The Alchemists: Cinta Abadi

Saat terakhir



Saat terakhir

0Aleksis bangun kesiangan dan menemukan ia berada sendirian di kamar. Dengan agak malas ia membasuh dirinya di kamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan sebuah gaun kasual yang terlihat cantik sekali di tubuhnya.     

Ia menemukan Alaric di ruang kerjanya sedang menandatangani beberapa berkas lalu memasukkannya ke dalam laci. Pria itu tampak sangat segar dan bersemangat. Kebalikan Aleksis yang merasakan tubuhnya lelah dan agak pegal.     

Hal ini membuatnya malu karena tadi malam bisa dibilang Alaric-lah yang bekerja keras dan ia hanya menikmati dengan egois kegiatan bercinta mereka.     

Tapi kenapa justru Alaric yang pagi ini terlihat segar dan ia yang kusut?     

"Selamat pagi," sapanya saat memasuki ruang kerja Alaric. Pria itu mengangkat wajahnya dan seulas senyum langsung terkembang di wajahnya. Aleksis seketika merasa kekusutannya berkurang sedikit saat melihat wajah bahagia Alaric, "Kenapa kau tidak membangunkanku? Sekarang sudah hampir jam 10. Aku merasa malu, rasanya seperti menjadi orang pemalas..."     

Alaric bangkit dan mencium Aleksis, "Tidak apa-apa, kau kan tidak ada kegiatan hari ini. Bukankah kau berencana bolos kuliah? Aku bangun cepat karena harus siap-siap berangkat. Besok sudah ada meeting dengan perwakilan Group Meier di London."     

"Kenapa tidak mereka saja yang ke sini?" tanya Aleksis kemudian. Sekarang ia menyadari kekusutannya bukan karena ia lelah akibat kegiatan mereka di malam sebelumnya, melainkan karena secara tidak sadar ia sedih mengetahui Alaric akan pergi.     

"Ini sudah dibicarakan dari jauh sebelumnya. Ada beberapa hal yang harus dibahas di tempat. Aku ingin melihat sistem yang mereka punya dan fasilitas yang mesti kami bangun untuk proyek tersebut," Alaric menutup laptopnya lalu menggandeng Aleksis keluar ruang kerjanya. "Sarapan?"     

Aleksis mengangguk. Mereka berjalan bergandengan ke ruang makan dan menikmati sarapan yang sudah disiapkan pelayan. Keduanya tidak saling bicara, hanya menikmati kehadiran masing-masing sebelum mereka berpisah sebentar lagi.     

"Selama aku pergi, kau boleh datang ke sini kapan saja dan tinggal di sini. Semua pelayan sudah mengenalmu." kata Alaric saat mereka selesai makan.     

Sudah hampir tiba waktunya untuk pergi.     

Aleksis hanya mengangguk.     

Pavel tiba sepuluh menit kemudian dan berbicara sedikit dengan Alaric lalu mereka bersiap-siap berangkat.     

"Aku boleh ikut ke bandara?" tanya Aleksis kemudian.     

"Tentu saja." Jawaban Alaric membuat Aleksis sangat senang, gadis itu segera berjingkat dan menciumnya. Pavel membuang muka melihat adegan itu, sementara Alaric hanya tertawa. "Kau harus memaafkan Pavel, memang dia terlalu serius."     

Aleksis menyadari sejak pertama bertemu, Pavel terlihat tidak menyukainya. Mungkin ia masih dendam karena Aleksis pernah bertengkar dengannya di Sky Bar waktu itu, atau dia memang tidak suka karena Aleksis berhasil memikat hati bosnya. Tapi pada titik ini Aleksis tidak terlalu mempedulikannya.     

Ia justru senang melihat orang-orang Alaric sepertinya memiliki kepribadian mereka sendiri dan tidak bertindak seperti robot di sekitarnya yang tidak punya perasaan atau sebaliknya berpura-pura baik dan mencari muka.     

Mereka segera berangkat ke bandara. Pavel telah mengurus segala sesuatunya hingga mobil Mercedes anti peluru itu langsung masuk ke area runway, mereka tidak perlu lewat gerbang check in, imigrasi dan boarding seperti penumpang biasa.     

Aleksis yang terbiasa naik pesawat pribadi keluarganya tidak tampak terkejut karena mereka tidak turun di lobi dan check in seperti bila naik pesawat komersial, dan hal ini menarik perhatian Alaric.     

