The Alchemists: Cinta Abadi

Nasihat Finland



Nasihat Finland

2Ketika Dokter Muller datang barulah L keluar kamarnya. Bagaimanapun ia harus memenuhi janji untuk menjaga kesehatannya dan menemui dokter sesuai jadwal. Kali ini dokter Muller membawa alat USG portable yang terhubung dengan mesin USG di rumah sakit sehingga mereka dapat melihat gender anak mereka.     

"Kalian sudah siap?" tanya Dokter Muller. London mengangguk. L seperti biasa hanya diam saja.     

"Oh Tuhan... jangan sampai anakku bernama Terry..." gumam London berulang-ulang. "Jangan sampai anakku bernama Terry..."     

"Apa kau bilang?" L merengut ke arahnya. "Siapa Terry?"     

"Eh, bukan siapa-siapa. Kakakku yang menyebalkan. Kau tidak perlu tahu." London mengangkat bahu.     

"Aku tidak tahu kau punya kakak lain," kata L.     

"Kau tidak pernah tanya," jawab London. Ia berbalik ke arah dokter Muller. "Silakan, Dokter. Aku sudah tidak sabar."     

Dokter Muller mengangguk-angguk. Ia menyuruh L berbaring di tempat tidurnya dan menyingkapkan bagian perutnya. Dokter Muller lalu menaruh gel di perut L dan menggerak-gerakkan alat pendeteksi di perut gadis itu. Sambil menggerakkan alat pendeteksi sonogram, ia menunjukkan gambar ultrasound-nya di tablet kepada London.     

"Ini gambar 4D-nya. Tuan bisa lihat ini kepalanya, sudah terbentuk. Ini tangan dan kakinya... itu jari-jarinya.. Yang ini jantungnya." Dokter Muller menoleh ke arah London dan tersenyum, "Anak Anda perempuan. Selamat, ya."     

London tanpa sadar menarik napas sangat lega. Ahh... syukurlah. Ia akan memiliki anak perempuan seperti L! Ia bahagia sekali.     

Tanpa terasa air mata menitik di kedua sudut matanya saat tangannya meraba tablet itu dan mengamat-amati hasil sonogram bayinya.     

"Tangannya mungil sekali..." gumam London perlahan.     

L menatap ekspresi terharu London tanpa berkedip.     

"Anda mau lihat hasil sonogramnya, Nona?" tanya Dokter Muller.     

L menggeleng tanpa ekspresi. Ia lalu memejamkan mata dan menolak berbicara. Sikapnya membuat Dokter Muller keheranan, tetapi London sudah tidak terlalu memikirkannya.     

Ia menduga L sengaja tidak mau melihat hasil sonogram anaknya karena ia tidak mau goyah. Ia tahu L masih bertekad untuk pergi dan meninggalkan anaknya bersama London, maka ia tidak mau memiliki ikatan batin dengan anak itu.     

Dadanya terasa sesak memikirkan bahwa kemungkinan lamarannya nanti malam akan kembali sia-sia karena L menolaknya.     

Setelah selesai konsultasi dan memastikan semuanya baik-baik saja, dokter Muller lalu pamit. London dan L hanya duduk berdua di ruang tamu dalam diam. Kepala London menjadi berat dan hatinya dipenuhi kesedihan setelah melihat hasil sonogram anaknya.     

Ia tahu ia menyayangi anaknya, tetapi barulah saat ia melihat hasil USG-nya tadi secara langsung, seolah ia bertemu anaknya sebelum dilahirkan, ia merasakan rasa sayang yang demikian besar, yang belum pernah dirasakannya untuk siapa pun selama ini. Ia bahkan lebih menyayangi janin itu daripada dirinya sendiri.     

Ia tahu bahwa anaknya akan sangat membutuhkan ibu. Ia hampir menangis membayangkan betapa sedihnya anaknya nanti saat ia mengetahui ibunya meninggalkannya demi karier dan demi menikahi laki-laki sangat kaya.     

"L... kau sama sekali tidak mau melihat hasil sonogram anak kita?" tanya London pelan. Ia menoleh ke arah L yang duduk di sampingnya. Tangannya mengacungkan ponselnya yang berisi gambar-gambar USG anak mereka.     

L menggeleng. "Aku tahu maksudmu. Maaf, aku tidak akan berubah. Aku tidak menginginkan anak ini."     

London menarik napas panjang, kecewa. Kepercayaan dirinya menjadi melemah melihat sikap L yang masih keras kepala. Ia menjadi takut memberikan Veritaserum kepada L dan mendengarkan kenyataan pahit bahwa L memang tidak mau menikah dengannya dan merawat anak mereka.     

Ia belum sanggup menerima jawaban negatif. Tidak hari ini.     

Berbicara dengan L rasanya selalu seperti menghadapi tembok.     

"Aku pergi dulu. Ada urusan sebentar. Kau tidak usah menungguku. Aku akan pulang besok." London akhirnya bangkit dan mengambil jaketnya. "Aku akan mengirim makan malam untukmu."     

Ia perlu menenangkan diri dan tidak bertemu L dulu. Dadanya terasa sangat sesak dan hampir saja ia membongkar identitasnya kepada L.     

