The Alchemists: Cinta Abadi

Eros - Philia - Agape



Eros - Philia - Agape

0Aleksis memejamkan matanya dan menikmati hembusan angin yang membelai rambutnya yang panjang. Memang suasananya sangat menyenangkan dan romantis dengan cahaya bulan sebagai satu-satunya penerangan.     

Hmm... ia ingat dulu sekali waktu ia masih kecil dan pertama kali datang ke konservasi ini, ia sama sekali tidak bisa duduk diam. Ia akan berlari kesana-kemari dan melakukan hal-hal yang membuat Lauriel geleng-geleng kepala.     

Ah... kalau tidak salah ia pernah mengejar anak kelinci sampai kemari dan kemudian duduk di batu besar yang mirip ini juga.     

Deg!     

Tiba-tiba saja Aleksis menoleh ke kanan dan ke kiri beberapa kali dan menyadari bahwa memang batu besar inilah yang sedang masuk ke dalam ingatannya. Bagaimana bisa dia lupa?     

Jantungnya berdegup keras dan pelan-pelan matanya menoleh ke arah kiri dan mencari-cari sesuatu di atas batu besar itu.     

Oh... masih ada, pikirnya sedih. Tanpa sadar Aleksis menarik napas panjang dan pikirannya kembali ke masa 15 tahun yang lalu ketika ia masih remaja dan masih bodoh, dan masih terobsesi pada Pangeran Siegfried. Ia telah menuliskan namanya dan nama Pangeran Siegfried menggunakan pisau di batu besar ini.     

Dan barusan ia menyadari bahwa tulisan kedua nama itu masih ada di sana. Dadanya merasa sesak karena entah kenapa kemana pun ia pergi ia selalu diingatkan akan Alaric, padahal sebulan lagi ia akan menikah dengan Nicolae, dan sekarang calon suaminya itu sedang duduk bersamanya menikmati bulan.     

Ia menutup matanya dan berusaha melupakan goresan kedua nama itu. Ia harus mengajak Nicolae pulang sebelum ia melihatnya. Aleksis tahu ia harus menjaga perasaan Nicolae.     

"Aleksis..." Suara Nicolae tiba-tiba memecah keheningan dan membuat Aleksis menjadi terkejut.     

"A.. ada apa?" tanya Aleksis sambil menoleh ke samping. Ia mendapati Nicolae sedang menatapnya tanpa berkedip. Aleksis melambai-lambaikan tangannya ke depan wajah Nicolae yang segera tersenyum dan menggeleng. "Hei... kenapa kau tidak berkedip?"     

"Tidak apa-apa. Aku hanya sedang berpikir," kata Nicolae kemudian.     

"Memikirkan apa?" tanya Aleksis, yang seketika melupakan goresan nama yang tadi sempat membuatnya kuatir. Ia merasa kuatir melihat Nicolae bersikap tidak seperti biasanya.     

"Aleksis... apakah kau mencintaiku?"     

Pertanyaan Nicolae yang tiba-tiba ini membuat Aleksis terkejut. Selama ini Nicolae tidak pernah secara blak-blakan menanyakan hal ini kepadanya.     

Nicolae beberapa kali menyatakan cinta kepadanya, dan bahkan melamarnya pada suatu malam ketika mereka sedang berlibur bersama di Islandia, tetapi pemuda itu tidak pernah meminta jawaban dari Aleksis.     

Ia bahkan sama sekali tidak pernah memberikan batas waktu bagi Aleksis untuk menjawab lamarannya. Aleksis sendiri yang memutuskan menjawabnya empat tahun kemudian.     

Aleksis menatap Nicolae lekat-lekat dan mengerutkan keningnya, keheranan atas pertanyaan tersebut, "Kenapa kau tiba-tiba bertanya hal itu? Aku tidak akan menikah denganmu kalau aku tidak mencintaimu."     

Nicolae mengangguk, "Tentu saja. Tetapi ada tiga jenis cinta di dunia ini. Eros, Philia, dan Agape. Kau mencintaiku seperti apa?"     

Aleksis menatap Nicolae dan ia segera memahami maksudnya. Ia menyentuh pipi Nicolae dan menjawab dengan jujur, "Aku mencintaimu secara philia. Kau adalah sahabatku, saudara angkatku, dan keluargaku."     

Nicolae mengangguk dan menyentuh tangan Aleksis yang mengusap pipinya, "Itu sudah cukup bagiku. Terima kasih."     

Aleksis melihat sepasang mata biru Nicolae tampak berkilauan dan ia menjadi penasaran mengapa pria itu tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan seperti itu, sebulan sebelum mereka menikah.     

"Bagaimana denganmu?" tanya Aleksis kemudian.     

Nicolae menarik tangan kanan Aleksis dari pipinya dan menciumnya sambil memejamkan mata, hingga kata-katanya kemudian menjadi terdengar sangat khimad, "Aku mencintaimu secara eros, philia, dan agape. Aku mencintaimu dengan semua bentuk cinta yang ada di dunia ini."     

"Nico..." Suara Aleksis menjadi tercekat. Ia sama sekali tidak meragukan ucapan Nicolae dan ia percaya bahwa bila ada seribu cara mencintai seseorang di dunia ini, maka Nicolae akan mencintainya dengan seribu cara itu...     

"Aleksis..." Nico membuka matanya dan menatap lurus ke arah Aleksis, "Aku tahu tidak mudah bagimu melanjutkan hidup dan kini membangun rumah tangga denganku. Aku tahu selama ini kau mengira bahwa kau harus memaksa dirimu untuk melupakan masa lalu agar dapat menata masa depan. Aku mau kau mendengar langsung dariku... bahwa kau tidak perlu melakukan itu."     

