The Alchemists: Cinta Abadi

Malam yang penuh kerinduan **



Malam yang penuh kerinduan **

0Bab ini cukup panas. Jadi yang belum cukup umur, silakan skip aja yaa...     

***************     

Pasangan suami istri yang telah terpisah sedemikian lama itu bergandengan tangan dengan mesra masuk ke kamar Aleksis, seperti pasangan kekasih yang baru jatuh cinta pertama kalinya. Pandangan keduanya hanya tertuju pada satu sama lain, dan siapa pun yang melihat dapat merasakan cinta yang besar di antara keduanya.     

Tadi, mereka harus menahan diri untuk tidak menunjukkan cinta ini karena pertemuan keduanya ini sangat tiba-tiba dan mereka harus menjaga perasaan keluarga Aleksis yang tidak tahu-menahu tentang Alaric, dan bahkan hadir ke Grosseto untuk menghadiri pernikahannya dengan Nicolae.     

Mereka juga harus memikirkan perasaan Nicolae yang pasti merasakan patah hati karena wanita yang ia cintai dan akan nikahi ternyata telah menikah dengan adiknya sendiri dan Alaric yang semua orang kira telah meninggal, ternyata masih hidup.     

Kini setelah keluarga mereka pulang ke hotel atau beristirahat di sayap timur, Aleksis dan Alaric dapat dengan bebas bergandengan dan berciuman kapan pun mereka mau. Para pelayan pun mengerti untuk memberi mereka privasi.     

"Selamat datang, maaf, kamarku berantakan..." Aleksis membuka pintu ke kamarnya yang luas dan mempersilakan Alaric masuk. "Anak-anak kadang ikut tidur bersamaku sehingga banyak barang mereka bertebaran di sini."     

Alaric mengangguk sambil tersenyum. Rumahnya sendiri sangat rapi tetapi ia sama sekali tidak keberatan bila nantinya juga akan menjadi berantakan karena kehadiran dua anak kecil. Malahan, ia tidak sabar melihat rumahnya dibuat berantakan dan diisi oleh tawa serta tangis Altair dan Vega saat keduanya hidup dan tumbuh bersamanya.     

Aleksis membereskan beberapa mainan dan buku dan mengaturnya di kabinet, lalu duduk di sofa yang sudah rapi dan menepuk bagian di sampingnya, mengundang Alaric untuk duduk.     

"Kapan kau sampai di Grosseto?" tanyanya ketika Alaric sudah duduk di sampingnya, "Aku tidak tahu kau telah bertemu Altair sebelumnya."     

"Hmm... tadi siang. Aku datang lebih awal dan melihat-lihat sekitar sini. Aku bertemu dengannya sedang mengejar kupu-kupu." Alaric tersenyum mengenang pertemuan pertamanya dengan Altair, ketika anak itu menggelitikinya agar ia bersuara sehingga Altair dapat melihat lavender. "Uhm... dia bilang suaraku terlihat seperti lavender.."     

Aleksis memiringkan kepalanya dengan haru sambil tersenyum, "Aww... benarkah? Lavender adalah bunga kesukaanku."     

Alaric mengangguk pelan, wajahnya berubah murung, "Aku tidak tahu bunga kesukaanmu. Ada banyak hal yang aku tidak tahu tentangmu, seperti hari ulang tahunmu, makanan kesukaanmu... apa-apa yang membuatmu sedih dan apa-apa yang membuatmu gembira..."     

"Sshh.. jangan berkata begitu. Semua itu tidak penting, kita punya waktu seumur hidup untuk saling mengetahui hal-hal kecil itu. Aku orangnya sangat sederhana..." Aleksis membingkai wajah Alaric dengan kedua tangannya dan menatap suaminya dengan penuh kasih, "Aku sedih saat kau tidak ada, dan aku gembira saat kau ada. Sederhana sekali, bukan?"     

