The Alchemists: Cinta Abadi

Alaric dan Altair



Alaric dan Altair

0Alaric memutuskan di saat terakhir untuk pergi ke Grosseto sehari lebih awal. Ia tidak sempat memberitahukan rencananya kepada Portia dan Ned. Ia pun tidak tahu apakah setibanya di Kastil Medici ia akhirnya akan sungguh-sungguh menemui ayahnya atau tidak.     

Lauriel tidak mengetahui wajahnya dan tentu tidak akan mengenalinya, jika Alaric tidak dengan sengaja memperkenalkan diri. Ia masih tetap bisa datang sebagai Elios Linden, atau siapa pun yang ia inginkan, karena orang-orang di Grosseto tidak mengetahui siapa dirinya.     

Ia tiba di Grosseto ketika hari masih siang sementara pesta untuk keluarga akan diadakan pada sore hari. Ia terlalu awal.     

Apakah ia terlalu bersemangat untuk datang ke sini hingga tiba demikian cepat?     

Alaric menggeleng-gelengkan kepala karena menyadari bahwa hal itu benar. Seumur hidupnya ia tidak pernah mengenal orang tuanya, dan kini untuk pertama kalinya ia akan bertemu ayahnya.     

Ia tak dapat menggambarkan perasaannya saat ini dan ia tidak tahu apa yang akan ia katakan di depan ayahnya saat kesempatan itu tiba, baginya untuk bertemu langsung dengan ayahnya dan menanyakan semua hal yang ingin ia tanyakan.     

Mobil berhenti di kaki bukit dan ia keluar mengamati sekelilingnya. Tempat ini indah sekali, terutama di musim gugur seperti sekarang. Ia akan berjalan-jalan dan menjelajahi sekitarnya, sebelum masuk ke area kastil. Ia ingin tahu seperti apakah daerah tempat tinggal keluarga ayahnya ini.     

Ratusan tahun yang lalu, ibunya pasti pernah juga datang ke sini bersama ayahnya ketika mereka masih bersama. Pemandangan yang ada sekarang dan zaman itu pasti tidak banyak berubah, pikirnya. Lembah di bawah sana, dan pohon-pohonnya, lalu hutan kecil di sana itu, pasti tidak jauh berbeda seperti yang dulu dilihat Luna dan Lauriel semasa muda.     

Ini seharusnya menjadi rumahnya.     

Ia menarik napas panjang dan mulai melangkah pelan-pelan menelusuri jalan setapak di depannya dengan perasaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ini adalah kastil kediaman keluarga ayahnya, dan entah mengapa, mengetahui hal itu membuat hatinya merasa sedih.     

Ia tidak membutuhkan istananya, maupun semua harta peninggalan Keluarga Medici. Ia sendiri adalah salah seorang lelaki paling kaya dan berkuasa di dunia.     

Namun tentu saja ada hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang, termasuk keluarga dan cinta, dan ia tidak punya keduanya. Ini kadang membuatnya merasa menjadi manusia termiskin di dunia.     

Satu-satunya yang ia miliki adalah ambisi dan mimpinya untuk menguasai dunia di bawah kakinya.     

"Whoooooo....!!!!" Sesaat lamunannya tergugah saat mendengar teriakan girang seseorang dari arah samping.     

Di antara pohon-pohon jeruk di tepi hutan ia melihat seorang anak perempuan berambut platinum sebahu tengah asyik mengejar kupu-kupu dengan lincah. Usianya mungkin sekitar 9 atau 10 tahun dengan penampilan yang sangat kasual; kaus lengan pendek berwarna merah muda dengan celana pendek putih dan sandal merah.     

Sebenarnya penampilannya itu cukup aneh mengingat suhu di musim gugur seperti ini sudah sangat dingin, tetapi sepertinya anak itu sama sekali tidak merasa terganggu walaupun pakaiannya lebih tepat dikenakan di musim panas.     

Diam-diam Alaric memperhatikan saja anak itu bermain-main dengan berbagai kupu-kupu di antara pohon-pohon jeruk. Ternyata bocah itu hanya menggoda mereka agar beterbangan, tidak sungguhan ingin menangkap kupu-kupu. Sesaat Alaric terpesona karena ia seolah melihat gambar di lukisan pemandangan yang sangat indah.     

Ia penasaran anak siapakah yang berkeliaran sejauh ini hingga ke pinggir hutan. Rasanya tidak mungkin anak penduduk sekitar, karena dari pengamatannya keamanan di sekitar istana ini sangatlah kuat.     

