The Alchemists: Cinta Abadi

L yang Aneh



L yang Aneh

0London akhirnya menceritakan kepada Alaric apa yang terjadi. Mulai sejak ia bertemu L di pesta Stephan dan kemudian dijebak untuk tidur bersama, lalu upaya-upaya yang telah ia lakukan untuk 'menebus' kesalahannya, atau minimal memastikan L baik-baik saja.     

Alaric hanya mendengarkan cerita London tanpa menyela sedikit pun. Ia terlihat dapat memahami dilema yang sedang dialami adik iparnya itu.     

Beberapa kali ia mengangguk-angguk. "Hmm... memang sulit keadaannya."     

"Jadi bagaimana pendapatmu? Aku tidak tahu perasaanku sendiri, apakah aku memang murni menyukainya atau sebagian karena aku ingin bertanggung jawab kepadanya. Aku hanya punya waktu setahun untuk mengambil keputusan."     

"Aku hanya perlu waktu beberapa hari untuk tahu bahwa Aleksis adalah satu-satunya wanita yang kuinginkan di dunia ini. Bahkan saat kami berpisah, setelah aku bangun dari koma dan menjalani hidup baruku, aku tidak pernah tertarik kepada wanita lain," kata Alaric kemudian. "Tetapi bagi setiap orang, prosesnya berbeda dan tidak bisa dipukul rata. Ayahku perlu waktu lama untuk bisa yakin bahwa ia mencintai ibuku. Setelah ibuku pergi meninggalkannya, barulah ia sadar bahwa ia mencintai ibu dan berusaha mengejarnya ke Inggris. Tetapi bahkan setelah mereka bersama, ayah masih tidak juga yakin ia ingin membangun keluarga bersama ibuku. Itu yang kemudian membuat ibuku kembali meninggalkannya, hingga kemudian ia meninggal di Rumania."     

"Hmm... itu benar," komentar London. Ia juga sudah tahu cerita itu.     

"Ayahku perlu waktu sangat lama, tetapi setelah ia yakin, kau bisa lihat sendiri bahwa setelah seratus tahun, ia masih mencintai ibuku. Bagi ayahku, ia sangat sulit mencintai, dan sangat sulit melupakan. Untuk orang lain mungkin akan berbeda. Ada orang yang mudah mencintai dan mudah melupakan, sama seperti ada yang sulit mencintai dan sulit melupakan.." Alaric menepuk bahu London dengan hangat. "Kau harus mencari tahu sendiri kisahmu seperti apa. Belum tentu sama dengan orang lain."     

London mengangguk. Ia lebih memilih sulit jatuh cinta dan sulit melupakan, daripada sebaliknya. Dan ia berharap L pun seperti itu.     

Akhirnya ia menerima nasihat Alaric. "Terima kasih. Aku akan memikirkannya lagi."     

"Baiklah. Saranku saat ini adalah, jalani saja selama setahun ini dan lihat apa yang terjadi. Kurasa pada waktunya kau sendiri akan tahu apa yang kau inginkan."     

London hanya bisa mendesah panjang. Ia tidak mendapatkan jawaban yang diharapkannya, tetapi setidaknya ia sekarang mengerti bahwa ia harus mencari tahu sendiri apa yang diinginkannya dan tidak boleh mengharapkan kisah cintanya akan sama seperti kisah orang-orang lain.     

Ia harus menjalaninya sendiri.     

"Heii.. anak-anak sudah tidur. Kalian sepertinya bicara serius sekali," komentar Aleksis yang tiba-tiba  muncul dari balik pintu.     

London menjadi gelagapan. Ia berusaha menyelidiki ekspresi kakaknya, apakah Aleksis mendengar pembicaraannya dengan Alaric atau tidak.      

Pfew... sepertinya tidak.     

"Hanya pembicaraan di antara sesama lelaki," kata London acuh tak acuh. Ia memberi tanda kepada Alaric agar merahasiakan ceritanya tadi dan pria itu hanya mengangguk samar.      

