The Alchemists: Cinta Abadi

Jamuan Minum Teh (2)



Jamuan Minum Teh (2)

0Alaric masuk tepat saat bayangan Aleksis dan kedua anaknya menghilang dari ruang tamu. Caspar segera berdiri menyambut pemuda itu dan mempersilakannya duduk.     

"Selamat datang, Eli. Kau sudah mengenal istriku," Caspar melambaikan tangan, tidak lagi mengajak bersalaman. Finland berdiri dan menyapa Alaric.     

"Hallo, namaku Finland Scheider. Senang bertemu denganmu."     

"Hallo Nyonya Schneider."     

Ketika mereka bertiga sudah duduk dan menikmati teh yang dihidangkan, Finland mengamati tamu mereka dengan penuh perhatian. Alaric memiliki wajah yang unik sekali, menurutnya. Bahkan untuk standar kaum Alchemist ia sangat menarik perhatian.     

Wajahnya yang tampan memiliki garis-garis halus seperti perempuan terlihat kontras dengan tubuhnya yang sangat maskulin dan sikapnya yang memerintah.     

Finland sudah mendengar bahwa warna ungu memang ciri khas keluarga Linden yang terkenal dan baru kali ini ia melihat langsung orang yang memiliki sepasang mata keunguan dan warna rambut keunguan.     

Untuk sesaat ia teringat kepada cucunya sendiri, Altair yang juga memiliki wajah cantik seperti perempuan.     

Ah... alangkah senangnya kalau nanti Altair tumbuh dewasa seperti Elios Linden di depannya ini. Ia pasti akan terlihat sangat menawan. Sekarang anak itu masih terlihat seperti perempuan, karena tubuh dan suaranya masih dalam pertumbuhan sebagai seorang anak kecil.     

"Aku mengenal keluarga Linden dengan cukup baik," kata Caspar sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Putri Luna, bibimu adalah kekasih dari sahabatku, Lauriel."     

Jari-jemari Alaric yang sedang menggenggam pegangan cangkirnya menjadi mengeras. Ia tidak menampakkan ekspresi apa pun di wajahnya tetapi telinganya siap mendengarkan kelanjutan ucapan Caspar.     

"Kematian Luna sangat membuat Lauriel hancur dan ia mengasingkan diri selama puluhan tahun." Caspar menghela napas panjang. Finland yang melihat cangkir teh Alaric sedikit bergetar buru-buru merangkul pinggang suaminya dan menggeleng pelan ke arahnya.     

"Sayang, tidak sopan membicarakan orang lain di depan tamu kita." ucap Finland dengan suara halus. "Kita fokus pada Eli saja, ya?"     

Caspar tersenyum dan mengangguk, "Ah.. maafkan aku jadi melebar kemana-mana. Aku tidak begitu kenal ayahmu. Mars Linden masih sangat muda ketika ia pergi dari rumah dan meninggal. Aku hanya menyayangkan, betapa perang dunia kemarin merenggut begitu banyak orang baik, seperti Luna dan seisi keluarganya."     

Alaric kecewa karena Caspar mengalihkan pembicaraan. Ia tadinya ingin mendengar tentang hubungan ibu dan ayahnya dari sudut pandang orang lain. Selama ini ia hanya mengetahui apa yang terjadi dari Portia dan Sophia. Ia agak terkejut saat mendengar dari Caspar bahwa kematian Luna membuat Lauriel hancur.     

Selama ini ia mengira Lauriel tidak terlalu peduli...     

"Hmm... ya, perang dunia yang lalu memang sangat buruk," Alaric menyesap tehnya. "Aku akan memastikan itu tidak akan terjadi lagi."     

Caspar tertarik mendengar kata-katanya. "Idealnya begitu. Bagaimana kau dapat memastikan itu tidak akan terjadi lagi?"     

Alaric tidak segera menjawab pertanyaan Caspar, dan malah balik bertanya, "Aku mendengar bahwa orang tuamu meninggal akibat serangan bom di tempat tinggal mereka ketika perang dunia 2 juga?"     

"Itu benar," jawab Caspar.     

"Menurutmu siapa yang bersalah?"     

"Hmm... Perang Dunia II terjadi karena Hitler mau menguasai dunia, pada saat yang sama Jepang juga memiliki keinginan yang sama."     