Apakah ini anak dari salah satu keluarga tamu pesta yang datang lebih awal? Lalu mengapa ia tidak memakai pakaian pesta?     

Mungkinkah ini kerabat dari tuan rumah? Hmm... ini adalah kemungkinan yang paling masuk akal, pikirnya.     

Kerabat dari pihak siapa? Mempelai laki-laki... ataukah perempuan?     

Ia terpesona hingga tak bergerak selama 10 menit memperhatikan anak itu. Ia belum pernah melihat seorang alchemist yang masih kanak-kanak seperti ini. Anak ini terlihat seperti peri kecil Tinker Bell, pikirnya. Begitu cantik dan begitu lincah melompat kesana dan kesini.     

Anak itu kemudian menyadari seseorang telah memperhatikannnya sedari tadi dan kemudian menghentikan perburuannya. Ia menoleh dan menatap Alaric dengan penuh rasa ingin tahu.     

"Hallo," sapanya dengan suara yang sangat ramah. Sesaat Alaric merasa keheranan mendengar suara anak itu. Memang suaranya masih bernada tinggi, seperti layaknya suara anak-anak... tetapi saat ia mendengarkan baik-baik...     

Anak itu berjalan mendekati Alaric dan menyipitkan matanya, lalu bertanya dengan antusias, "Kau juga menyukai kupu-kupu???"     

Ini bukan anak perempuan. Suaranya adalah suara anak laki-laki!     

Sesaat Alaric merasa tertipu karena penampilan anak ini yang mengenakan kaus merah muda dan celana pendek putih, apalagi rambutnya yang indah dibiarkan panjang hingga sebahu, membuatnya terlihat sepintas seperti anak perempuan. Ia tidak mengira anak ini sebenarnya laki-laki, membuatnya teringat akan dirinya sendiri.     

Setelah anak itu berbicara, barulah Alaric bisa melihat sikapnya yang santai dan ringan seperti anak laki-laki, sama sekali tidak feminin dan halus seperti anak perempuan pada umumnya. Ia hanya tampak seperti perempuan, tetapi sikapnya tetap seorang anak lelaki.     

Uhm... kecuali saat ia sedang asyik mengejar kupu-kupu tadi.     

Tanpa sadar seulas senyum terukir di wajah Alaric. Ia mengangguk, "Ya... kupu-kupunya bagus sekali. Aku senang memperhatikanmu mengejar mereka."     

Sepasang mata biru anak itu tampak terbelalak saat akhirnya mendengar suara Alaric. Ia memberi tanda agar pria itu berbicara lagi, "Bisakah Paman mengulangi kata-katamu tadi?"     

Alaric kebingungan menghadapi permintaan yang tidak biasa ini. Apakah anak ini memiliki masalah pendengaran? Namun ia tak kuasa menolak wajah semanis malaikat itu dan mengulangi kalimatnya.     

"Ya... kupu-kupunya bagus sekali. Aku senang memperhatikanmu mengejar mereka."     

"WOWWW!!!" Anak itu seketika melonjak gembira. Ia segera menarik tangan Alaric dan membawanya ke pepohonan jeruk tadi tempat puluhan kupu-kupu sedang beterbangan. "Coba bicara lagi... bicara apa saja. Paman bahkan boleh menyebut huruf A sampai Z, apa pun itu, asalkan Paman berbicara..."     

Alaric mengerutkan keningnya keheranan. Karena penasaran, ia akhirnya menuruti permintaan anak aneh itu dan merapalkan alfabet berulang-ulang.     

Ia hanya berharap tidak satu pun anak buahnya yang memergoki ia menuruti permintaan konyol seorang anak kecil seperti ini. Ia lalu mengulangi membaca alfabet berkali-kali hingga anak itu puas.     

Saat Alaric berbicara, anak aneh itu tampak terkesima dan bolak-balik merentangkan tangannya, lalu berputar-putar. Ia tampak sangat gembira.     

"WOW... Lavender di mana-mana!! Ini seperti musim panas!! kupu-kupu dan lavender!! Indah sekali!" serunya berulang-ulang.     

Setelah tiga kali mengulang alfabet, akhirnya Alaric tak dapat menahan rasa penasarannya. Ia lalu berhenti.     

"Wahh.. Paman, kenapa berhenti??" tanya anak itu dengan wajah yang sangat kecewa.     

