The Alchemists: Cinta Abadi

Semua Kesalahan Lauriel



Semua Kesalahan Lauriel

0"Maafkan kami terlambat." Tiba-tiba terdengar suara Terry yang ceria dari pintu depan. "Ada yang ngambek dan kabur dari rumah dan perlu waktu berjam-jam baru kami bisa menemukannya."     

Ia masuk sambil memanggul Jean-Marie di bahunya. Anak perempuan itu tampak cemberut. "Aku sudah bilang aku tidak mau kemana-mana sebelum aku diberikan beruangkuuuu....."     

"Eh, Monyet Kecil, di rumahmu sudah ada 5 anjing, ya..." omel Terry. "Tidak ada tempat untuk beruang."     

Suasana serius di dalam ruangan seketika buyar akibat kedatangan Terry dan adik perempuannya. Nicolae melepaskan tangannya dari Aleksis dan segera menyambut kedatangan sahabatnya sambil membawa Vega bersamanya.     

"Hei... selamat datang, Jean-Marie... Kenapa wajahmu kesal sekali? Perkenalkan ini Vega. Kalian bisa bermain dengan anjingnya, sementara menunggu beruangmu ya..." katanya dengan ramah.     

Terry menurunkan Jean-Marie agar dapat bertemu Vega dan Nicolae bersimpuh di depan anak perempuan itu untuk memeluknya.     

"Paman Nicolae... " sapa Jean-Marie masih dengan wajah cemberut setelah ia mencium pipi Nicolae. Ia lalu menatap Vega dan anjing dalam gendongannya dan mengulurkan tangannya, "Hai... aku Jean-Marie Wang."     

Finland tertegun mendengar nama anak perempuan itu. Ah... ini pasti putri Jean dan Marion. Matanya segera mencari-cari ke arah pintu, berharap melihat Jean segera masuk dari situ.     

Benar saja, tidak sampai satu menit kemudian, sahabat yang dirindukannya itu muncul. Sebelum ia dapat berkata apa-apa, Finland telah menghambur menghampirinya.     

"Astaga, Jean... apa kabarmu? Aku sangat merindukanmu!!" seru Finland dengan suara emosional. Selama sepuluh tahun ia tidak pernah berjumpa Jean lagi. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Jean ikut mengasingkan diri bersama Marion, padahal ia tidak memiliki masalah apa-apa dengan Finland dan keluarganya.     

Ia sering kali menghubungi Jean dan mengajaknya bertemu, tetapi sahabatnya itu selalu menolak, dan membuat Finland sangat sedih karena ia tak tahu apa yang terjadi. Kini, melihat Jean kembali setelah sepuluh tahun membuat Finland tak dapat membendung lagi keharuannya.     

Jean membalas pelukan Finland dan mengusap-usap punggungnya. Ia tak sanggup memberikan alasan, bahkan setelah sepuluh tahun berlalu.     

"Maafkan aku..." Hanya itu yang dapat dikatakannya.     

Marion kemudian muncul di belakangnya, masih cantik dan mengagumkan seperti dulu, tetapi pandangan matanya kini tampak sedih. Ia hanya terpaku menyaksikan pertemuan kembali suaminya dengan Finland, dan ia merasa bersalah karena menyadari ialah penyebab Jean tidak dapat bertemu Finland dan anak-anaknya yang sangat disayangi Jean.     

Pandangan Marion kemudian menyapu ke seisi ruangan dan saat matanya beradu dengan Lauriel seketika hatinya bergetar. Ia memberanikan diri berjalan mendekati Lauriel. Setelah sepuluh tahun, sudah saatnya ia pulih dan menguatkan dirinya untuk menghadapi Lauriel dan Aleksis. Ia berusaha bersikap baik-baik saja.     

"Marion..." Lauriel menyapa gadis itu dengan dingin. Ia seketika ingat perkataan Alaric bahwa sepuluh tahun yang lalu ia menceritakan semuanya kepada Marion dan seharusnya Lauriel tahu bahwa Alaric adalah anaknya.     

