The Alchemists: Cinta Abadi

Keluarga Besar Linden-Medici



Keluarga Besar Linden-Medici

0Setelah tiga hari di Targu Mures, Alaric mengajak Aleksis berkunjung ke kantor pusat RMI di Bucharest. Di gedung tertinggi di Bucharest itu ia memiliki tempat tinggal di lantai paling atas, yang dulu disebut sebagai bangunan paling mahal di dunia karena pengamanannya yang dinilai lebih ketat dari Gedung Putih, karena dulu Rhionen Industries yang merupakan bagian dari Rhionen Assassins memiliki banyak musuh.     

Dari penthouse di puncak gedung itu, mereka dapat melihat ke sekeliling kota Bucharest dengan pemandangan 360 derajat dan Aleksis sangat betah duduk di jendela besar yang memperlihatkan pemandangan cantik itu.     

"Kau sudah berkunjung ke tiga rumahku, di London, di Targu Mures, dan di Bucharest sini," Alaric menghampiri Aleksis yang sedang duduk mengagumi pemandangan dari jendela sambil membawakan sebotol wine dan dua buah gelas, lalu duduk di sampingnya. "Mana yang paling kau sukai?"     

Ia menuangkan wine ke gelas mereka dan menyerahkan satu kepada Aleksis. Gadis itu menerimanya lalu setelah meminum seteguk ia tampak berpikir. "Hmm... semuanya sangat indah. Seleramu selalu bagus. Tetapi sampai sekarang aku tak dapat melupakan mansionmu yang ada di Singapura."     

"Hmm... begitu ya? Kita bisa tinggal di sana saat musim dingin."     

"Aku suka itu..."     

"Oh, ya... aku mengundang Mischa untuk makan malam di sini. Ia pasti senang bertemu denganmu," kata Alaric kemudian.     

"Ah, ya... bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Aleksis tertarik.     

"Ia mengurusi RMI di kantor pusat sini. Kantornya di bawah," jawab Alaric.     

"Oh... aku masih ingat dengannya. Kau dulu meminta Mischa dan Takeshi menjagaku selama kau tidak ada."     

"Takeshi sekarang di Singapura. Kau juga bisa bertemu dengannya kalau kita ke sana."     

"Aku akan senang sekali."     

Alaric berencana menyerahkan kembali semua kendali bisnisnya kepada keempat anak angkatnya karena ia ingin mengurangi kesibukannya untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Aleksis dan anak-anak mereka.     

Itu pula salah satu alasan ia mengundang Mischa makan malam, dan nanti ia juga akan mengundang yang lain untuk membahas hal serupa. Ia hanya akan mengawasi dari jauh dan mengambil keputusan-keputusan penting setahun sekali.     

Setelah melihat betapa damai dan menyenangkannya kehidupan Caspar bersama Finland karena urusan-urusan bisnisnya ditangani oleh Terry dan London, Alaric merasa gaya hidup seperti yang dimiliki ayah mertuanya tidak buruk dan patut ditiru.     

Mischa datang tepat pukul 6 sore dan ia membawa wine terbaik dari koleksi pribadinya. Penampilannya tidak banyak berubah setelah sepuluh tahun Aleksis tidak melihatnya, hanya saja kini ia senang memakai pakaian hitam-hitam, tidak lagi flamboyan seperti dulu - saat ia kerap mengenakan pakaian berwarna terang seperti pink dan biru muda.     

Untuk sesaat Aleksis tertegun melihat Mischa yang kini berusia 37 tahun di hadapannya. Mischa sudah terlihat lebih tua dari ayah angkatnya, tetapi ketampanannya masih sama seperti dulu.     

"Kau... penampilanmu berubah..." komentar Aleksis sambil memeluk Mischa dengan hangat. "Penampilanmu sekarang tidak seperti gigolo lagi..."     

"Eh, apa katamu?" Mischa hendak protes karena disebut dulu mirip gigolo tetapi tidak berani karena melihat pandangan ayah angkatnya yang mengangkat sebelah alisnya. Akhirnya ia hanya menggeleng-geleng. "Seleraku berubah, itu saja."     

