The Alchemists: Cinta Abadi

Alaric dan Lauriel



Alaric dan Lauriel

0Mereka sangat merindukan satu sama lain dan semua kesedihan selama sepuluh tahun yang selama ini mereka tanggung sendiri di dalam hati akhirnya meluap tanpa dapat ditahan lagi. Akhirnya Alaric menghentikan ciumannya dan melonggarkan pelukannya untuk menatap Aleksis dengan penuh keharuan.     

Keduanya saling memandang dengan takjub dan mata yang basah. Tidak ada yang sanggup berkata apa-apa, karena terlalu banyak yang ingin diungkapkan tetapi tidak satu kata pun dapat mewakili perasaan bahagia keduanya.     

Ketika Aleksis bergerak hendak melangkah tanpa sadar ia mengeluh kesakitan. Aleksis baru menyadari telapak kakinya terluka. Karena tadi terburu-buru mengejar Alaric ia melepaskan sepatunya yang menganggu, dan kini kakinya terluka oleh berbagai ranting dan kerikil yang dilaluinya di sepanjang jalan.     

"Oh.. kakimu terluka.." Alaric yang mendengar Aleksis kesakitan buru-buru bersimpuh dan memeriksa kakinya. "Kenapa kau melepas sepatumu?"     

Ia segera ingat tadi gadis itu memakai sepatu sandal yang anggun dan tentu merepotkannya saat berlari mengejar Alaric. Kakinya menjadi terluka karena aku, pikir Alaric sedih.     

Ia segera mengangkat tubuh Aleksis sebelum gadis itu dapat mencegahnya dan menaruh Aleksis dengan hati-hati di atas sebuah pohon tumbang dan kemudian memeriksa kakinya dengan penuh perhatian.     

"Lukanya kecil-kecil tetapi banyak... kau jangan berjalan dulu." Ia membersihkan kaki Aleksis dengan penuh kasih sayang dan kemudian mencium lututnya. "Biar aku saja yang menggendongmu."     

Aleksis tersenyum melihat betapa Alaric sama sekali tidak berubah. Pria itu selalu memperlakukannya seperti ratu.     

Aleksis mengangguk dengan air mata kembali berlinang. Ia tak sanggup menjawab. Mereka lalu saling bertatapan, dengan Alaric bersimpuh di kaki Aleksis dan memeluk lututnya, dan untuk beberapa lama tidak berkata apa-apa.     

"Aleksis..." Alaric akhirnya buka suara. "Pulanglah bersamaku."     

Saat itu, barulah Aleksis ingat, Kastil Medici hampir menjadi rumahnya karena besok ia hampir menikah dengan Nicolae.     

Tidak, ini bukanlah rumahnya. Rumahnya adalah bersama Alaric. Ia harus pulang bersama suaminya yang kini telah datang menjemputnya, setelah sepuluh tahun berpisah.     

Aleksis mengangguk. "Kita harus menemui ayahku dan Paman Rory dan menceritakan semuanya. Aku tidak mau diam-diam seperti dulu dan membuat mereka kuatir."     

Alaric ingat Paman Rory adalah Lauriel, ayahnya sendiri.     

"Ayahmu tidak menyukaiku, kami bertemu empat tahun lalu, dan Lauriel mungkin juga begitu. Kita akan menemui mereka, tetapi kalau mereka tidak mengizinkanmu pergi aku akan memaksa mereka menyerahkanmu," kata Alaric tegas. "Lebih baik aku mati daripada berpisah lagi denganmu."     

"Ssh... jangan berkata begitu." Aleksis buru-buru menutup mulut Alaric dengan tangan mungilnya. "Dari mana kau tahu Paman Rory tidak akan menyukaimu?"     

Aleksis kemudian ingat ayahnya pernah menyatakan ketidaksukaannya kepada anak angkat Ned dan Portia dan ia sadar bahwa Alaric benar. Pikiran itu seketika membuat dadanya sesak.     

Dan oh... Paman Rory sangat ingin melihatnya menikah dengan Nicolae. Tentu ia juga tidak akan menyukai Alaric yang datang membatalkan pernikahan... Aleksis hanya dapat menggigit bibirnya. Bagaimana ini...?     