"Bagiku baik itu pasukan As maupun pasukan sekutu sama bersalahnya. Sejak dahulu perebutan kekuasaan dan perang antar bangsa sudah berlangsung selama berabad-abad. Manusia tidak akan pernah puas sebelum bumi ini hancur dan tidak akan ada lagi yang dapat diperebutkan." Alaric mengangkat bahu. "Aku akan memastikan bahwa manusia tidak lagi memperebutkan apa pun, karena aku yang akan menguasai semuanya."     

Caspar mengerutkan keningnya. "Kau mau menjadi diktator dunia?"     

"Dunia perlu dipimpin oleh seorang diktator yang tidak memiliki kepentingan pribadi. Aku sama sekali tidak menginginkan kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri. Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan semestinya dan tidak akan ada lagi yang bisa berbuat seenaknya menindas manusia lain ataupun merusak bumi." Alaric menatap Caspar dengan sangat serius. "Sudah 500 tahun berlalu... apakah kau pikir kalau kita diam saja, manusia akan dapat berubah dengan sendirinya? Kaum Alchemist sudah terlalu lama membiarkan mereka bertindak seenaknya tanpa berbuat apa-apa. Sudah 500 tahun dan kalau dibiarkan 500 tahun lagi, kaum kita tidak akan bersisa, bumi ini juga tidak akan bersisa."     

Caspar balas menatap Alaric dengan tajam. Ia mengerti apa maksud pemuda ini dan ia merasa kata-kata Alaric terlalu arogan untuk orang semuda dirinya.     

Menguasai dunia untuk menjadikannya tempat yang lebih baik?     

Anak muda ini terlalu idealis dan terlalu meledak-ledak, pikir Caspar.     

"Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely." Caspar mengucapkan kalimatnya pelan-pelan dan saksama, supaya Alaric memperhatikannya. "Itu ucapan Baron Acton dan ia sangat benar. Kekuasaan cenderung akan merusak orang, dan kekuasaan mutlak akan membuat orang rusak mutlak, tidak ada harapan lagi. Walaupun kau orang baik, tetapi kekuasaan yang mutlak akan merusakmu hingga ke bagian dalam. Aku sungguh berharap kau tidak mengambil jalan itu."     

"Kau tidak bisa mencegahku," jawab Alaric sambil mengangkat bahu. "Aku punya semuanya untuk mewujudkan cita-citaku."     

Ya, tentu saja, Alaric merasa tidak membutuhkan dukungan Caspar. Ia telah mulai menguasai media, teknologi, bahkan sistem automasi dalam kehidupan sehari-hari manusia akan segera terimplementasi secara massal, dan semua itu dapat ia gunakan untuk mengendalikan manusia.     

"Uhm... apa yang mau kau lakukan di luar kaum kita, itu urusanmu, tetapi selama aku masih menjadi ketua klan aku tidak akan membiarkanmu membawa-bawa kaum Alchemist untuk menguasai manusia lain." Caspar meletakkan gelasnya dan menatap Alaric dengan pandangan kecewa.     

Tadinya ia berharap dapat mengundurkan diri dari kedudukan sebagai ketua klan bila memang Alaric akan menjadi kandidat ketua dari Ned dan Portia. Tetapi kalau melihat sikap Alaric yang demikian arogan, ia merasa terlalu berbahaya memberikan kekuasaan tambahan kepada pemuda itu dengan Caspar mundur sebagai ketua klan.     

Ini tidak boleh dibiarkan, pikirnya. Ia harus dapat membujuk Nicolae untuk maju menggantikannya.     

"Aku mengerti," kata Alaric tanpa ekspresi. "Aku masih menghargaimu sebagai ketua klan dan tidak akan membantah. Tetapi sepuluh tahun lagi, saat dukungan semua anggota klan sudah beralih kepadaku, kau tidak akan dapat berbuat apa-apa."     

Finland melihat ketegangan di antara kedua pria itu dan buru-buru mengangkat piring berisi kue-kue ke depan Caspar dan Alaric, "Eh... silakan dicicipi kuenya. Ini makanan istimewa dari chef terbaik di Skotlandia."     

Alaric mengangguk ke arah Finland lalu bangkit berdiri. "Terima kasih atas kebaikan Anda, Nyonya Schneider. Saya harus pergi."     

Tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu keluar.     

"Ugh.. arogan sekali anak itu. Aku tidak menyangka keponakan Lauriel sesombong itu." Caspar mengomel.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.