"Sebenarnya Mischa memakai baju hitam-hitam sebagai tanda ia berkabung akan 'kematianku'. Sejak dulu Mischa memang paling dekat denganku. Setelah enam tahun terus-menerus memakai pakaian serba hitam, ia menjadi terbiasa dan tidak bisa kembali lagi menjadi dirinya yang dulu," komentar Alaric.     

"Oh... " Aleksis terkesima mendengarnya. Ia baru menyadari betapa anak-anak angkat Alaric sangat menyayanginya dan setia kepadanya.     

"Terima kasih," bisik Aleksis kepada Mischa dengan suara terharu, hampir menangis. "Kalau kalian tidak merawatnya mati-matian... sekarang aku tidak akan bisa berkumpul kembali dengan suamiku. Terima kasih..."     

Mischa mengangguk sambil tersenyum. Ia senang melihat Aleksis telah kembali membawa kebahagiaan ke dalam hidup Alaric.     

Ketika mendengar bahwa mereka juga sudah mempunyai anak, Mischa tampak hampir emosional dan mengucapkan selamat berkali-kali. Ia tahu kedua anak itu akan mengalami kehidupan yang membahagiakan karena ia mengalami sendiri betapa Alaric adalah figur seorang ayah yang baik.     

"Aku berharap suatu hari nanti bisa bertemu kedua anak, Tuan," katanya sambil mengangkat gelasnya. "Aku mau mengajak kita bersulang untuk Altair dan Vega."     

Ketiganya bersulang dan minum dengan gembira. Makan malam itu berlangsung hangat dan baru berakhir dua jam kemudian. Setelah Mischa pulang, semua peralatan mereka segera dibereskan oleh pelayan robot dan mereka berdua dapat segera bersantai sebelum beristirahat.     

"Aku merasa bodoh sekali," kata Aleksis tiba-tiba saat mereka sudah di tempat tidur dan bersiap untuk tidur.     

"Eh, merasa bodoh kenapa?" tanya Alaric keheranan.     

"Uhm... aku ingat dulu waktu kita di Singapura, di malam sebelum kita menikah mendadak itu, kau sebenarnya bercerita kepadaku tentang ibumu, bahwa beliau meninggal saat tengah melahirkanmu di Rumania... Seharusnya aku bisa menghubungkan semuanya dan mengetahui lebih cepat bahwa kau adalah anak Paman Rory juga..." Aleksis menatap Alaric dengan wajah kesal pada dirinya sendiri.     

"Nicolae bercerita bahwa ia dilahirkan di rumah sakit di Rumania di tengah peperangan dan ibunya meninggal setelah melahirkannya... Ia punya rumah di Rumania sini, kau juga. Semua petunjuknya ada di sana... Kenapa aku sama sekali tidak berpikir ke arah situ?? Sepuluh tahun terbuang sia-sia karena kesalahanku..."     

"Ssshh... jangan berkata begitu. Kau tidak salah. Aku tidak pernah memberitahumu bahwa ibuku meninggal karena perang... Kau tentu tidak pernah membayangkan kalau aku lahir di tahun 1945. Seandainya aku memberitahumu informasi itu dengan lebih detail, tentu kau akan bisa menghubungkan semuanya... Bukan kau yang salah, tetapi aku. Akulah yang bersalah karena menutupi identitasku darimu, padahal kita sudah menikah. Seharusnya aku mempercayaimu..."     

Alaric memeluk Aleksis dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut untuk menghibur gadis itu. "Sekarang bukan saatnya mencari siapa yang salah, karena itu sudah berlalu, dan yang penting kita sekarang sudah kembali berkumpul bersama. Tetapi... kalau kau bersikeras ingin tahu ini salah siapa, maka salahkan aku saja..."     

Aleksis tahu-tahu menangis sesenggukan di dada suaminya. "Kau tidak salah... tapi aku yang salah. Seharusnya aku juga dari awal mempercayaimu. Aku mencarimu selama bertahun-tahun, tetapi setelah kita bertemu aku justru menipumu dengan berpura-pura menjadi manusia biasa, kau bahkan tidak tahu ulang tahunku yang sebenarnya..."     

"Aduh.. bagaimana ini? Aku tidak pernah menyalahkanmu, dan aku tak mau kau menyalahkan diri sendiri. Kau melakukan hal yang benar. Jangan sembarangan memberi tahu tentang rahasia klan Alchemist kepada orang asing, apalagi kau adalah anak ketua klan..." Alaric mulai menjadi bingung karena Aleksis tidak berhenti menangis.     

