The Alchemists: Cinta Abadi

Memandang Lembah Bersama



Memandang Lembah Bersama

0Mereka tiba di puncak Bukit Kupu-Kupu setelah perjalanan berkuda yang menyenangkan. Nicolae menjaga agar tubuhnya tidak sampai menyentuh Aleksis yang duduk santai di depannya mengendalikan kuda mereka. Ia tak mau Aleksis menganggapnya mencari kesempatan.     

Walaupun tentu saja ia ingin sekali memeluk tubuh gadis itu dari belakang dan menikmati aroma tubuhnya dengan lebih dekat.     

"Anak-anak benar, tempat ini indah sekali," komentar Aleksis setelah mereka tiba. Dengan cekatan ia melompat turun dari kuda dan mengangkat tangannya seolah hendak membantu Nicolae turun.     

"Uhm... aku bisa turun sendiri, ya," kata Nicolae sambil menahan tawa.     

"Maksudku, berikan keranjangnya biar aku yang bawa, supaya kau bisa turun dengan lebih gampang," Aleksis mengerucutkan bibirnya. "Kau pikir kau masih anak-anak hingga aku mesti membantumu turun?! Dasar."     

"Oh... oke. Maaf aku terlalu geer... hahaha.." jawab Nicolae, sama sekali tidak tersinggung. Ia menyerahkan keranjang pikniknya kepada Aleksis lalu melompat turun dari kuda dan dengan santai menuntun kuda itu ke dekat sebuah pohon olive yang sangat rindang, kemudian mengikat kekangnya di sana.     

Aleksis menebarkan alas piknik mereka di bawah pohon yang teduh itu dan menata makanan dan minuman mereka dengan rapi.     

"Terima kasih sudah mengajakku berlibur sejenak," kata Aleksis saat ia sudah duduk santai di selimut dan menatap lembah cantik di bawah mereka. "Ini sangat menyenangkan."     

"Tentu saja," Nicolae mengangguk sambil mengambil duduk di sebelah Aleksis. Ia mengeluarkan sebuah pisau kecil dan mulai memotong apel dan membagi irisan demi irisan apel kepada Aleksis.     

Untuk sesaat mereka duduk menikmati apel tanpa berkata apa-apa.     

"Bagaimana kabarmu selama ini?" tanya Nicolae setelah satu apel habis. Ia tidak menoleh ke arah Aleksis, tetap mengarahkan pandangannya ke lembah.     

"Kau sama sekali tidak tahu?" tanya Aleksis keheranan. "Aku pikir kau bertanya kabarku kepada Paman Rory atau Terry. Kemarin itu aku kaget sekali, kau bahkan tidak tahu anakku laki-laki dan perempuan."     

Nicolae menggeleng pelan, "Uhm... tidak, aku sengaja tidak menanyakan kabarmu kepada siapa-siapa. Maafkan aku, bukannya aku tidak peduli pada keadaanmu, aku tahu kau di tangan yang baik. Aku hanya tidak bisa mendengar kabar apa-apa tentangmu selama aku di luaran itu..."     

"Kenapa?" tanya Aleksis. Ia bisa menduga jawabannya, tetapi ia ingin mendengarnya langsung dari mulut Nicolae sendiri. "Kau adalah satu-satunya temanku waktu itu. Aku percaya kepadamu, dan kita sangat dekat. Kau banyak menolongku saat aku kabur dari rumah... Bayangkan betapa aku sangat sedih karena kau tiba-tiba pergi begitu saja."     

Ia menggigit bibirnya, mengingat pengalaman menyesakkan 5,5 tahun lalu ketika ia pulang ke rumah orang tuanya, dan Nicolae kemudian justru pergi dan menghilang selama bertahun-tahun.     

"Maafkan aku," Nicolae akhirnya menoleh dengan pandangan penuh penyesalan. "Aku tidak sekuat itu."     

"Hmm..." Aleksis mengangguk. "Baiklah, aku mengerti."     

"Kau tidak mengerti, Aleksis..." Nicolae menghela napas panjang. Suaranya berubah menjadi serak. "Aku menyukaimu sejak pertama melihatmu. Waktu itu kau gadis kutu buku berpenampilan lusuh. Aku tidak tahu kau sangat kaya, dan kau ternyata hidup abadi sepertiku. Semua itu menjadi bonus yang sangat menyenangkan."     