Alaric terpana. Ia teringat kembali masa-masa sepuluh tahun lalu ketika ia baru bertemu Aleksis dan terharu karena merasakan betapa gadis itu mencintainya begitu dalam dan tanpa syarat, padahal mereka baru bertemu.     

Ia belum pernah merasakan dicintai sebesar itu oleh siapa pun, dan akhirnya pertahanan yang sudah dibangunnya selama puluhan tahun untuk tidak membuka hati kepada seorang wanita menjadi runtuh dan ia membiarkan dirinya jatuh cinta kepada Aleksis.     

Ia bahkan sama sekali tidak berpikir dua kali ketika Aleksis mengajaknya menikah. Seumur hidupnya yang kesepian, untuk pertama kalinya ia merasa menemukan orang yang mengerti dan menerimanya apa adanya.     

Dan kini orang itu telah kembali ke dalam kehidupannya setelah pergi selama sepuluh tahun.     

Mereka bertatapan untuk beberapa lama dan saling memuaskan kerinduan mereka akan wajah orang yang dicintainya. Aleksis membelai pipi Alaric dengan penuh kasih sayang dan pandangan mata kagum.     

"Kau... tampan sekali. Aku tidak pernah menduga kau setampan ini..." bisiknya. "Aku pikir kau sudah tua dan wajahmu rusak..."     

Alaric memejamkan matanya menikmati belaian tangan Aleksis pada wajahnya. Ia membiarkan gadis itu menelusuri setiap garis dan lekuk pada wajahnya yang halus dan rupawan.     

"Terima kasih karena mencintaiku tanpa syarat. Terima kasih karena kau tidak peduli bagaimana penampilanku... Aku ini laki-laki paling beruntung di dunia," bisiknya. Ia lalu membuka matanya dan menatap Aleksis dengan pandangan mata menyesal. "Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku ingin berterus terang kepadamu sedari awal, supaya kita tidak saling menyembunyikan diri dan salah paham, sehingga mengakibatkan semua kerumitan yang terjadi..."     

"Aku pun begitu... Aku sangat menyesal. Seandainya aku tahu dari awal bahwa kau adalah anaknya Paman Rory... tentu ia akan sangat bahagia dan kita bisa langsung memperoleh restu.." kata Aleksis dengan nada menyesal. "Sekarang semuanya sudah berlalu, itu sudah tidak penting lagi. Yang penting kau ada di sini bersamaku dan kita tidak akan berpisah lagi."     

Alaric mengangguk dan menarik Aleksis ke dalam dekapan dadanya. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."     

Ia merasa sangat bahagia ketika merasakan detak jantung Aleksis berpadu dengan detak jantungnya sendiri. Napas Aleksis pelan-pelan mulai menjadi tidak beraturan, dan Alaric pun sadar istrinya merasakan emosi yang mendalam karena tidak pernah mendapatkan keintiman darinya untuk waktu yang sangat lama.     

Ia melonggarkan pelukannya dan mengangkat dagu Aleksis dengan lembut, lalu mencium bibirnya. Aleksis memejamkan mata dan menikmati bibir Alaric pada bibirnya untuk kesekian kalinya hari itu, yang entah kenapa rasanya tidak akan pernah cukup.     

Ia membalas ciuman suaminya dengan penuh emosi saat setetes air mata mengalir ke pipinya. Ia sangat merindukan tubuh ini mendekapnya erat, ia sangat merindukan bibir ini menciuminya, dan ia sangat merindukan aroma tubuh Alaric yang demikian enak dan sentuhan kulitnya yang sangat menyenangkan.     

Alaric tidak pernah tertarik kepada wanita lain, tidak peduli betapa pun cantik dan seksinya mereka, bahkan untuk sekadar memuaskan kebutuhan seksualnya. Sebagai salah seorang 'bujangan' paling terkenal di dunia yang memiliki kekuasaan dan kekayaan yang tak dapat dibayangkan, ia telah menjadi incaran begitu banyak wanita yang berlomba-lomba menarik hatinya.     