Menurutnya hal yang mereka bicarakan ini sangat remeh, tetapi kenapa Aleksis menjadi sedih sekali?     

"Aku menjadi penyebab Paman Rory dan ayahku mengincarmu, aku juga menjadi penyebab Paman Kurt meninggal bunuh diri dan anaknya menjadi yatim... Kau hampir mati dan koma selama enam tahun dan tidak bisa melihat kelahiran anak-anakmu sendiri... Kau juga tidak bisa hadir dalam kehidupan mereka selama sepuluh tahun... Padahal.. padahal kau adalah ayah yang sangat penyayang... Dan kini mereka tidak dapat menerimamu dengan mudah sebagai ayah mereka... Semua karena aku...."     

Aleksis terus menangis.     

Alaric akhirnya menyerah. Ia menyingkap selimut mereka dan mengajak Aleksis duduk di sofa untuk menenangkan diri. Ia merasa ada sesuatu yang salah karena tidak seharusnya Aleksis menangis karena hal remeh seperti tadi, apalagi ia sudah berkali-kali menegaskan bahwa Aleksis tidak bersalah.     

"Sayang... ada apa? Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini sedih? Apakah ada yang tidak kau ceritakan kepadaku?" tanya Alaric kemudian. Ia mengusap-usap punggung Aleksis yang masih tersedu-sedu.     

Setelah terisak-isak cukup lama, akhirnya Aleksis menatap Alaric dengan wajah berduka dan sepasang mata yang basah.     

"Aku menjadi emosional karena berada di Bucharest, dan tadi melihat betapa dekatnya hubunganmu dengan Mischa, padahal ia bukan anak kandungmu..." kata Aleksis pelan.     

"Aku masih tidak mengerti..."     

"Sewaktu aku baru bangun dari koma dan mengetahui bahwa aku mengandung anak-anak kita, aku kabur dari rumah dan tinggal bersama Nicolae di rumahnya di Bucharest. Saat itu aku sangat marah kepada ayahku dan Paman Rory karena mereka yang menyebabkan kematianmu... Aku hanya ingin pergi jauh, dan Nicolae yang menolongku. Ia adalah sahabatku satu-satunya saat itu... dan aku tinggal di tempatnya selama tiga bulan..."     

"Oh..." Alaric baru mengetahui hal ini. Ia sekarang mengerti kenapa Nicolae sangat menyayangi anak-anaknya. Bahkan sejak mereka masih di dalam kandungan, Nicolae telah turut merawat kedua anak itu. Ada perasaan cemburu di dadanya, tetapi ia berusaha menekannya. "Lalu...?"     

"Ketika aku melihat Mischa malam ini, aku ingat betapa kau sangat baik kepada keempat anak angkatmu, dan kasih sayang serta kesetiaan Mischa kepadamu sangat menunjukkan betapa kau adalah ayah yang baik baginya... dan hal itu membuatku sedih... karena seharusnya kau menikmati peran sebagai ayah bagi Altair dan Vega sejak sepuluh tahun lalu..."     

"Aku masih tidak mengerti kenapa itu harus membuatmu sedih... Aku masih bisa menjadi ayah yang baik bagi Altair dan Vega selama-lamanya. Aku punya seumur hidup untuk mengejar waktu yang hilang. Aku tidak keberatan..."     

"Aku juga tidak tahu kenapa aku sedih... Yang jelas memikirkan tentang kejadian sepuluh tahun lalu dan kehamilanku saat kau tidak ada dulu membuatku tidak bisa berhenti menangis," Aleksis kembali meneteskan air matanya.     

"Kalau itu membuatmu menangis, maka jangan dipikirkan. Kau pikirkan hal lain saja..." Alaric masih berusaha membujuk istrinya. "Atau mau baca buku? Mau nonton film komedi?"     

Aleksis menggeleng. Ia hanya membenamkan wajahnya ke dada suaminya dan terus menangis di sana. Ia baru berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur di pangkuan Alaric.     

Sungguh pria itu merasa kebingungan. Ia tidak tahu mengapa istrinya tiba-tiba menjadi demikian moody, seperti perempuan yang sedang PMS.     