Aleksis tahu Nicolae menyukainya, bahkan mencintainya, karena pemuda itu benar-benar seperti ayahnya, sangat ekspresif dengan perasaannya. Tetapi ini adalah kali pertama ia mendengar kata-kata itu diucapkan Nicolae langsung kepadanya.     

"Aku sempat bingung saat kau mengira aku adalah Pangeran Siegfiried... dan aku terlambat mengetahui yang sebenarnya. Kalau aku tahu aku memang semirip itu dengan dirinya, aku pasti akan berpura-pura, aku akan mengaku sebagai dia." Nicolae tersenyum getir, "Kau akan menganggap bahwa Pangeran Siegfried sesungguhnya adalah seorang manusia abadi dan menerimaku dengan senang hati. Apalagi saat aku menemukan ayahku... yang ternyata adalah ayah angkatmu. Itu seperti takdir. Sayangnya aku terlambat, kau sudah menemukan yang asli dan menikah dengannya."     

"Nic... kau jangan berkata begitu. Aku yang salah karena mengira kau adalah dia dan sempat menimbulkan kesalahpahaman di antara kita." Aleksis memegang tangan Nicolae dan menepuk-nepuk punggung tangannya dengan halus, "Aku tahu kau bukan pembohong, kalaupun kesempatan itu ada, kau tidak akan menipuku dan mengaku-ngaku sebagai Pangeran Siegfried. Kau terlalu baik."     

Nicolae tersenyum sedikit. "Aku menyesal karena kau harus menghadapi tragedi itu dan kehilangan orang yang kau cintai dan ayah dari anak-anakmu."     

Aleksis mengangguk dan menggigit bibirnya berusaha tidak menangis. "Tidak apa-apa. Itu sudah lama berlalu."     

"Aku sekarang mengerti kenapa waktu itu kau bisa salah mengira. Alaric pasti cukup mirip denganku karena aku melihat Altair dan Vega sekarang terlihat sepertiku. Ayah mereka pasti cukup banyak memiliki kesamaan fisik denganku," kata Nicolae lagi.     

Aleksis menatap Nicolae lekat-lekat dan beberapa saat kemudian ia mengangguk. "Kau benar... Sewaktu aku bertemu dengannya ketika aku berumur 12 tahun ia sangat mirip denganmu, karena itulah aku sempat salah mengira kau adalah dia. Tetapi ia kemudian terluka parah dalam salah satu tugasnya dan wajahnya menjadi cacat. Ia tidak mau menunjukkan wajahnya kepadaku. Aku tidak tahu bagaimana wajahnya setelah ia bertambah tua. Anak-anakku juga tidak akan pernah tahu."     

Nicolae terkesima mendengar penjelasan Aleksis. Mereka tidak pernah membicarakan Alaric Rhionen yang misterius itu sebelumnya. Bahkan saat Aleksis dulu tinggal bersamanya, Nicolae tidak pernah bertanya-tanya apalagi mendesak Aleksis untuk menceritakan hubungannya dengan Alaric.     

Dalam hati ia tambah merasa tertekan. Ia kini tahu betapa tulusnya cinta Aleksis kepada Alaric. Gadis itu sama sekali tidak mempedulikan perbedaan usia di antara mereka dan bahkan tidak juga peduli wajah Alaric sudah menjadi rusak.     

Ia tak tahu apakah suatu hari nanti Aleksis akan dapat mencintainya sebesar itu.     

"Aku tidak tahu kalau seperti itu hubungan kalian," katanya pelan. "Kedengarannya dia adalah orang yang rumit."     

Aleksis mengangguk. "Dia memang sangat rumit. Aku tahu keluargaku tidak akan bisa menerimanya, selain karena latar belakangnya yang hitam, ia juga menyimpan dendam yang sangat besar kepada umat manusia. Saat itu aku dengan naifnya berpikir aku akan mampu mengubahnya. Sayangnya kesempatan itu tidak pernah datang, dan ia mati dengan membawa dendamnya."     

"Berarti kemiripan kami hanya sebatas fisik saja ya," komentar Nicolae. "Aku tidak rumit dan aku tidak membenci manusia. Ayahku yang begitu, tapi aku tidak seperti ayahku."     