"Paman Rory-mu adalah ayahku, Aleksis... Aku rasa dia juga tidak menyukaiku." Kata-kata Alaric seketika membuat Aleksis terkejut.     

"A.. ayahmu? Dari mana kau tahu ia ayahmu?" tanyanya dengan sepasang mata membulat besar. "Apakah..."     

Ia akhirnya ingat cerita Alaric tentang ibunya yang meninggal di Rumania. Putri Luna juga meninggal di Rumania... Apakah Alaric anak Paman Lauriel dari Putri Luna juga??     

Oh Tuhan..!! Ternyata Aleksis jatuh cinta dan menikah dengan anak Lauriel sendiri!     

"Aku baru mengetahui bahwa ia ayahku ketika aku bertemu Portia dan ia menceritakan semuanya. Lauriel tidak menginginkan anak, itu sebabnya ibuku meninggalkannya dan pergi ke Jerman, sebelum akhirnya ia meninggal ketika menyelamatkan diri ke Rumania."     

Cerita Alaric membuat hati Aleksis menjadi sangat sedih. Ia dapat membayangkan betapa sedihnya perasan Luna ketika ia harus menanggung sendiri kehamilannya dan melahirkan di tengah serangan kota di masa perang.     

"Lauriel tahu aku anaknya ketika ia 'membunuhku' sepuluh tahun lalu. Aku menceritakan semua tentang diriku kepada anak buahnya yang menyamar sebagai dirimu untuk menjebakku... Ia tidak menyesal dan tidak mencariku. Aku sudah melupakan dendamku kepadanya.. Tetapi kalau ia sampai menghalangiku untuk membawamu pulang, aku tidak segan-segan membunuhnya."     

Aleksis menekap bibirnya dengan perasaan shock. Ia sama sekali tidak mengetahui cerita ini.     

Ia tidak tahu mana yang harus dipercayai... Alaric tidak mungkin berbohong.     

Tetapi Lauriel tidak mungkin sengaja membunuh anaknya sendiri, dan tidak mungkin ia membenci Alaric kalau ia mengetahui pria itu adalah anak Luna.     

Aleksis masih ingat betapa terharunya Lauriel saat mengetahui Nicolae adalah anaknya...     

"Kita harus menemui mereka dan bicara..." Akhirnya Aleksis memutuskan.     

"Baiklah. Aku akan menuruti keinginanmu," Alaric mengangguk setuju. Ia lalu bangkit dan mengangkat Aleksis dari tumbangan pohon. "Tetapi biarkan aku membersihkan kakimu dulu di danau. Biar lukanya bisa segera diobati."     

Tanpa menunggu persetujuan Aleksis ia telah membopong gadis itu ke tepi danau dan mendudukkannya di pangkuannya lalu dengan tangannya yang bebas ia membersihkan kaki Aleksis. Gadis itu hanya bisa menatapnya dengan takjub dan penuh terima kasih.     

"Paman Rory punya obat luka yang bagus, aku akan baik-baik saja," katanya kemudian.     

"Aku tahu," balas Alaric.     

"Terima kasih."     

"Kau terluka karena aku, sudah sewajarnya kalau aku yang merawatmu," kata Alaric.     

Kata-katanya membuat Aleksis terharu dan dengan penuh cinta ia kembali mencium Alaric. Ia takkan pernah puas menikmati bibir pria ini.     

Keduanya kembali berpagutan saat Alaric membalas ciuman Aleksis dengan penuh gairah. Ia tidak pernah bersama dengan wanita mana pun selama sepuluh tahun ini. Tidak ada yg mampu membangkitkan hatinya yang dingin, bagaimanapun cantik dan baiknya mereka. Hanya Aleksis yang selalu membuatnya bisa merasakan cinta.     

Keduanya tidak menyadari kedatangan Lauriel yang sangat terkejut menyaksikan Aleksis di pangkuan seorang laki-laki asing dan menciumnya dengan penuh cinta.     