Ah... ia baru sadar mereka belum pernah bersama lebih dari tiga minggu, sehingga sebagai kekasih dan suami ia belum mengalami Aleksis uring-uringan dan moody karena PMS. Mungkin inilah yang sedang terjadi.     

Ia lalu mencari informasi tentang PMS di internet dan menemukan bahwa semua dugaannya benar. Astaga... sungguh merepotkan kalau harus mengalami ini sebulan sekali, pikirnya.     

Ia menatap wajah damai Aleksis yang sedang tertidur di pangkuannya dan kemudian ia tersenyum sendiri. Tidak apa-apa bila ia harus kerepotan seperti ini sebulan sekali, kalau demi Aleksis ia rela. Ia hanya harus membiasakan diri, pikirnya.     

Dengan hati-hati ia mengangkat Aleksis kembali ke tempat tidur dan kemudian ia sendiri ikut berbaring di sampingnya sambil memeluk gadis itu. Ia lega Aleksis akhirnya berhenti menangis dan bisa tidur, walaupun hati kecilnya sedikit kecewa karena kalau Aleksis PMS itu berarti istrinya sebentar lagi akan mendapatkan menstruasi yang menandakan ia tidak hamil.     

Baiklah, nanti kami bisa mencoba lagi, pikirnya - menghibur diri.     

***     

Alaric memperhatikan bahwa selama beberapa hari itu Aleksis memang menjadi sangat sensitif. Ia sangat mudah menangis, tetapi juga sangat mudah tersentuh. Ketika Alaric membawakannya seikat bunga dari balkon penthouse mereka, gadis itu menekap bibirnya karena terharu dan matanya tampak berkaca-kaca.     

"Bunganya bagus sekali... kau sungguh perhatian. Aku sangat beruntung..." Ia lalu mencium Alaric dengan penuh haru dan memeluk bunga itu di dadanya. Air mata tak dapat ditahan kembali menetes ke pipinya.     

Di lain waktu ketika Alaric mencoba memasakkan sesuatu untuknya, Aleksis kembali menangis terharu karena ia tahu Alaric tidak bisa memasak. "Ini enak sekaliiii... kau belajar masak untukku..."     

Lama kelamaan Alaric menjadi terbiasa dan tidak lagi kuatir melihat Aleksis menangis karena hal-hal kecil. Ia hanya tertawa dan memeluk istrinya dan tidak berusaha menyuruhnya berhenti menangis lagi. Entah kenapa saat gadis itu menangis ia justru terlihat semakin cantik dan berkilau, Alaric sendiri tidak bisa menjelaskannya.     

Ia tidak suka istrinya menjadi sedih, tetapi karena ia tahu tak ada yang dapat ia lakukan, ditambah Aleksis justru semakin hari terlihat semakin menggemaskan, ia hanya bisa menerima saja. Toh biasanya PMS hanya berlangsung beberapa hari kan, pikirnya.     

Setelah tiga hari berada di Bucharest, mereka terbang ke Yorkshire untuk bertemu dengan Lauriel dan Nicolae yang datang membawa si kembar untuk menjenguk istana keluarga Linden, dan khususnya makam Luna Linden, ibu mereka.     

Setelah mengetahui bahwa Luna dimakamkan di dekat istana keluarga Linden di Yorkshire, Lauriel membutuhkan waktu beberapa minggu untuk menyiapkan hatinya agar dapat mengunjungi makam perempuan yang ia cintai itu.     

Selama sebulan terakhir ia banyak mengurung diri dan menangis. Ia memang bahagia karena menemukan anak-anaknya, tetapi kehadiran mereka mengoyak luka lama yang timbul saat Luna meninggalkannya untuk selama-lamanya.     

Nicolae dan Alaric lahir di hari Luna meninggal dunia. Luna mati untuk memberi anak-anaknya kehidupan.     

Kini, akhirnya Lauriel siap dan ia memutuskan untuk sekalian mengumpulkan anak-anaknya di sana, agar mereka dapat membicarakan tentang ibu mereka.     

Alaric dan Aleksis tiba satu jam setelah ayah dan saudaranya. Lauriel dan Nicolae menyambut kedatangan Alaric dan Aleksis dengan pelukan hangat dan segelas wine. Altair dan Vega tampak sangat senang bertemu ibu mereka, tetapi Aleksis dapat melihat mereka tetap sehat dan bahagia selama tinggal bersama Nicolae. Hal ini membuatnya sangat terharu dan kembali menangis.     

