The Alchemists: Cinta Abadi

Piknik



Piknik

0Nicolae menoleh kepada Altair dan Vega dan mengangguk, "Karena Mama Aleksis meminta Paman Nic untuk tinggal, maka paman akan tinggal."     

Kedua anak itu segera bersorak gembira dan memeluknya dengan penuh sukacita. Aleksis hanya melihat pemandangan itu dengan pandangan rumit. Sesaat kemudian ia melengos, untuk menyembunyikan air matanya yang menitik pelan-pelan.     

Ia tahu kedua anaknya sangat membutuhkan figur ayah dan ia telah menahan itu dari mereka selama enam tahun dengan menutup hatinya kepada Nicolae. Aleksis tahu sudah saatnya ia melanjutkan hidup.     

"Setelah sarapan kita pergi ke kota untuk belanja pakaian," kata Nicolae sambil duduk di kursi makan dan memberi tanda kepada pelayan untuk mulai menghidangkan makanan. Ia menoleh kepada Aleksis, "Kuharap kau tidak keberatan tinggal di sini sedikit lebih lama... Aku ingin sekali menghabiskan lebih banyak waktu bersama Altair dan Vega."     

Aleksis hanya dapat mengangguk.     

Suasana di meja makan terasa sangat meriah karena celoteh Altair dan Vega. Lauriel belum pernah merasa sebahagia itu dikelilingi oleh orang-orang yang sangat dia cintai. Hatinya yang selama ini dingin terhadap manusia perlahan-lahan melunak dan bahkan para pelayannya dapat melihat betapa tuan besar mereka sekarang tampak menjadi lebih hangat dan ramah.     

Setelah sarapan, Aleksis dan anak-anaknya mandi dan ikut Nicolae turun ke kota untuk berbelanja. Mereka naik mobil konvertibel (beratap terbuka) dan menikmati hembusan angin di sepanjang perjalanan karena cuaca yang cerah. Nicolae menyetir sendiri mobilnya dengan Aleksis duduk di sampingnya dan anak-anak di bangku belakang.     

Mereka segera menuju ke butik dan membeli perlengkapan menginap bagi ibu dan anak itu selama satu minggu. Ketika berada di bagian pakaian anak perempuan, Nicolae dengan antusias memilihkan beberapa gaun yang sangat cantik untuk kedua anak itu, dan baru saat itulah ia akhirnya menyadari bahwa Altair sebenarnya laki-laki.     

"Paman tidak sayang aku, dari tadi hanya memilihkan baju untuk Vega," omel Altair setelah Nicolae mengambil gaun kesepuluh.     

"Eh... Paman membeli ini untuk kalian berdua," kata Nicolae keheranan. "Lihat, beberapa di antaranya ada yang persis sama, supaya kalian tidak berebutan."     

Altair mengerucutkan bibirnya dan menoleh kepada ibunya dengan wajah protes. "Mama, aku tidak suka pakai gaun."     

"Eh, Altair tidak suka baju anak perempuan, dia kan laki-laki," tegur Aleksis.     

"Eh.. apa? Jadi Altair itu laki-laki dan Vega perempuan???" Nicolae menatap Altair dan Vega bergantian dengan pandangan shock.     

Ia baru menyadari bahwa kedua anak itu hanya sangat mirip, tapi tidak persis sama. Rupanya mereka bukan kembar identik. Dari kemarin ia mengira Altair juga perempuan karena ia memakai pakaian berwarna merah muda, yang selama ini diasosiasikan dengan perempuan.     

"Uhmm... kau pernah baca tentang rasi bintang Altair dan Vega tidak?" Aleksis bertanya balik.     

Nicolae menggeleng. Ia lalu menatap Altair dengan wajah menyesal, "Maafkan Paman, Paman tidak tahu."     

"Iya, tidak apa-apa, tapi yang jelas aku tidak mau pakai gaun," omel Altair lagi. Nicolae tersenyum dan mengangguk.     

"Tentu saja, kau bisa memakai apa pun yang kau suka. Maaf, Paman akan mengambikan baju laki-laki. Kita bisa kembaran malah..."     

Barulah wajah Altair kembali dihiasi senyuman. Setelah berbelanja, mereka menyempatkan diri untuk makan siang di restoran dan menikmati gellato yang sangat enak. Cuaca yang cerah, makanan enak dan kebersamaan dengan keluarga membuat hati keempatnya terasa bahagia.     

Nicolae merasa bersyukur ayahnya mengadakan pesta ulang tahunnya kemarin dan memaksanya pulang. Kalau tidak, mungkin sampai sekarang ia masih akan mengembara ke sudut bumi dan hidup dengan menyangkal cintanya.     

