melakukan itu demi membalas kematian Famke, seperti yang sudah disampaikan dalam sidang waktu itu, Famke disuruh oleh Alexei sendiri." Caspar menambahkan. "Maaf kalau selama ini kau salah paham. Aku tidak mau mengungkit masalah lama, karena itulah selama ini aku tidak merasa perlu membahasnya."     

Portia mengangguk.     

"Aku sekarang mengerti." Ia menoleh ke arah Aleksis dan melambaikan tangannya. "Kemarilah, Nak. Biarkan aku melihatmu baik-baik."     

Aleksis berjalan mendekati Portia dan membungkuk sedikit, "Bibi Portia."     

"Hmm... aku senang bertemu denganmu hari ini." Portia tersenyum dan menyentuh pipi Aleksis dengan sikap keibuan, "Kuharap kau dan anak-anakmu bersedia sering-sering mengunjungi kami ke Glasgow. Rumah kami selalu sepi."     

Aleksis tersenyum dan mengangguk. "Dengan senang hati, Bibi."     

Alaric yang sudah menenangkan dirinya berjalan menghampiri Aleksis dan merangkul pinggangnya. "Ibu, aku akan membawa Aleksis berkunjung ke Glasgow. Jangan kuatir."     

"Bagus." Portia mengangguk ke arah Lauriel, "Kuharap kau juga mau datang berkunjung sekali-sekali."     

Lauriel ikut mengangguk. Bagaimanapun Portia adalah sepupu kesayangan Luna, dan mereka memiliki hubungan yang sangat dekat.     

Untuk sesaat pandangan mata Lauriel dan Alaric beradu, dan kini, Alaric dapat menjadi lebih bersimpati kepada ayahnya, karena ia sudah merasakan sendiri betapa sedih perasaannya ketika terlambat mengetahui bahwa ia mempunyai anak-anak sehingga kehilangan sangat banyak waktu bersama mereka...     

Ia sadar, kalau ia sangat mencintai Aleksis dan kedua anak mereka dan akan rela mengorbankan apa pun demi melindungi mereka, tentu Lauriel pun memilki perasaan yang sama terhadap dirinya dan saudaranya...     

Kalau saja ayahnya tahu tentang mereka sedari awal.. Alaric kini yakin bahwa Lauriel akan melakukan apa pun untuk mereka, dan ia takkan pernah membiarkan anak-anaknya hidup sendirian dan berjuang mempertahankan diri di dunia yang keras ini...     

Tetapi ayahnya tidak tahu...     

"Ayah... maafkan aku," katanya tiba-tiba. Suaranya mengagetkan Lauriel yang sama sekali tidak mengira Alaric akan memanggilnya ayah.     

Alaric melepaskan rangkulannya pada Aleksis dan menghampiri ayahnya. Awalnya ia terlihat sungkan, tetapi kemudian Alaric memeluk Lauriel dan membenamkan wajahnya ke bahu ayahnya.     

Lauriel terpaku di tempatnya. Hal ini sangat tiba-tiba dan ia menjadi shock. Ia tak menduga Alaric akan mau menerimanya dan memanggilnya ayah.     

"Anakku..." bisik Lauriel dengan suara tercekat, setelah kesadarannya pulih. Ia menepuk-nepuk bahu anaknya dan membalas pelukan Alaric dengan lebih erat. "Selamat datang. Ayah sangat bahagia kau sudah pulang."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.