Barusan di kepalanya ia berpikir untuk memohon kepada L agar tidak pergi dan merawat anak mereka bersama-sama. Sebagai gantinya ia akan memberi tahu L bahwa dirinya adalah London Schneider, seorang laki-laki sangat kaya dan berkuasa seperti yang diidam-idamkan L selama ini.     

Tadi membayangkan betapa anak perempuannya akan merasa sedih dan terluka karena ditinggalkan ibu kandungnya, membuat London hampir mengabaikan logikanya dan memberi tahu L semua tentang dirinya.     

Tidak bisa.     

"Kau mau ke mana?" tanya L melihat London berjalan ke pintu.     

"Aku mau bertemu teman-temanku dan menenangkan diri. Kau tidak usah menungguku. Aku tidak akan mematikan ponselku," jawab London tanpa menoleh. "Jangan kuatir, aku juga tidak akan minum."     

Ia lalu keluar dan menutup pintu di belakangnya.     

London berangkat ke penthouse ditemani Marc yang sudah menunggunya di lobi. Setibanya di sana ia hanya duduk merenung semalaman.     

Tiba-tiba ia merasa sangat rindu kepada ibunya. Ketika hari hampir pagi ia lalu memutuskan untuk menghubungi Finland lewat Virconnect.     

"Mama..." sapanya saat ruang di depannya berubah menjadi beranda cantik yang menghadap laut. Finland dan Caspar sedang bersantai di pinggir kolam renang infinity yang menghadap ke pantai. London segera mengenali vila tempat orang tuanya berada itu sebagai villa yang terletak di Pulau F.      

"Heiii... ini kan masih subuh di Jerman? Kenapa kau belum tidur?" tanya Finland dengan penuh perhatian. Ia memicingkan mata melihat penampilan London yang tidak seperti biasanya. London belum sempat mengganti pakaiannya dan kini membuat ibunya keheranan karena bajunya yang sangat sederhana. Wajahnya pun tampak kusut dan sedih. "Kau ada masalah?"     

Mula-mula London tidak mau bercerita, tetapi karena ibunya terus mendesak, akhirnya keluarlah semua keluh-kesah yang disimpannya selama beberapa bulan ini.     

Caspar tampak terpaku di tempatnya, sementara Finland menekap bibirnya dengan ekspresi sangat kaget. Keduanya terkejut dan shock. Bagi mereka, London adalah anak kecil mereka. Baru kemarin anak kedua mereka ini dilahirkan dan kini tiba-tiba saja ia membawa berita bahwa ia akan segera menjadi ayah...     

Ini sama mengagetkannya dengan ketika sepuluh tahun lalu mereka mengetahui bahwa Aleksis telah menikah dengan Alaric Rhionen dan mengandung anaknya.     

"Oh... London..." Finland hanya bisa menyebut nama anaknya berkali-kali. Ia tak tahu harus berkata apa.     

"Aku tidak tahu harus bagaimana, Ma..." keluh London dengan mata basah. "Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, tetapi ia masih keras kepala. Kurasa satu-satunya jalan adalah memberitahunya identitasku. Kalau dia tahu aku kaya, dia tidak perlu mencari laki-laki lain..."     

"Tidak.. jangan, itu hanya bisa untuk jangka pendek. Kau tidak ingin menikah dengan perempuan yang hanya menginginkan hartamu. Kau juga tidak bisa memaksanya tinggal demi anakmu kalau ia tidak menginginkannya. Nanti anakmu akan tahu bahwa ibunya tidak menginginkannya dan hanya tinggal demi harta..." Finland menggeleng keras. "Kurasa saat ini kau perlu jauh darinya agar kalian masing-masing bisa berpikir."     

"Hmm... aku mau ke Singapura beberapa hari lagi, tetapi aku masih belum bisa mencari alasan untuk membawanya bersamaku."     

"Jangan. Tidak usah membawanya ke Singapura. Lebih baik kau ke sini sendiri. Biarkan ia merasakan dua minggu tanpa dirimu. Kalau ia merasa kehilangan, ia akan mengerti bahwa kau berarti baginya. Sementara kau juga bisa menjernihkan pikiranmu tanpanya." Finland mengangkat tangannya seolah hendak mengelus kepala anak lelakinya itu. "Cepatlah datang kemari, Mama sangat merindukanmu."     

London tertegun. Berpisah dari L selama dua minggu?     

Ia bisa saja mengatur agar L tinggal di penthouse dan mendapatkan pelayanan serta pengawalan untuk memastikan keselamatan dan kesehatannya, selama London tidak di Jerman. Jan dapat melaporkan segala sesuatunya setiap hari.     

Ini lebih mudah daripada membawa L ke Singapura bersamanya.     

Ugh...     

Ia sadar, rupanya yang membuatnya berat meninggalkan L di Jerman selama dua minggu bukanlah kehamilan gadis itu, melainkan keegoisannya sendiri. Sebenarnya ialah yang tak ingin berpisah dengan L.     

Ia sudah terbiasa bangun tidur dengan mendengarkan suara nyanyian L di samping kamarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.