"Kau tidak terkejut kita langsung masuk ke area runway?" tanyanya keheranan. "Seolah kau biasa naik pesawat pribadi."     

Aleksis baru menyadari kesalahannya. Ugh... Alaric akan tahu bahwa ia sangat kaya.     

"Aku sudah menduga orang sepertimu pasti punya pesawat pribadi, jadi aku memang tidak terkejut," jawabnya dengan nada sebiasa mungkin, "Aku pernah lihat video orang-orang yang naik pesawat pribadi."     

"Oh..." Alaric menatap Aleksis agak lama. Ia mendengar dari Pavel bahwa kemungkinan Aleksis adalah anak gelap Kurt Van Der Ven, tetapi ia belum mengetahui kebenarannya dari mulut Aleksis sendiri.     

Ia tidak mau menanyakan hal itu kepada istrinya karena ia kuatir Aleksis akan menjadi malu. Tadinya ia ingin menunggu hingga Aleksis sendiri yang bicara... Tetapi gadis itu semakin membuatnya penasaran.     

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Aleksis.     

"Hmm... tidak apa-apa." Alaric kemudian ingat bahwa Aleksis tadi malam dengan begitu pengertian membiarkannya menyembunyikan wajahnya, hingga ia merasa nyaman untuk membuka diri kepadanya.     

Alaric memutuskan untuk melakukan hal yang sama dan tidak akan mendesak Aleksis untuk menceritakan tentang keluarganya.     

"Aku mau lihat pesawatmu, boleh kan? Aku penasaran seperti apa sih bentuk dalamnya..." kata Aleksis kemudian untuk mengalihkan perhatian. Wajahnya tampak penasaran dan penuh semangat.     

Ia tentu saja tahu bagaimana bentuk dalam pesawat pribadi Alaric. Dari bentuk jendela kokpitnya ia sudah bisa melihat bahwa itu adalah salah satu produk pesawat pribadi berkapasitas 30 orang buatan Atlas Corp, salah satu anak perusahaan milik ayahnya.     

Ia ingat 20-an tahun lalu ayahnya terpaksa membeli perusahaan aviasi itu untuk memecat seorang manajer marketing kurang ajar yang melecehkan ibunya.     

Atlas Corp menjadi salah satu perusahaan kesayangan Caspar, karena pembelian Atlas Corp menjadi penyebab Finland memutuskan menerima cintanya, hingga kemudian mereka menikah dan hidup bahagia seperti sekarang.     

"Hmmm... baiklah, silakan naik, Tuan Putri. Aku akan membawamu berkeliling melihat-lihat," kata Alaric dengan senang hati.     

Ia membantu Aleksis masuk ke dalam pesawatnya dan menunjukkan bagian dalam pesawat yang didesain dengan sangat elegan dan mewah. Di dalam pesawat sudah ada sekitar 10 staf yang sibuk dan melakukan berbagai pekerjaan.     

Ketika Alaric dan Aleksis masuk, semuanya menyempatkan diri memberi hormat sebelum kembali pada kesibukan mereka. Aleksis pura-pura kagum melihat isi pesawat tersebut dan dua buah kamar untuk beristirahat yang ditata dengan sangat nyaman dan mewah. Pesawat ini benar-benar lengkap memenuhi fungsi seperti rumah dan kantor sekaligus di atas udara. Ia puas melihat-lihat.     

"Keren sekali!" katanya berulang-ulang. Alaric tampak senang melihat gadis itu kagum pada pesawatnya.     

"Kapan-kapan kita bepergian naik pesawat ini untuk liburan," katanya kemudian. "Aku ingin membawamu ke salah satu tempat favoritku di Rumania."     

"Kenapa Rumania?" tanya Aleksis keheranan.     

Alaric terdiam sesaat. Ekspresinya tampak menjadi sedih. "Di sana ada makam ibuku."     

"Oh...." Aleksis seketika mengerti. Ia ingat ibu Alaric meninggal saat melahirkannya. Ia tak mengira pria itu mengetahui di mana ibunya dimakamkan. "Kau menemukan makamnya?"     

Alaric mengangguk. "Bidan yang membawaku ke panti asuhan kadang-kadang berkunjung. Sesudah aku cukup besar untuk mengerti, ia memberitahuku apa yang terjadi dan membawaku ke makamnya."     

Aleksis meremas tangan Alaric dengan haru. Pria ini sangat menyayangi ibunya dan hidupnya tampaknya berputar karena dendam akibat kematian perempuan itu. Mungkin kalau Aleksis berhasil mengubah hatinya, Alaric akan dapat pelan-pelan memaafkan apa yang telah terjadi..     