"Kau harus memberitahuku apa yang sedang kita lakukan ini? Aku merasa seperti orang bodoh yang merapal ABC," kata Alaric dengan tegas. "Aku tidak akan melanjutkan kalau kau tidak mau cerita."     

"Oh..." Anak itu lalu menarik Alaric untuk duduk di atas sebatang pohon yang tumbang dan mengikuti duduk di sebelahnya. "Paman pernah mendengar tentang Synesthesia?"     

Alaric mengingat-ingat sesuatu, lalu mengangguk, "Itu kelainan syaraf yang membuat seseorang memiliki indra yang bekerja secara bersamaan, misalnya saat mendengar suara ia akan melihat bentuk, gambar, warna, atau malah mengecap rasa tertentu."     

"Ah... jadi Paman tahu." Anak itu tersenyum lebar sambil menyibakkan rambutnya, "Aku bisa melihat suara. Setiap suara yang kudengar pasti mempunyai bentuknya sendiri. Misalnya bunyi angin itu berwarna biru. Suara klakson mobil kami bentuknya seperti dedaunan. Suara ibuku seperti buah strawberry.... Nah... tadi saat Paman berbicara, aku melihat bunga-bunga lavender yang indah sekali.. Seperti musim panas!! Aku belum pernah melihat suara seperti bunga lavender sebelumnya, makanya aku tadi minta Paman terus berbicara sambil aku mengejar kupu-kupu. Oh, seandainya Paman bisa melihat apa yang kulihat... kau pasti akan pingsan karena kagum. Sekelilingku dipenuhi ladang lavender dan ratusan kupu-kupu..."     

Alaric membelalakkan mata mendengar penjelasan anak aneh ini. Ia tahu tentang Synesthesia, tetapi ini adalah kondisi langka dan ia belum pernah bertemu orang yang memilikinya sebelum ini.     

Dalam hati ia merasa agak sebal karena ternyata suaranya disebut berbentuk seperti bunga lavender.     

Bentuk apa itu? Sama sekali tidak jantan, pikirnya.     

Ia mendeham dan mencoba mengucap ABCD beberapa kali dengan nada berat. "A-B-C-D... ABCD... bagaimana suaraku sekarang? Bentuk apa yang kau lihat?"     

"LAVENDER!!! Indah sekali!" seru anak itu dengan girang.     

Akhirnya Alaric menyerah.     

Ia adalah seorang lelaki yang sangat maskulin. Ia bahkan selalu mengasosiasikan dirinya dengan naga, sejak dulu sekali ketika ia menjadi seorang assassin dengan level tertinggi di Rhionen Assassins, dan kemudian bertemu seorang gadis yang berkeras memanggilnya Pangeran Siegfried karena tato naga menyeramkan di dada kanannya.     

Seandainya anak ini mengatakan suaranya berbentuk seperti seekor naga, dengan senang hati ia akan terus merapal ABCD-nya untuk menyenangkan anak ini. Tetapi bocah itu terus menyebut bunga lavender, sehingga dengan kesal Alaric menutup mulutnya dan mencoba tidak bersuara sama sekali.     

"Paman... ayo bicara lagiiiii... Bunga lavender adalah bunga kesukaan ibukuuuu...." bujuk anak itu berkali-kali. Tetapi Alaric menggeleng dan duduk membeku, menolak mengucapkan sepatah kata pun.     

Bunga lavender? Huh!     

"Pamaaaaaaannn....!!!" Tidak putus asa anak itu tiba-tiba menyerang pinggang Alaric dan menggelitikinya tanpa sungkan.     

Astaga...!!     

Alaric yang sama sekali tidak mengira anak ini akan begitu berani kepada orang asing sepertinya tidak menyangka dirinya akan digelitiki sedemikian rupa, sehingga ia tidak melindungi dirinya dari serangan. Tanpa dapat ditahannya ia pun tertawa lepas akibat gerakan jari-jari mungil anak itu pada pinggangnya.     

"Hahahahhaa... aduh.. sudah... hentikan!.. AHAHAHA.. Kau... tidak tahu siapa aku? Hah!! Kau.. hahahhaa... sudaaah...!!"     

Sebagai orang dewasa ia tak mungkin memukul anak itu untuk melepaskan diri, akhirnya ia hanya berusaha bangkit dan menjauhi anak itu sebisa mungkin untuk menghindari gelitikannya, sambil tertawa terbahak-bahak.     