Alaric lalu mengembangkan tangannya dan memberi tanda agar Aleksis datang dan duduk di pangkuannya.     

"Duduklah di sini," katanya lembut. Aleksis mengangguk dan segera duduk di pangkuan suaminya.     

"Anak-anak sudah tidur. Mereka tadi menanyakanmu, tetapi aku bilang kau sedang ada perlu dengan Paman London." bisik Aleksis mesra ke telinga suaminya. Mereka saling pandang dan tersenyum. Lalu berbicara dengan nada suara rendah tentang hal-hal remeh tanpa mengindahkan London di dekat mereka.     

Untuk pertama kalinya London tidak lagi merasa jengah melihat kemesraan kakak dan kakak iparnya. Biasanya ia dan Rune akan memutar bola mata mereka dan buru-buru kabur kalau melihat Aleksis dan Alaric seperti ini. Tetapi sekarang ia malah merasa tertarik.     

Ia baru menyadari bahwa jika seorang pria jatuh cinta, sikap mereka terhadap wanita yang mereka cintai itu bisa demikian manis. Ia sekarang bisa mengerti mengapa Alaric bisa memandang istrinya dengan penuh cinta, dan demikian pula sebaliknya.     

Pikirannya kembali melayang kepada L dan ia membayangkan dirinyalah yang sedang duduk di sofa dan ia mengembangkan tangannya memanggil L untuk duduk di pangkuannya.     

Ah, kalau L duduk di pangkuannya, London akan dapat menyentuh kulitnya yang halus itu, rambutnya yang wangi, dan merasakan tubuhnya yang lembut seperti marshmallow....     

Ugh....     

Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menegang dan tidak nyaman. Buru-buru ia permisi kepada Alaric dan Aleksis untuk beristirahat ke kamarnya.     

Sesampainya di kamar ia segera masuk ke kamar mandi dan berendam dengan air dingin.     

***     

Setelah berendam air dingin cukup lama dan menenangkan diri, London akhirnya bersiap untuk tidur. Sudah pukul 11 malam di Singapura, yang berarti pukul 5 sore di Jerman. Ia lalu mengambil ponselnya dan memutuskan untuk menelpon L.     

Ia ingin sekali mendengar suara gadis itu. Terakhir saat mereka bertemu dua hari yang lalu, ia telah meminta izin gadis itu untuk meneleponnya. Jadi, seharusnya sekarang ia sudah bisa menelepon, kan?     

TUT...     

TUT...     

TUT...     

Dadanya entah kenapa berdebar-debar menantikan L mengangkat panggilan teleponnya. Ia sudah berpikir, kalau L tidak sibuk dan suasana hatinya sedang baik, London akan mengajaknya berhubungan lewat Virconnect. Ia tak sabar ingin melihat gadis itu.     

Hmm....     

Setelah deringan kesepuluh, panggilan teleponnya tidak juga diangkat. London mulai menjadi cemas.     

Apakah L sedang sibuk?     

Ia lalu menghubungi Jan untuk mencari tahu jadwal gadis itu.     

"Jan, kau tahu L sedang apa sekarang?" tanyanya cepat, bahkan tidak memberi waktu bagi Jan untuk menyapanya.     

Di ujung telepon Jan hanya bisa memutar bola matanya dan batuk-batuk kecil. Sebagai seorang direktur di Schneider Group ia merasa tanggung jawabnya mengalami tingkat kejomplangan yang luar biasa jauh.     

Di satu sisi ia adalah Direktur HR yang bertanggung jawab terhadap nasib ribuan karyawan di Jerman dan sangat dihormati. Tetapi di sisi lain, ia menjadi seperti tukang catat jadwal seorang artis penyanyi pendatang baru, hanya karena bosnya tidak ingin orang lain tahu ia jatuh cinta kepada L. Sehingga Jan-lah yang harus mengurusi semua urusan pribadi bosnya ini.     