"Aku akan sangat senang ikut denganmu dan bertemu ibumu..." kata Aleksis dengan suara lembut, "Aku pun ingin sekali membawamu bertemu orang tuaku."     

Alaric tampak berpikir sejenak. Empat hari lalu saat Aleksis mengatakan ingin mengajaknya menemui ibunya dan Paman Rory yang sama-sama sebatangkara seperti dirinya, ia masih belum siap.     

Tetapi kini ia sudah tidak terlalu keberatan. Mungkin ada baiknya ia bertemu orang tua Aleksis dan memperkenalkan diri.     

"Nanti kita atur setelah aku pulang dari London," kata Alaric setuju. "Aku harap keluargamu akan menyukaiku."     

Aleksis hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Ia mulai memikirkan cara terbaik untuk memberi tahu keluarganya bahwa ia telah menemukan Pangeran Siegfried idamannya dan telah menikah diam-diam.     

Ia tahu mereka pasti akan kecewa, tetapi mereka sangat menyayanginya... mereka tidak akan marah lama-lama...     

Ia mencium bibir Alaric dan mendekapnya lama sekali.     

Waktunya berpisah telah tiba.     

"Uhm... aku punya sesuatu untukmu..." kata Alaric tiba-tiba. Ia melepaskan pelukan Aleksis dan mengeluarkan kalung bertali kulit yang selama ini menggantung di lehernya, lalu menyerahkannya kepada gadis itu, "Aku ini sangat kaya, tetapi barang yang paling berharga bagiku adalah kalung ini... berisi potongan rambut ibuku... Aku harap kau mau menerimanya. Aku menyesal tidak pernah memberimu apa-apa hingga kita menikah."     

Alaric ingat Aleksis dulu memberinya sebuah cincin putih bermata mutiara sewaktu ia masih berusia 12 tahun, lalu beberapa hari yang lalu gadis itu memberinya botol ramuan penyembuh luka, sementara ia hingga kini belum pernah memberikan apa-apa...     

Ah, sebenarnya tadi sebelum Aleksis bangun, ia sibuk di ruang kerjanya mengurus berkas penggantian hak milik atas mansionnya di Bukit Timah yang mereka tinggali. Ia ingin memberikan mansion itu kepada Aleksis karena, ia mencintai gadis itu, dan agar jika Aleksis mencari tahu tentang dirinya, Aleksis tidak akan dapat melacak siapa pemilik mansion tersebut karena akta kepemilikan sudah menjadi atas nama Aleksis sendiri.     

Tetapi baginya mansion itu bahkan tidak ada harganya dibandingkan kalung berisi potongan rambut ibunya, dan ia ingin Aleksis memiliki benda miliknya yang paling berharga ini.     

"Terima kasih..." Aleksis menerimanya dengan haru. Ia tahu betapa pentingnya benda itu bagi Alaric.     

"Sini kubantu memasangkannya," kata Alaric sambil berjalan ke belakang Aleksis dan menyibakkan rambut gadis itu ke bahunya. Dengan hati-hati ia memasang kalung itu di leher Aleksis. Setelah terpasang dengan baik, ia mencium tengkuk gadis itu dan memeluknya. "Aku harus pergi sekarang. Kau mau diantar ke asrama, hotel, atau mansion?"     

Aleksis menggeleng. "Aku mau di sini dulu. Biar nanti aku pulang sendiri. Suruh supirmu pulang duluan saja."     

"Kau yakin?" tanya Alaric keheranan. "Ada Takeshi dan Mischa juga di sini, kau tinggal menghubungi mereka kalau ada apa-apa, ya?"     

Aleksis mengangguk. Mereka berciuman di kamar istirahat Alaric selama beberapa saat, kemudian pria itu membawa Aleksis turun dari pesawatnya dan memberi tanda agar supirnya membawa Aleksis kembali ke terminal.     

"Safe flight!" Aleksis melambai saat Alaric kembali naik ke pesawatnya dan mereka saling tersenyum untuk terakhir kalinya.     

Entah kenapa Aleksis merasa dadanya sesak. Ia bukan tipe perempuan yang memiliki intuisi mendalam dan sikapnya selalu ringan dan tanpa beban. Tetapi hari ini ia merasa seolah sesuatu yang buruk akan terjadi.     

Aleksis tidak mengira itu adalah saat terakhir ia melihat Alaric.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.