Anak itu tampak puas sekali, dan setelah dua menit ia pun lelah dan berhenti. Ia lalu menepuk tangan Alaric dan tersenyum lebar, "Aku menyukai suara Paman."     

Untuk sesaat Alaric tertegun. Ia baru menyadari bahwa ia sudah lama sekali tidak tertawa.     

Ia kemudian tersenyum sendiri lalu mengacak rambut anak itu dengan lembut. Ia berterima kasih karena hari ini hatinya terasa ringan dan bahagia.     

"Siapa namamu, Nak?" tanyanya kemudian.     

Anak itu tersenyum jahil. "Aku akan menyebutkan namaku, asalkan Paman bicara selama 5 menit. Aku mau melihat bunga lavender lagi."     

Anak cerdas, pikir Alaric, kecil-kecil sudah tahu cara bernegosiasi.     

"Baiklah. Kalau kau memberitahuku siapa namamu, aku akan bicara selama lima menit agar kau dapat melihat bunga lavender lagi," Alaric mengangguk setuju.     

Namun anak itu tersenyum lebih jahil lagi. "Aku hanya menerima pembayaran di muka."     

Alaric menepuk keningnya. Anak ini benar-benar seorang pebisnis sejati! Ia barusan bernegosiasi dan kini meminta dibayar duluan. Alaric menjadi semakin kagum.     

"Baiklah. Aku akan bicara dua menit sebagai pembayaran di muka, sisanya setelah kau menyebutkan namamu."     

"Tiga menit," kata anak itu lagi. Alaric menggeleng lalu bangkit dan berpura-pura hendak pergi. Anak itu buru-buru memanggilnya, "Baiklaahhh... dua menit."     

Alaric kembali duduk lalu mengeluarkan ponselnya dan memilih sebuah artikel berita dari internet lalu mulai membacakannya, "Ini lebih baik daripada alfabet."     

Anak itu mengangguk dan dengan gembira mengamati sekelilingnya saat Alaric berbicara membaca artikelnya.     

Anak itu tampak sangat menikmati pemandangan di sekitarnya, seolah ia memang sedang dikelilingi oleh ladang lavender. Setelah dua menit Alaric kemudian berhenti. Ia menatap anak itu dengan sebelah alis terangkat.     

"Sekarang giliranmu," katanya.     

"Baiklah." Anak itu tersenyum penuh kemenangan, "Namaku adalah Altair."     

Alaric membeku di tempatnya ketika mendengar anak itu menyebutkan namanya.     

Ia ingat dirinya dan Aleksis sama-sama menyukai rasi bintang Altair dan Vega. Mereka bercinta pertama kali di bawah bintang-bintang dengan disaksikan bintang Altair dan Vega. Itu adalah satu dari sedikit momen bahagia yang pernah ia alami dalam hidunya.     

Saat itu hatinya dipenuhi oleh cinta yang begitu hangat dan membuatnya lupa akan semua kepahitan hidup yang pernah ia alami. Saat tubuh mereka bersatu dan Alaric mencurahkan cintanya kepada Aleksis, hati kecilnya berharap gadis itu akan menjadi keluarganya.     

Di kepalanya saat itu, ketika ia memasuki Aleksis dengan penuh kehati-hatian dan cinta kasih, ia membayangkan bahwa suatu hari nanti mereka akan menikah dan memiliki anak-anak yang membuat hidup mereka lengkap. Ia sangat ingin memiliki keluarga bersama gadis itu.     

Lebih jauh lagi, ia bahkan berpikir bahwa jika suatu hari nanti mereka memiliki anak, mereka akan menamainya Altair kalau laki-laki, dan perempuan kalau Vega.     

Di London, saat ia baru pergi meninggalkan Aleksis, ia sering kali berpikir untuk membicarakan agar mereka memiliki anak setelah ia kembali ke Singapura.     

Sayangnya ia tidak pernah bertemu kembali dengan Aleksis setelah kepergiannya waktu itu. Mereka hanya diberikan waktu yang demikian singkat untuk bersama, dan Aleksis segera direnggut darinya.     

Kini, mendengar anak di depannya memperkenalkan diri sebagai Altair, ia hanya bisa tersenyum kecut, memikirkan betapa takdir sedang mengejeknya.     

"Namamu bagus sekali," Ia memuji Altair, membuat anak itu mengembangkan senyum lebar mendengar kata-katanya.     

Untuk sesaat keduanya bertatapan dan Alaric melihat bayangan dirinya di sepasang mata Altair.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.