Kini Aleksis telah membuka diri, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan gadis itu bahwa mereka akan dapat bersama dan saling mengisi. Ia akan membuat Aleksis jatuh cinta kepadanya.     

Aleksis melihat Nicolae termenung saat mereka sedang duduk di sebuah kafe teras menikmati tiramisu dan ia tak tahan untuk tidak bertanya.     

"Apa yang kau pikirkan?" Suara Aleksis menggugah Nicolae dari lamunannya.     

Seperti biasa pemuda itu tersenyum hangat, "Aku sedang memikirkan kapan sebaiknya aku mulai mengajakmu berkencan."     

Altair dan Vega mengangkat wajah mereka menantikan kelanjutan ucapan Nicolae. Mereka pun ingin tahu.     

"Oh..." Aleksis menunduk. Seharusnya ia tidak bertanya, pikirnya. Kini situasinya menjadi canggung karena mereka sedang berada di depan anak-anaknya.     

Nicolae tidak melanjutkan ucapannya karena Aleksis tidak mendesaknya lebih lanjut, dan ia mengerti gadis itu merasa canggung di depan kedua anaknya.     

"Uhmm... sudah sore, kita pulang saja ya, Paman kan sudah berjanji akan mengajari kalian membuat pizza," katanya kemudian setelah menghabiskan tiramisunya.     

Mereka pulang ke kastil dan Nicolae membawa anak-anak Aleksis ke dapur untuk kegiatan belajar membuat pizza. Altair dan Vega sangat gembira karena ini merupakan pengalaman baru bagi mereka.     

Aleksis ikut senang melihat anak-anaknya belajar hal baru dan sangat menikmati waktu mereka di Kastil Medici. Malam itu mereka makan malam berupa pizza buatan Nicolae dan si kembar.     

"Wahh... aku tidak menyangka kau bisa membuat pizza, dan rasanya enak sekali," puji Aleksis. "Aku tidak tahu kau bisa memasak."     

Nicolae mengangkat bahu, "Aku sudah hidup sendiri selama puluhan tahun, tentu harus bisa mengurus diriku sendiri."     

"Wahh... banyak kok orang lain yang sudah hidup puluhan atau ratusan tahun tetapi tak bisa memasak," kata Aleksis. "Tadinya aku pikir semua laki-laki itu jago memasak seperti ayahku, karena kami selalu dimanjakan oleh masakan buatannya. Tetapi kemudian aku menyadari, ayahku adalah orang yang istimewa, karena kebanyakan laki-laki tidak bisa memasak."     

Aleksis melirik Lauriel yang seketika batuk-batuk. Ugh... Lauriel termasuk bagian dari laki-laki yang tidak bisa memasak itu. Berikan kepadanya pisau, ia akan dapat menggunakannya untuk mengalahkan sepasukan musuh, tidak untuk memasak.     

"Aha... aku senang karena aku mengingatkanmu akan Paman Caspar. Aku sangat mengaguminya," kata Nicolae senang. "Kami sama-sama dokter, dan juga suka memasak."     

Aleksis membenarkan dalam hati, bahwa walaupun Nicolae berwajah sangat mirip dengan Lauriel, kepribadian dan kebiasaannya tidak seperti ayahnya. Ia adalah seorang pribadi yang sangat hangat dan sikapnya selalu manis, kebalikan Lauriel yang dingin dan acuh.     

Nicolae justru sangat banyak mengingatkannya akan ayahnya sendiri, Caspar Schneider. Ayahnya sangat hangat dan penuh cinta. Ia tak segan-segan mengungkapkan perasaannya dengan berbagai tindakan besar. Siapa pun bisa melihat betapa besar cintanya kepada Finland dari puluhan mil jauhnya.     

Mungkin itulah yang menyebabkan Aleksis dapat membuka hatinya kepada Nicolae. Orang bilang seorang perempuan akan cenderung jatuh cinta kepada sosok laki-laki seperti ayahnya. Semakin lama ia menghabiskan waktu bersama Nicolae, semakin ia merasa melihat sosok ayahnya dalam diri pemuda itu.     

Kalau dipikir-pikir, justru Alaric memiliki kepribadian dan kebiasaan yang mirip dengan Lauriel, pikir Aleksis lagi. Bahkan selera berpakaian mereka pun mirip. Ia sekarang menyadari, mungkin itu sebabnya ia jatuh cinta kepada Alaric pada mulanya.     

Alaric mengingatkannya ayah angkatnya, Lauriel yang mendidiknya sejak kecil dan sangat ia kagumi.     

Tanpa sadar Aleksis mendesah. Ia tak mengerti kenapa ia selalu memikirkan Alaric, apa pun yang terjadi.     

Tadi ia sedang mengagumi masakan Nicolae, tetapi kini ia malah kembali memikirkan Alaric Rhionen...     

Entah sampai kapan ia akan terus begini.     