Beberapa wanita bahkan beberapa dengan tidak tahu malu sengaja menyebarkan gosip akan kedekatan mereka. Tetapi sesungguhnya, hatinya yang dingin dan keras terlalu sulit untuk dibuka untuk cinta.     

Ia lebih memilih bekerja dan mengurusi berbagai rencana masa depan yang disiapkannya untuk dunia untuk mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang tidak perlu.     

Beberapa gadis yang berseliweran dalam hidupnya mungkin juga mengira ia sebenarnya gay yang tidak tertarik kepada lawan jenis. Seperti Elien Mikhailova yang telah berkali-kali mencoba secara halus mengajaknya tidur, hampir mengira Alaric tidak tertarik kepada wanita secara seksual.     

Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, pikir Elien akhirnya. Orang yang terlihat demikian tampan, kaya, dan berkuasa seperti Elios Linden pasti mempunyai kekurangan di balik semua kesempurnaannya itu...     

Mungkin ia tidak menyukai lawan jenis. Atau mungkin saja ia sebenarnya impoten. Bisa jadi, itu sebabnya ia tidak pernah menggubrisku, pikir Elien.     

Elien tidak tahu betapa salahnya dugaannya selama ini. Alaric tertarik kepada wanita, tetapi ia hanya mencintai satu wanita di dunia ini, dan sama seperti rasa cintanya tidak mudah datang, perasaan cintanya ini pun tidak mudah pergi. Walaupun ia mengira Aleksis meninggal sepuluh tahun yang lalu, ia tak dapat mengalihkan perasaannya kepada orang lain.     

Kini, melihat wanita yang dicintainya sudah kembali ke dalam hidupnya, dan selama sepuluh tahun ini justru bertambah cantik, Alaric tak dapat menahan gejolak hasratnya yang sudah demikian lama tersimpan jauh di dalam dirinya. Ia pun merasakan betapa tubuh Aleksis merindukannya sama seperti ia merindukan tubuh gadis itu.     

Ciumannya pada Aleksis menjadi semakin kuat dan bergairah saat lidahnya masuk menjelajahi mulut gadis itu dan menggodanya untuk membalas gairahnya. Sesaat kemudian keduanya sudah berpagutan di sofa dan bergumul sambil melepaskan desahan dan erangan penuh kerinduan.     

"Uhm... sayang..." bisik Alaric di sela-sela kecupannya pada leher Aleksis yang membuat gadis itu meregang sambil merintih berkali-kali, "Ibumu berpesan kita harus istirahat, tetapi aku sangat... sangat rindu kepadamu.. Apa yang harus kita lakukan..? Aku akan menurut apa katamu..."     

Aleksis masih ingat pesan ibunya, tetapi ia merasa ucapan ibunya tidak adil. Finland memiliki Caspar di sisinya dan mereka dapat bermesraan kapan saja, mudah baginya untuk menasihati Aleksis agar menahan diri. Tetapi seandainya ia juga berpisah dengan Caspar sedemikian lama, seperti perpisahaan Aleksis dan Alaric, mungkin Finland tidak akan mengatakan hal semacam itu.     

Kerinduan ini sudah begitu parah dan tidak dapat diobati lagi... pikir Aleksis. Penawarnya hanya satu: Alaric.     

Ia menggeleng pelan sambil memejamkan matanya, "Aku... menginginkanmu..."     

Alaric tersenyum simpul dan mengigit leher Aleksis pelan, "Aku pun menginginkanmu," bisiknya dengan suara parau.     

Setelah mendapatkan persetujuan dari Aleksis, Alaric segera melanjutkan serangannya. Ia menciumi setiap inci permukaan tubuh Aleksis dan menyingkirkan pakaian yang menghalangi aksinya dengan cekatan.     

Secara alami ia membelai, mengecup, mengisap dan merangsang area-area sensitif istrinya dengan sangat ahli. Aleksis menikmati semua itu sambil menatap wajah suaminya dengan penuh cinta.     