Kenyataannya adalah Marion tidak pernah mengatakan apa-apa... dan selama ini ia tidak mengetahui informasi yang demikian penting.     

"Lauriel..." balas Marion tenang. "Apa kabar?"     

Ekspresi wajah Lauriel berubah menjadi gelap, karena ia menyadari bahkan setelah sepuluh tahun Marion masih akan berbohong kepadanya. Suaranya terdengar sangat lelah ketika ia mengkonfrontasi Marion. "Apa yang terjadi sepuluh tahun lalu di Targu Mures?"     

Seketika gadis itu terpaku. Ia tak mengira Lauriel akan langsung menanyakan hal itu kepadanya. Ada apa ini?     

Saat itulah Alaric yang tadi tersembunyi dari pandangan Marion di balik tubuh Aleksis bangkit berdiri, dan kini Marion bisa melihat pemuda yang membuatnya sering mimpi buruk selama bertahun-tahun... sekarang ada di depannya. Memandangnya dengan wajah sedingin es.     

"Ka... kau masih hidup...?!" Suara jeritan tertahan Marion seketika membuat suaminya tergugah dan segera menghampiri gadis itu.     

"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Jean sambil merangkul bahu Marion. Ia lalu menoleh dan melihat Lauriel yang menatap Marion dengan sorot mata kecewa dan marah sekaligus menjadi satu, sementara di sampingnya berdiri seorang pemuda yang tidak dikenal Jean...     

Sebentar, ia seperti pernah melihat pemuda ini, tapi ia tidak ingat di mana.     

"Marion... kenapa kau tega menyembunyikan informasi yang demikian penting dariku?" tanya Lauriel dengan suara menahan kemarahan. Matanya berkilauan akibat emosinya yang ditahan.     

Seketika Marion merasakan dadanya sesak hingga ia kesulitan bernapas. Dengan susah payah ia memukul-mukul dadanya agar ia dapat bernapas.     

"Ahh.. ah... aku... aku tidak bisa bernapas..." Sepasang matanya menjadi panik saat ia terhuyung dan berusaha mencari pegangan.     

Jean yang sangat kuatir segera membantunya duduk dan membuka kancing bajunya.     

"Ssshh... tenanglah... tenanglah, Marion, ada aku di sini..." Ia berusaha membantu Marion tetapi kondisi gadis itu tidak membaik. Air matanya membanjir saat ia berusaha bernapas dan menahan tangis pada saat yang sama.     

Jean sangat menyesal telah datang ke acara ini. Seharusnya ia dan Marion diam di rumah saja. Ia rela tidak bertemu Finland dan semua orang asalkan Marion baik-baik saja.     

"Aku menyerang dan membunuh anakku sendiri dan tidak mengetahui keberadaannya selama sepuluh tahun... Karena kau berbohong kepadaku!" Akhirnya emosi Lauriel tidak dapat ditahan lagi dan ia meninju pilar di sampingnya karena frustrasi.     

Air mata menetes dari matanya saat ia mengingat kembali peristiwa itu. Saat ia menyadari bahwa orang yang mereka tembak telah menghilang dan Marion mengatakan Alaric Rhionen jatuh ke jurang, sementara Lauriel yakin sekali orang itu sudah terluka atau mati ketika tubuhnya tertembak dan tidak mungkin jatuh ke jurang dengan sendirinya...     

Kini ia menyadari bahwa Marion sendiri yang menjatuhkan tubuh anaknya ke jurang.. mungkin untuk mencegah agar Lauriel tidak tahu bahwa ia baru saja membunuh anaknya sendiri.     

Marion menarik napas berkali-kali dan dengan bantuan Jean akhirnya ia berhasil menenangkan dirinya. Ia lalu menatap Alaric yang berdiri menatapnya dengan dingin dan seketika hatinya menjadi ciut. Marion sungguh tidak pernah melupakan wajah itu. Alaric sering datang dalam mimpi buruknya.     