Sepasang mata Aleksis membulat keheranan, "Apa maksudmu?"     

"Maksudku adalah... kau jangan terlalu keras kepada dirimu. Aku tahu kau menyimpan banyak kesedihan karena merasa kau harus menjaga perasaanku dan perasaan orang tuamu, dan menjaga perasaan anak-anakmu... Kau ingin membahagiakan kami semua yang ingin melihatmu bahagia, maka kau memaksa dirimu untuk pulih, dan melanjutkan hidup seolah semua yang terjadi di masa lalu sudah dapat kau lupakan..."     

Aleksis menggigit bibirnya menahan kesedihan. Nicolae memang sangat mengenalnya. Ia tahu semua bahkan perasaan terdalam gadis itu.     

"Bagaimanapun, aku memang harus melanjutkan hidup, bukan?" tanya Aleksis dengan suara getir. "Orang yang selalu terjebak hidup di masa lalu akhirnya tidak akan pernah bahagia."     

"Itu benar. Tetapi seperti yang tadi sudah aku katakan, kau tidak harus melupakan masa lalu untuk menata masa depan. Bagaimanapun Altair dan Vega ada karena masa lalumu..." Nicolae mengusap air mata dari sepasang mata biru-hijau Aleksis yang meluncur turun ke pipinya. "Aku tidak mau kau merasa bahwa kau harus melupakan Alaric Rhionen demi melanjutkan hidup bersamaku. Dia adalah cinta pertamamu, itu adalah fakta dan aku tidak akan pernah merebut posisi itu darinya... Tetapi mulai dari sekarang dan selamanya, aku ingin menjadi cinta terakhirmu. Aku akan membahagiakanmu dan menunggu hingga kau pun mencintaiku secara eros, philia, dan agape..."     

Aleksis menekap bibirnya karena merasa terharu. Suaranya terbata-bata saat membuka suara, "Kau.. kau sudah melihat tulisan itu?"     

Nicolae mengangguk. "Aku melihatnya dari tadi. Aku bisa menduga kau menggoreskan nama kalian berdua di situ ketika kau masih kecil. Aku tidak tega melihatmu tadi langsung salah tingkah hanya karena goresan nama di batu ini... Menurutku itu tidak perlu."     

"Nico..." bisik Aleksis pelan. Ia tahu dirinya sangat, sangat beruntung, akan menikahi pria ini, yang mencintainya dengan segala cara dan memahaminya seperti memahami dirinya sendiri.     

"Satu lagi... " Nicolae masih melanjutkan ucapannya, "Aku ingin berterus terang sedari awal kepadamu, supaya kau tidak menduga-duga dan menyimpan beban karena kau takut menyampaikan keinginanmu kepadaku."     

"Apa itu?"     

"Aku tidak ingin memiliki anak darimu. Aku sudah menganggap Altair dan Vega sebagai anakku sendiri. Aku tidak mau membagi kasih sayangku kepada anak yang lain."     

"Nic..." Aleksis sungguh tidak sanggup lagi berkata apa-apa, selain berkali-kali menyebut nama Nicolae. Pikirannya menjadi kosong dan ia merasa tidak lagi menjejak bumi. Untuk sesaat tubuhnya terhuyung.     

"Aleksis...." Nicolae bangkit dan kemudian menarik Aleksis ke pelukannya dan berusaha menenangkan gadis itu agar tidak tambah menangis, "Sshh... jangan menangis. Ayah akan akan membunuhku kalau tahu kau barusan menangis karenaku..."     

"Ti.. tidak, aku bukan menangis karenamu... tapi.. " Aleksis semakin terbata-bata di sela tangisnya, "Ini bukan tangis kesedihan, tapi kebahagiaan..."     

Nicolae mengusap-usap rambut gadis itu dan mencium puncak kepalanya. "Baiklah... selama itu tangis kebahagiaan... tidak apa-apa. Aku tidak sanggup kalau kau menangis karena sedih."     

Aleksis mengangkat wajahnya dan menatap Nicolae dengan wajah terharu. "Terima kasih..."     

"Untuk apa?" Nicolae tampak menahan tawa, "Setelah kita menikah, kau adalah istriku. Apa pun yang kulakukan untukmu adalah untukku juga. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Tidak perlu berterima kasih."     

Aleksis akhirnya mengangguk dan perlahan mulai tersenyum. Nicolae selalu punya cara untuk membuatnya melupakan kesedihan.     

"Nico.. Aku bahagia." Akhirnya Aleksis mengucapkan satu kalimat yang ia tahu akan membuat Nicolae berhenti menguatirkannya.     

Kalau Aleksis bahagia, maka Nicolae juga akan bahagia.     

"Hmm.. Aku senang mendengarnya," bisik Nicolae.     

Ia menyentuh dagu Aleksis dan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu, lalu memejamkan matanya saat bibirnya yang basah mencium bibir Aleksis dengan lembut sekali.     

.     

.     

.     

*** Di dalam bahasa Yunani, cinta dibagi menjadi tiga jenis yaitu:     

Eros (cinta yang diikuti nafsu ingin memiliki atau cinta yang melibatkan hubungan mesra dan intim di antara dua orang manusia, sering dianggap cinta kepada pasangan/kekasih).     

Philia (cinta yang ideal tanpa diikuti nafsu, seperti cinta kepada keluarga dan saudara).     

Agape (cinta yang lebih abstrak dan dianggap sebagai cinta tanpa syarat, seperti cinta Tuhan kepada manusia).     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.