The Alchemists: Cinta Abadi

Jamuan Minum Teh (1)



Jamuan Minum Teh (1)

0Keduanya lalu berbincang-bincang lebih lanjut tentang berbagai hal dan untuk sesaat Alaric merasa terhibur. Percakapan mereka baru terhenti ketika Aldebar memanggil Rune untuk masuk kembali.     

"Maaf, aku harus segera kembali. Senang bertemu denganmu." Rune kembali menyalami Alaric dan permisi.     

"Ah, sampai jumpa besok kalau begitu. Besok aku akan minum teh dengan ayahmu," jawab Alaric.     

"Bagus. Sampai jumpa besok!"     

Setelah Rune pergi Alaric berdiri menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Sikapnya yang tampak kesepian mengundang banyak simpati gadis-gadis yang bergerombol di luar dan memperhatikannya sedari tadi.     

Setelah beberapa lama, karena Alaric tampak tidak juga bergerak, beberapa orang gadis cantik datang menghampirinya.     

"Selamat malam, Eli. Senang bertemu denganmu." Seorang gadis yang bertubuh paling jangkung bak model runway menyapanya dengan senyuman yang sangat indah. "Namaku Shekina dan ini teman-temanku. Kami melihat sedari tadi kau sepertinya sedang termenung."     

"Aku Lyana." Gadis cantik yang wajahnya berbintik-bintik imut mengangguk di sebelah Shekina.     

"Aku Alexandra." Gadis terakhir muncul dari balik Shekina yang jangkung dan tubuhnya yang mungil segera mengambil tempat di depan teman-temannya sambil tertawa.     

Untuk sesaat Alaric terkesima melihat Alexandra memiliki sepasang mata yang sangat indah. Kedua matanya memiliki campuran warna abu-abu dan hijau yang sangat jarang ada. Ia memiliki heterochromia seperti Aleksis, bahkan namanya pun berasal dari kata yang sama.     

Teman-teman Alexandra melihat betapa Alaric terpaku dan mengira ia tertarik kepada gadis itu. Mereka berbisik-bisik dan terkikik genit.     

"Ah... sepertinya Eli menyukai Alexandra... kalau begitu kami tidak akan mengganggu kalian." Sambil tersenyum simpul Shekina menyeret Lyana pergi dari situ meninggalkan Alexandra yang tersipu-sipu di depan Alaric.     

Seketika Alaric merasa lelah. Ia tidak butuh gangguan di saat seperti ini, pikirnya.     

"Alexandra, senang bertemu denganmu. Maaf aku harus pergi." Ia mengangguk ke arah Alexandra lalu berjalan ke arah lain.     

Gadis yang ditinggalkannya itu perlu waktu beberapa detik untuk memproses apa yang terjadi. Dan ketika ia menemukan suaranya, Alaric telah jauh.     

"Hei.. tunggu!! Apa maksudmu?"     

Alexandra merasa sangat kecewa. Tadi ketika Alaric menatapnya dengan pandangan terpesona, ia sungguh mengira pemuda itu menyukainya. Ia sudah sangat gembira ketika teman-temannya dengan penuh pengertian meninggalkan mereka berdua saja.     

Ughhhh!!!     

Sophia yang lewat sudah melihat apa yang terjadi. Ia hanya tersenyum sendiri melihat betapa populernya Alaric sehingga membuat begitu banyak gadis mencoba menarik perhatiannya, tetapi malang bagi mereka, Alaric sepertinya tidak tertarik kepada satu pun dari mereka.     

Sambil menahan tawa Sophia menghampiri Alexandra dan menyapanya ramah.     

"Hei.. tolong maafkan sepupuku, ia tidak bermaksud membuatmu salah paham." Saat itu Sophia juga melihat sepasang mata Alexandra yang memiliki dua warna dan ia ingat tadi Alaric sempat tertegun memandangi gadis ini. Sophia menyipitkan matanya dan tersenyum sangat manis.     

Dugaannya benar. Pasti Aleksis yang itu. Pasti anak perempuan Caspar yang memiliki mata heterochromia itu...     

Istri Alaric yang mati itu adalah anak kandung Caspar. Pantas saja Caspar waktu itu memburunya setengah mati.     

Dalam hati Sophia menjadi sangat senang karena mengetahui Aleksis sudah mati. Anak itu sudah banyak mendatangkan kerugian kepada keluarganya.     

Dan yang lebih membuatnya senang adalah, kenyataan bahwa Caspar tidak mengetahui bahwa Alaric Rhionen adalah Elios Linden. Seandainya ia tahu, ia tidak mungkin mengundangnya untuk minum teh besok.     

Sophia tersenyum simpul saat memikirkan rahasia yang baru saja diperolehnya.     

"Putri Sophia," suara Alexandra menggugah Sophia dari lamunannya. "Aku tidak apa-apa, hanya kaget saja."     

"Baiklah. Jangan diambil hati. Nikmati saja pestanya."     

Alexandra mengangguk hormat dan pergi mencari teman-temannya.     

Hingga pesta berakhir Alaric tidak kembali. Hal itu membuat sangat banyak orang kecewa, dan orang-orang segera menyadari bahwa pria itu memang tidak menyukai keramaian.     

"Ugh... dia memang anak ayahnya," omel Portia kepada Ned. "Keduanya sama-sama tidak menyukai keramaian dan pesta."     