"Aleksis! Sedang apa kalian di sini?" panggil Lauriel menggugah kedua insan yang sedang dimabuk cinta itu. Ia berjalan cepat dan menarik bahu Aleksis agar menjauh dari Alaric. "Siapa dia?"     

Aleksis sangat terkejut melihat kehadiran Lauriel. Wajah ayah angkatnya itu dipenuhi kemurkaan. Ia bangun dan secara refleks menggeser tubuhnya ke depan tubuh Alaric seolah berusaha melindungi pria yang dicintainya itu dari Lauriel.     

"Sshh... Sayang, kau tidak perlu melindungiku. Aku bisa menghadapinya sendiri," bisik Alaric. Seperti biasa suaranya selalu terdengar sangat lembut saat ia berbicara kepada Aleksis. Walaupun kini ia berubah, sudah menjadi orang yang memiliki reputasi dingin dan mengerikan, tetapi sikapnya kepada Aleksis tidak pernah berubah.     

"Aleksis ... siapa orang itu?" tanya Lauriel dengan suara tercekat. Tadi ia mencari Aleksis karena mendengar dari pelayan bahwa anak angkatnya itu berlari ke danau sambil menangis, sehingga ia menjadi kuatir. Ia sangat terkejut saat menemukan Aleksis sedang berduaan dengan seorang pria tak dikenal di tepi danau dan berciuman, padahal besok Aleksis akan menikah dengan Nicolae.     

Ia tahu Aleksis adalah gadis baik yang tidak pernah membuka hati untuk pria lain... Maka melihatnya tiba-tiba mencium seorang lelaki yang bukan Nicolae membuat Lauriel sangat marah.     

Tetapi ketika pasangan itu berbalik menghadapnya dan melihat betapa sikap Aleksis sangat protektif terhadap pemuda itu, hatinya mulai terguncang. Jangan-jangan ini adalah ...     

Tapi bukankah Alaric Rhionen sudah mati?     

Dan... bukankah Alaric adalah seorang manusia biasa yang seharusnya sekarang sudah sangat tua?     

Pertanyaan demi pertanyaan itu demikian mengganggu pikirannya, Lauriel ingin sekali mendapat jawaban.     

"Paman Rory ... Aku tidak bisa menikah dengan Nic... Suamiku masih hidup." kata Aleksis tegas. "Maafkan aku."     

"Aleksis...?" Lauriel mendekat berusaha menjangkau Aleksis tetapi Alaric menepis tangannya dengan kasar.     

"Kuingatkan kau, kalau sampai kau melangkah lagi, aku tidak akan segan-segan." Alaric mengeluarkan pistolnya dengan wajah yang sedingin es.     

Aleksis terkejut melihat Alaric mengeluarkan senjata di depan ayahnya sendiri, dengan refleks ia menepis tangan Alaric dan menegurnya, "Alaric, kau tidak boleh begitu kepada ayahmu!"     

Lauriel tertegun mendengar kata-kata Aleksis.     

"A.. ayah?" Ia mengerutkan kening mencoba memastikan tadi ia tidak salah dengar. "Apa kau bilang tadi?"     

Alaric menurunkan pistolnya dan menghela napas. Ia lalu mengusap rambut Aleksis dengan penuh kasih sayang dan berbisik ke telingnya, "Ayo kita pergi dari sini."     

Aleksis mengangguk. Ia merasa ini bukanlah tempat yang tepat untuk berbicara baik-baik. Alaric mengangkat tubuh Aleksis dengan ringan lalu berjalan meninggalkan ayahnya di danau. Lauriel masih terpaku di tempatnya ketika melihat kedua orang itu pergi menjauh.     

Seketika, seraut wajah cantik yang telah lama ia lupakan muncul menari-nari di benaknya. Wajah Luna yang telah sangat lama ia simpan jauh-jauh di dalam hatinya yang paling dalam kini kembali ke dalam pikirannya.     

Sepasang mata ungu pemuda yang bersama Aleksis tadi ... dan wajahnya yang memiliki garis-garis halus seperti perempuan, semuanya mengingatkannya akan Luna, kekasihnya.     

Apakah ... apakah Luna melahirkan anak yang lain?     

"Tunggu...!!" Lauriel berlari mengejar keduanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.