"Terima kasih... kau sangat baik kepada anak-anakku, kau merawat mereka dengan baik sekali..." katanya kepada Nicolae sambil menangis terisak-isak, membuat Nicolae ikut kebingungan. Ia menoleh kepada Alaric dan bertanya kepada saudaranya itu apa yang terjadi dengan bibirnya tanpa mengeluarkan suara.     

P-M-S, kata Alaric juga tanpa suara.     

Nicolae menjadi tercengang. Ia menatap Aleksis lama sekali dan kemudian menatap Alaric.     

"Kau jangan minum wine lagi..." katanya kemudian sambil mengambil gelas wine dari tangan Aleksis. Gadis itu mengerutkan keningnya dan mengerucutkan bibirnya.     

"Kenapa? Aku kan haus," protesnya.     

Nicolae buru-buru mengambil gelas dan menuangkan jus untuk Aleksis lalu menyerahkannya ke tangan gadis itu. "Kau minum ini saja, lebih sehat."     

Aleksis hendak protes lagi tetapi malah air matanya yang keluar tambah deras.     

"Uhm... aku tahu kau dokter, tapi kan tidak ada salahnya perempuan minum wine kalau sedang PMS," kata Alaric berusaha membela istrinya.     

Ia buru-buru bangkit dan memeluk Aleksis. Sekarang itulah yang biasa ia lakukan kalau melihat istrinya menangis, karena ia tahu bagaimanapun kerasnya ia membujuk, tangis itu tidak akan reda kecuali Aleksis berhenti sendiri.     

Nicolae tampak mengernyitkan keningnya dan menggeleng-geleng. "Aku sudah melihat bagaimana Aleksis PMS selama empat tahun ya, jadi aku tahu seperti apa kelakuannya kalau sedang PMS... Ini sama sekali bukan seperti yang kau duga. Sudah berapa lama dia seperti ini?"     

Alaric mengangkat bahu, "Seminggu lebih..."     

"PMS itu paling lama hanya dua hari. Dan selama ini kalau PMS Aleksis tidak pernah menjadi sensitif dan gampang menangis... Biasanya dia marah-marah dan belanja sepatu."     

Alaric sebenarnya kesal mendengar bahwa kakaknya lebih mengetahui kebiasaan dan hidup Aleksis dibandingkan dirinya, karena mereka memang lebih lama bersama, sementara ia baru berkumpul kembali bersama istrinya selama sebulan. Tetapi ia menahan dirinya agar tidak terlihat kesal di depan Aleksis.     

Alaric mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti. "Tapi dari yang aku baca, ini semua mirip gejala PMS."     

"Mirip bukan berarti sama," kata Nicolae lagi. "Percayalah kepadaku, aku bersama Aleksis selama bertahun-tahun.."     

"Kalau begitu ini apa?" tanya Alaric kebingungan. "Apakah...?"     

Sesaat kemudian sepasang matanya membulat besar sekali.     

Ia melepaskan Aleksis dari pelukannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Aleksis, hingga hidung mereka hampir bersentuhan.     

"Kau... Apakah kau hamil?"     

Aleksis ikut mengerutkan kening. "Kata siapa?"     

"Kau sudah periksa belum?" tanya Alaric dengan suara hampir berteriak, karena ia antusias.     

Aleksis menggeleng. "Belum. Aku lupa karena kau tidak pernah menanyakannya lagi."     

"Aku tidak menanyakannya lagi karena aku mengira kau sedang PMS dan akan segera mendapatkan menstruasi... Lagipula aku tidak mau membuatmu kesal karena aku bertanya hal yang itu-itu saja..." Alaric tampak tegang. Ia menoleh kepada Nicolae. "Menurutmu dia hamil?"     

Nicolae mengangguk pelan, dan memaksa bibirnya tersenyum, "Ini mirip waktu Aleksis dulu sedang mengandung Altair dan Vega. Ia sangat sensitif dan mudah terharu. Ia akan menangis setiap hari sampai trimester kedua."     

Alaric merasa sangat terharu ketika ia menatap wajah Aleksis dan menyadari bahwa Nicolae benar. Pantas saja Aleksis akhir-akhir ini bahkan terlihat lebih cantik lagi, orang bilang perempuan hamil akan tampak lebih berkilau dari biasanya.     