Ia sangat menyukai wajah tampan Alaric dan tak putus-putusnya mengaguminya. Dulu mereka bercinta tanpa ia dapat melihat wajah Alaric dan kini saat suaminya menjelajahi tubuhnya dan memuaskannya tanpa henti, Aleksis dapat menikmati setiap sentuhan dan setiap curahan cintanya sambil memandangi wajahnya dan menikmati ketampanannya dan senyumnya yang misterius.     

Pengalaman ini memberikan sensasi yang jauh lebih menggetarkan dibanding saat mereka bercinta sepuluh tahun lalu. Aleksis sekarang tidak sepolos dulu, ia pun lalu bergerak menunjukkan cintanya. Dengan perlahan tapi pasti ia membuka kancing pakaian Alaric satu persatu dan merabai dadanya yang bidang dan perutnya yang dihiasi otot yang pas dan sempurna.     

Alaric tersenyum senang melihat kini istrinya juga mengambil inisiatif. Ia membiarkan Aleksis melucuti pakaiannya satu persatu, sama seperti tadi ia melepaskan pakaian Aleksis, hingga kini keduanya tidak mengenakan apa-apa lagi.     

"Hmm... tubuhmu indah sekali..." puji Aleksis malu-malu sambil menelusuri perut Alaric yang rata hingga turun ke otot segitiga di panggulnya. "Aku sangat beruntung..."     

Alaric sangat senang mendengar pujian itu. Hanya pendapat dari Aleksislah yang penting baginya. Ia mencium kembali gadis itu dan kemudian membopongnya ke tempat tidur karena sofa dirasanya terlalu kecil untuk kegiatan bercinta mereka.     

Ia meletakkan Aleksis di tempat tidur dan segera melanjutkan cumbuannya. Mereka saling berpagutan dan saling memuaskan sampai akhirnya Alaric memposisikan tubuhnya di atas Aleksis dan pelan-pelan memasuki gadis itu.     

"Hmm... aku.. aku sangat merindukan ini..." bisiknya dengan suara serak saat kejantanannya menyamankan diri dengan keluar masuk liang kewanitaan Aleksis yang basah.     

Aleksis sudah tidak memperhatikan suara Alaric dan tidak dapat membalas karena pikirannya telah terbang sedari tadi, dibawa melayang tinggi oleh kecupan, belaian, dan curahan cinta Alaric dengan sentuhan kulitnya, tangannya, mulut dan lidahnya yang tak henti-hentinya bekerja memuaskannya.     

Euphoria yang dirasakannya tidak juga berhenti dan membuatnya terjebak di langit ketujuh saat Alaric juga memuaskannya dengan kejantanannya yang dengan begitu ahli memompa dan merangsang titik-titik dalam mulut rahimnya. Hanya suara rintihan Aleksis yang terdengar membuat Alaric menjadi semakin bersemangat memimpin kegiatan bercinta mereka.     

Mereka bercinta selama berjam-jam hingga Aleksis tidak mampu lagi mengeluarkan suara karena ia kelelahan akibat sensasi kenikmatan yang tiada hentinya dalam waktu yang demikian lama, dan barulah Alaric menghentikan aksinya. Ia tahu bahwa istrinya sudah kelelahan dan sangat dipuaskan, sehingga ia memutuskan sudah saatnya mereka tidur.     

Ia mengeluarkan benih cintanya di dalam rahim Aleksis dan berharap mereka akan segera memiliki anak lagi, sebelum akhirnya mencium gadis itu dan merebahkan tubuhnya ke sampingnya. Napas keduanya masih memburu ketika ia menggenggam tangan Aleksis dan menaruhnya di dadanya.     

"Terima kasih, Sayang... Aku laki-laki paling bahagia di dunia..." bisiknya.     

Aleksis memandangnya dengan haru dan mengangguk, "Aku juga perempuan paling bahagia di dunia..."     

Keduanya memejamkan mata sambil tersenyum saat hari hampir pagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.