"Mama, besok kita piknik di Bukit Kupu-Kupu, ya?" kata Altair tiba-tiba. "Paman Nic bisa membuatkan pizza lagi dan kami akan memetik berry untuk kita. Pemandangan di sana bagus sekali."     

"Eh.. benarkah?" Aleksis mengangguk. "Baiklah, besok kita piknik."     

Ia melanjutkan makannya sambil berusaha mengusir bayang-bayang Alaric.     

***     

Keesokan harinya saat matahari mulai tinggi Nicolae telah siap di atas kuda di depan kastil menunggu Aleksis dan anak-anaknya keluar untuk piknik. Ia membawa keranjang berisi makanan dan minuman bersamanya.     

Ia mendengar dari Altair dan Vega bahwa mereka sangat suka berkuda, maka hari ini ia sengaja merencanakan acara pikniknya dengan mengendarai kuda. Tampak dua orang pelayan membawakan dua ekor kuda poni bagi keduanya.     

Aleksis dan kedua anaknya keluar tepat jam 10 seperti yang dijanjikan, tetapi wajah ketiganya tampak merengut.     

"Maaf, pikniknya harus batal," kata Aleksis dengan nada menyesal. "Altair mengeluh sakit kepala, dan Vega sakit perut..."     

"Aku akan beristirahat dan meminta obat dari Kakek Rory. Ibu dan Paman Nic teruskan saja pikniknya..." kata Altair cepat-cepat. "Sayang lho.. Paman Nic sudah membuat makanan untuk piknik."     

"Aku juga mau tidur saja. Mama dan Paman Nic pergi piknik ke Bukit Kupu-Kupu mewakili aku dan Altair. Nanti Mama ambil foto yang banyak ya.." Vega menambahkan.     

"Aduh... Kalau kalian sakit, mama mau di sini merawat kalian," kata Aleksis.     

"Aduhhh... Mama nggak kasihan sama Paman Nic yang sudah menyiapkan semuanya? Mama tega sekali ya..." kecam Altair dengan nada yang membuat Aleksis menjadi merasa bersalah.     

Ugh... anak ini pandai sekali memanipulasi orang, pikir Aleksis. Altair mengingatkannya akan dirinya sendiri sewaktu kecil dulu.     

"Iya, baiklah... Mama akan pergi piknik mewakili kalian," cetus Aleksis akhirnya. Ia menoleh kepada Nicolae, "Maaf, hanya aku yang bisa ikut, anak-anak sedang sakit"     

"Tidak apa-apa," Nicolae mengangguk senang. Ia baru menyadari bahwa anak-anak itu sengaja merencanakan ini agar ia dapat menghabiskan waktu berdua dengan Aleksis. Ah, anak-anak yang pintar. Paman akan memberi kalian banyak hadiah nanti, pikirnya.     

"Selamat bersenang-senang, Paman dan Mama," Altair dan Vega melambaikan tangan mereka dengan penuh semangat ketika Aleksis berjalan mendekati Nicolae.     

"Maaf, hanya ada satu kuda dewasa yang dapat dipakai hari ini. Yang lainnya belum kembali dari padang rumput," kata Nicolae. Ia mengulurkan tangannya dan membantu Aleksis naik ke atas punggung kudanya.     

"Tidak apa-apa." Dengan lincah Aleksis meloncat naik dan sesaat kemudian sudah duduk anggun di depan Nicolae. "Kau pegang keranjang pikniknya, biar aku yang mengendalikan kudanya."     

"Hmm..." Nicolae tidak menjawab. Ia memegang keranjang piknik di tangan kanannya dan tangan kiri menyerahkan kekang kepada Aleksis. Kemudian ia melambai kepada anak-anak dan keduanya pun berlalu ke arah Bukit Kupu-Kupu.     

"Kau sangat pintar berkuda," puji Nicolae di tengah perjalanan.     

"Ahaha... terima kasih. Paman Rory yang mengajariku."     

Mereka tidak banyak bicara di sepanjang perjalanan. Aleksis baru menyadari betapa sudah lama sekali ia tidak berkuda ataupun bersenang-senang tanpa kedua anaknya seperti ini.     

Tanpa sadar ia mengembangkan dadanya dan menghirup napas dalam-dalam. Udara di bukit ini masih segar. Sesuatu yang mulai jarang ditemui saat ini.     

Nicolae pun menarik napas dalam-dalam mengikuti Aleksis, dan seketika ia terpesona saat menyadari tubuh mereka dekat sekali hingga ia dapat mencium bau alami Aleksis yang seperti citrus menyegarkan itu.     

Ia sudah menyukai aroma Aleksis sejak pertama kali gadis itu memeluknya di kampus ketika mengira dia adalah Pangeran Siegfried.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.