"Biarkan saja dia. Toh dia sudah memberi kita muka dengan hadir. Sekarang biar dia beristirahat." Ned mencium kening istrinya untuk membuat Portia kembali tersenyum.     

"Hmm... aku tidak marah, aku mengerti kok." Portia mengangguk. "Aku hanya menyayangkan dia tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. Kau lihat sendiri betapa ia terlihat kesepian. Aku ingin ia mempunyai teman dan siapa tahu di antara begini banyak gadis cantik dari klan kita, dia bisa menemukan pasangan hidupnya."     

"Hmm... bagaimana pendapatmu tentang Kit Blue? Anaknya Lex. Mereka besok akan menginap di istana kita," tanya Ned.     

Portia mengangkat bahu. "Kit sepertinya masih terlalu muda, ya. Aku tidak tahu... rasanya keluarganya kurang sederajat dengan kita. Aku tahu Lex adalah teman baikku, tapi mereka itu dari kalangan rendah."     

Ned menghela napas. "Ini sudah tahun 2045, Sayangku. Masa kebangsawanan sudah berlalu sejak ratusan tahun yang lalu. Sekarang uang dan kekuasaan adalah ukuran kebangsawanan seseorang. Menurutku sebagai keluarga terkaya di Islandia, keluarga Blue memiliki derajat yang cukup baik."     

Portia tidak menjawab. Ia mengakui Kit sangat cantik, berpendidikan, dan kelihatannya mengerti sopan-santun yang baik. Ia tidak terang-terangan menolak Kit sebagai menantu, tetapi rasanya gadis itu belum sempurna bagi anak angkatnya.     

Pesta berakhir pukul 11 malam dan tamu-tamu pulang dengan perasaan gembira. Alaric kembali menjadi bahan pembicaraan dan para anggota kaum Alchemists banyak yang berspekulasi bahwa setelah Caspar mengundurkan diri dari jabatan ketua klan (seperti yang sudah beberapa kali ia sampaikan), maka Alaric akan naik menggantikannya.     

Gadis-gadis tambah bersemangat membicarakannya.     

***     

Acara minum teh bersama Alaric akan berlangsung pukul 4 sore. Sejak pukul 3 Caspar dan Finland sudah bersiap-siap di ruang tamu dengan teh dan ke-kue kecil.     

Mereka berbincang-bincang tentang pemuda itu dan membahas kemungkinan Caspar akan mendukungnya untuk menggantikannya sebagai ketua klan.     

"Hmm.. soal kepemimpinannya, tidak usah diragukan sama sekali," komentar Caspar. "Tetapi di sini masalahnya adalah ideologi yang ia bawa. Kau tahu keluarga Meier dari dulu adalah pemimpin para purist. Bahkan Ned dan Portia juga purist. Kalau Elios mengganti kebijakan klan dengan mengikuti ideologi purist, maka akan berbahaya bagi masa depan klan."     

"Oh... jadi itu tujuanmu memintanya datang. Kau mau mengenalnya dengan lebih baik, sebelum memutuskan menyerahkan klan ke tangannya, atau tidak."     

"Istriku pintar," gumam Caspar. "Aku sudah punya kandidat lain sebenarnya, tapi mari kita lihat dulu, seperti apa orangnya Elios ini. Kalau ia membawa ideologi purist ke klan, aku tidak akan dapat menerimanya."     

"Hmm.. aku mengerti." Finland melihat jam dan menyadari mereka masih punya banyak waktu. "Bagaimana kalau kita mencoba menghubungi Aleksis dan anak-anak. Aku sangat merindukan mereka."     

Caspar mengangguk. "Aku juga merindukan mereaka."     

Ia menyalakan Virconnect dan sesaat kemudian sepasang wajah lucu menggemaskan sudah muncul di depan mereka.     

"Hey,Kakek.. Paman Nicolae berjanji akan membuatkan kami rumah pohon kalau kami menghabiskan sepanjang musim panas bersamanya di Kastil Medici," seru Vega dengan penuh semangat.     

"Oh ya? Rumah pohon kedengarannya keren sekali." Caspar menanggapi dengan penuh senyuman.     

"Tapi Mama tidak mau menghabiskan sepanjang musim panasnya bersama Paman Nic. Lalu kami harus bagaimana? Kakek tolong marahi mama, dong."     

Aleksis yang tadi keluar sudah kembali ke ruang tamunya dan tertawa mendengar anak-anaknya mengadukannya kepada Caspar. Ia menggeleng-geleng, ke arah mereka.     

"Dasar anak-anak nakal. Mama tidak menolak Paman Nic, tapi Mama hanya minta waktu berpikir," tegurnya kepada kedua anaknya.     

Caspar dan Finland tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. Sebagai kakek dan nenek kedua anak itu mereka senang melihat Altair dan Vega tampak semakin ceria dan sepertinya sangat mendukung ibu mereka menikah dengan Paman Nic-nya.     

Mereka mendengarkan cerita-cerita si kembar tentang liburan mereka di Grosseto dan kerinduan mereka pun seakan terobati. Sungguh mereka harus berterima kasih pada teknologi Virconnect yang bagus ini!     

"Selamat sore, Paman. Tuan Elios Linden sudah tiba," Jadeith tiba-tiba masuk pukul 4 sore kurang lima menit dan menginterupsi kehangatan tiga generasi keluarga Schneider itu. Caspar melambaikan tangannya.     

"Persilakan dia masuk."     

"Baik."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.