"Benar," Aleksis tersenyum untuk pertama kalinya. "Kau adalah dirimu sendiri. Aku menyukai Nicolae yang hangat dan selalu bersikap manis. Kumohon jangan pernah berubah."     

"Tidak. Tidak akan," jawab Nicolae dengan tegas. "Aku tidak akan berubah apa pun yang terjadi."     

"Bagus." Aleksis mengambil pisau dari tangan Nicolae dan gantian mengupas apel untuk mereka. "Kau mau minum wine?"     

"Eh, ini belum jam 12," jawab Nicolae heran.     

"Di sini tidak ada anak-anak," bisik Aleksis dengan nada nakal. "Ayo bukakan botolnya."     

Dengan patuh Nicolae membuka sumbat botol wine dan menuangkan masing-masing setengah gelas untuk mereka.     

Mereka minum wine sambil membicarakan berbagai petualangan Nicolae selama beberapa tahun ini keliling dunia. Wine membuat suasana menjadi jauh lebih cair dan sebentar saja keduanya sudah tertawa gelak-gelak ketika Nicolae menceritakan tentang Terry yang hampir memesan satu pesawat kosong untuk membawa mereka ke Roma.     

"Ah, kakakku memang suka berlebihan seperti itu," komentar Aleksis. "Aku masih ingat dulu kalian adalah musuh bebuyutan. Bagaimana rasanya setelah kalian mengetahui bahwa orang yang paling kalian benci ternyata adalah sahabat kalian di dunia maya? Aneh tidak rasanya?"     

Nicolae mengangkat bahu, "Awalnya begitu. Tetapi lama kelamaan aku justru lupa bahwa kami pernah bersaing, dan kami bisa menjadi sahabat baik sungguhan."     

"Ah... tentu rasanya menyenangkan sekali." Aleksis menganguk-angguk. "Ngomong-ngomong, Paman Lauriel sengaja mengundang banyak gadis single dan cantik dari keluarga terhormat datang ke pestamu. Ada yang menarik perhatianmu tidak? Kita bisa mengundang mereka lagi untuk acara pesta tahun baru atau mengadakan pesta dansa atau apa."     

Nicolae mengangguk, "Ada. Dan aku mau mengundangnya untuk makan malam denganku minggu depan."     

"Oh ya? Yang mana?" tanya Aleksis.     

"Dia dari Jerman, kalau tidak salah anaknya Paman Caspar." Nicolae mengangkat bahu dan menghabiskan wine-nya. "Aku tidak tahu dia mau makan malam denganku atau tidak."     

Aleksis sontak memukul bahu pemuda itu yang kemudian terkekeh-kekeh karena berhasil menggodanya.     

"Kau ini tidak serius," omel Aleksis.     

"Kata siapa? Aku serius, kok." Nicolae menaruh gelasnya dan menatap Aleksis dalam-dalam, lalu bertanya dengan suara sangat sungguh-sungguh. "Aleksis Schneider... maukah kau makan malam denganku minggu depan? Hanya kita berdua."     

"Aish... apa-apaan ini? Tentu saja aku mau. Tidak usah pasang muka memelas begitu," tukas Aleksis.     

"Aku tidak memelas," Nicolae membela diri. "Aku hanya ingin terdengar sungguh-sungguh, karena tadi kau menuduhku tidak serius."     

"Hmm.. baiklah. Aku tidak akan menuduhmu tidak serius."     

"Terima kasih." Mendengar jawaban postif dari Aleksis, Nicolae kemudian memberanikan diri untuk bertanya lagi. "Aleksis..."     

"Ada apa?"     

"Bolehkah aku memegang tanganmu?" tanyanya dengan suara serak.     

Aleksis menatap Nicolae dengan pandangan tidak percaya. Wajah pemuda itu terlihat sangat sungguh-sungguh. Akhirnya sambil geleng-geleng gadis itu tertawa.     

"Ahahah... kukira mau tanya apa." Aleksis menoleh ke arah lembah, menghindari tatapan Nicolae. Tetapi ia masih menjawab dengan sambil lalu. "Boleh."     

"Terima kasih." Sambil tersenyum lebar, Nicolae lalu melingkarkan tangan kanannya dan menggenggam tangan kiri Aleksis. Dalam posisi itu keduanya lalu menikmati pemandangan lembah bersama.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.