Dan tentu saja... sudah sebulan lebih mereka bersama, Aleksis belum juga mendapatkan menstruasinya, malahan sekarang menunjukkan tanda-tanda yang sama seperti kehamilannya dulu...     

Kebahagiaan Alaric tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Ia hendak mengangkat istrinya ke udara karena ia sangat bersukacita, tetapi ia terlalu kuatir dengan kondisi tubuh Aleksis hingga ia hanya mencium gadis itu dan membelai perutnya dengan penuh sukacita.     

"Aku sangat bahagia..." bisiknya berkali-kali.     

Aleksis sangat terharu melihat betapa mata Alaric berkaca-kaca dan ia kembali menangis. Alaric tidak berusaha membujuknya. Ia biarkan saja gadis itu menangis di dadanya. Nanti juga kalau capek ia akan berhenti sendiri, pikirnya.     

"Mama kenapa menangis terus?" tanya Vega keheranan.     

"Mama menangis bahagia, kalian tidak usah kuatir," kata Nicolae. Ia mengucapkan selamat dan memeluk saudaranya, lalu memeluk Aleksis. "Selamat ya, kalian akan menjadi orang tua kembali..."     

Lauriel hanya melihat adegan itu dalam diam. Ia teringat bahwa Luna pergi meninggalkannya karena mengira Lauriel tidak menginginkan kehamilannya, dan itulah yang menjadi awal semua penderitaan mereka. Dengan sedih ia menyelinap keluar dan berjalan ke arah hutan kecil di belakang istana Linden dan mencari makam Luna.     

Ia menemukannya dengan mudah karena makam itu terlihat sangat indah dan mencolok di antara pepohonan yang dipenuhi daun-daun berwarna musim gugur. Dengan haru Lauriel berjalan mendekat dan bersimpuh di pinggir makam.     

"Luna, istriku... sudah sangat lama, ya..." bisiknya, seolah Luna ada di sana dan dapat mendengarnya. "Maafkan aku."     

Ia duduk merenung di sana selama setengah jam dan terlalu hanyut dengan pikirannya sendiri sehingga tidak menyadari kedatangan Nicolae, Alaric, Aleksis dan kedua anak mereka.     

"Ayah... Ibu pasti senang kita sudah berkumpul kembali," kata Nicolae sambil menepuk bahu ayahnya.     

Lauriel mengangguk. Ia menarik tangan Aleksis perlahan dan gadis itu ikut bersimpuh di sampingnya. Lauriel lalu memeluk Aleksis dan mengacak rambutnya.     

"Terima kasih, Aleksis, anakku sayang. Berkat dirimu aku tidak jadi mengambil kematian. Berkat dirimu pula aku menemukan anak-anakku, Nicolae dan Alaric. Kau juga memberi kami Altair dan Vega... dan sebentar lagi cucu yang baru." Lauriel tersenyum haru, "Keluarga Linden dan Medici berutang budi kepadamu."     

"Aku juga kan sekarang anggota keluarga Linden dan Medici, Paman... Aku sangat senang menjadi bagian dari keluarga kalian," balas Aleksis. "Aku sangat menyayangi kalian."     

Alaric ikut bersimpuh dan memeluk istrinya.     

"Terima kasih," bisiknya. Ia tahu semua kata-kata Lauriel benar.     

Tanpa Aleksis, mereka pasti telah kehilangan ayah mereka 30 tahun yang lalu. Nicolae dan Alaric tidak akan pernah berkumpul kembali dengan ayah mereka. Cinta Alaric kepada Aleksis sudah demikian besar dan membara, tetapi hari ini, cintanya semakin bertambah-tambah.     

Mereka duduk bersama di makam Luna Linden dan bercakap-cakap tentang masa lalu dan masa depan. Suasana di antara mereka terasa sangat haru dan khimad.     

Setelah lebih dari seratus tahun, akhirnya Lauriel dan kedua anaknya berkumpul kembali di depan makam Luna.     

Setelah lebih dari seratus tahun, akhirnya ketiga pria kesepian itu menemukan kebahagiaan mereka.     

.     

.     

** THE ALCHEMISTS - VOLUME 2 *** TAMAT **     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.