Tanpa terasa air matanya kemudian mengalir deras. Ia ingat ketika Alaric terkena berondongan peluru dan sebelum jatuh ke tanah pemuda itu menatapnya dengan pandangan yang dipenuhi kekecewaan... Ia tahu ia ditipu oleh Marion yang menyamar sebagai Aleksis di satu detik terakhir sebelum ia memejamkan mata.     

"Kau... Alaric Rhionen..." desis Marion di sela isak tangisnya yang tidak dapat ditahan lagi. "Maafkan aku... maafkan kami..."     

Semua orang yang hadir seketika terkejut mendengar kata-kata Marion.     

"Kenapa kau menyembunyikan informasi ini, Marion? Aku sangat kecewa kepadamu!" desis Lauriel menahan kemarahan dan kesedihan sekaligus. "Kau membuang tubuhnya ke jurang supaya aku tidak menemukannya... Kenapa?? Kenapa kau tega sekali??"     

Lauriel menghampiri Marion dan mengguncang-guncang bahunya dengan kekecewaan yang mendalam. Jean yang melihat Marion dimarahi segera menepis tangan Lauriel dan mendorong pria itu sekuat tenaga hingga Lauriel terhuyung ke belakang.     

"Jangan sentuh istriku!" bentak Jean tidak kalah marah. "Kau tidak boleh memperlakukan istriku seperti itu. Dia bukan lagi anak buahmu!"     

"Marion membuang tubuh anakku dan menyembunyikan kebenarannya selama ini... sehingga aku terlambat mengetahui keberadaannya selama sepuluh tahun.. Kau punya anak, kan? Bagaimana perasaanmu kalau anakmu diambil darimu tanpa sepengetahuanmu selama selama sepuluh tahun?" Lauriel berteriak kepada Jean.     

Kekecewaannya kepada dirinya sendiri ikut keluar dan meluap, karena ia telah menelantarkan Alaric seumur hidupnya. Ia merasa bersalah dan marah kepada dirinya sendiri atas apa yang terjadi.     

"Dia melakukannya untukmu, brengsek!" Jean tidak tahan lagi melihat Marion disalahkan. Ia mendekap Marion di dadanya dan menatap Lauriel dengan pandangan menyala-nyala.     

"Dia menyembunyikan kebenaran karena kau telah membunuh anak kandungmu sendiri... Marion takut kau akan menyalahkan dirimu sendiri dan menjadi hancur, seperti dulu saat kekasihmu meninggal dunia. Marion sangat menyayangi dan menghormatimu.. sehingga ia membuang mayat Alaric supaya kau tidak mengetahui bahwa orang yang kau serang dan kau bunuh adalah anak kandungmu sendiri!!"     

Jean menjadi sama emosionalnya dengan Lauriel. Ia telah menahan penderitaan selama sepuluh tahun juga, karena kondisi Marion yang trauma, dan ia tidak rela bila Marion yang harus menanggung semua kesalahannya, hanya karena istrinya itu ingin melindungi Lauriel.     

"Kau tahu, Marion menanggung dosa itu sendirian... selama sepuluh tahun ini ia trauma dan terpukul, karena ia harus menyimpan semua rahasia ini demi menjaga perasaanmu!! Jangan berani-beraninya kau menyalahkan dia atas apa yang terjadi!!"     

Lauriel terpaku di tempatnya mendengar kata-kata Jean. Ia merasa sangat terpukul, karena ternyata lagi-lagi dirinyalah penyebab semua kedukaan ini.     

Seandainya dulu ia tidak salah bicara kepada Luna dan menuruti saja kehendak kekasihnya itu untuk berdiam dan membina keluarga, Luna tidak akan meninggalkannya dan ia tidak akan meninggal di tengah peperangan...     

Anak-anak mereka tidak akan terpisah dan hidup sebatang kara selama seratus tahun...     

Ia tidak akan mengakibatkan kematian Alaric...     

Dan Marion tidak perlu menyembunyikan kenyataan yang demikian memilukan ini....     

Semua ini adalah kesalahanku, pikir Lauriel dengan getir... Aku yang bertanggung jawab atas semuanya....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.