"Ahem... sebentar ya...." Jan batuk-batuk dan kemudian meneliti catatannya. "Dia tidak ada kegiatan apa pun. Seharusnya Nona L sekarang sedang beristirahat di rumah."     

"Oh..." London merasa keheranan. L sedang tidak ada jadwal pekerjaan, berarti ia seharusnya bisa mengangkat panggilan telepon dari London. "Tadi dia tidak mengangkat teleponku."     

"Mungkin dia sedang ke toilet atau mandi?" tanya Jan.     

"Ah, kau benar juga. Aku akan coba meneleponnya setengah jam lagi," kata London. "Terima kasih."     

Ia lalu menaruh teleponnya di meja samping tempat tidur dan menghitung waktu hingga 30 menit. Kemudian ia kembali menelepon L.     

TUT...     

TUT...     

TUT...     

Hingga deringannya mati di dering ke dua belas, L tetap tidak mengangkat panggilan telepon London.     

Lah.... tidak mungkin masih di toilet, kan? pikir London keheranan.     

Atau jangan-jangan dia sakit perut?     

Ia seketika menjadi cemas. Buru-buru London menelepon Jan kembali.     

"Jan, kau tolong kirim Marc atau Dave untuk memeriksa keadaannya. L sudah terlalu lama di toilet, ia masih belum menjawab panggilan teleponku," kata London cepat. "Kalau ia sakit, suruh mereka langsung membawanya ke rumah sakit atau memanggilkan dokter."     

"Eh, apa?!?" Jan tak dapat mempercayai pendengarannya sendiri. "Tuan meminta agar Dave atau Marc datang ke apartemen Nona L dan memeriksa keadaannya di toilet lalu membawanya ke dokter karena ia tidak mengangkat panggilan telepon Tuan?!"     

Jan benar-benar tergoda untuk membanting ponselnya.     

"Aku sudah meneleponnya berkali-kali, tetapi ia tidak mengangkat teleponnya. Kan kau sendiri yang bilang ia di toilet?" tanya London keheranan.     

Jan berdeham beberapa kali dan mengumpat dalam hati. Seingatnya bosnya adalah seorang pemuda cerdas dengan IQ tinggi, tapi entah kenapa selama beberapa minggu terakhir sepertinya kecerdasannya berkurang dengan sangat drastis....     

"Sebentar ya, Tuan. Saya akan memastikan dulu." Jan akhirnya menutup teleponnya dan menghubungi sendiri nomor telepon L.     

London yang menunggu di Singapura menjadi resah dan berusaha menunggu kabar dari Jan. Ia takut L memang sakit atau terjadi sesuatu kepadanya sehingga ia tidak dapat mengangkat panggilan telepon darinya.     

Jan memang sangat efisien. Tiga menit kemudian ia sudah menelepon London kembali dan menjelaskan apa yang terjadi.     

"Tuan, barusan aku menelepon Nona L. dan ia sedang di rumah membaca buku. Ia tidak sedang sakit atau mengalami hal-hal buruk. Tuan boleh tenang."     

"Oh, benarkah? Baiklah. Kalau begitu aku akan meneleponnya lagi," kata London. Ia lalu memutuskan panggilan.     

Baiklah... L ternyata baik-baik saja. Ia tidak sabar ingin mendengar suara gadis itu.     

TUT...     

TUT...     

TUT...     

Dua belas deringan dan kemudian panggilan mati. L masih tidak mengangkat panggilan telepon dari London.     

Bukankah tadi Jan menelepon L dan gadis itu mengangkatnya? Berarti ia baik-baik saja...     

Lalu kenapa ia tidak mengangkat telepon dari London?     

Apakah....?     

Akhirnya London hanya dapat menghela napas. Dadanya menjadi sesak. Sekarang ia sadar, bahwa L memang tidak mau menerima telepon darinya.     

Padahal dua hari yang lalu ia telah memberi izin.     

Ada apa sebenarnya?     

Kenapa sulit sekali mengerti isi hati L ini?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.