The Alchemists: Cinta Abadi

Seperti Anak Tetangga



Seperti Anak Tetangga

0L tidak membalas ucapan cinta London, tetapi pria itu tidak memaksanya. Ia tahu L masih canggung atau malu mengucapkan bahwa ia juga mencintai London. Tidak apa-apa. Toh tindakan menunjukkan lebih dari seribu ucapan.     

Kenyataan bahwa L memilih tinggal dan tidak pergi setelah Lily lahir sudah menjadi testamen bagi London Schneider bahwa L juga mencintainya dan anak mereka.     

Sebagai seorang artis terkenal yang masih sangat muda dan masa depan yang panjang, sangat gampang bagi L untuk memulai hidup baru, pura-pura tidak pernah melahirkan dan menjalani hidupnya tanpa skandal sama sekali. Ia hanya tinggal melupakan Lily dan London dan melanjutkan hidupnya semula seolah tidak terjadi apa-apa.     

Namun, alih-alih memilih cara mudah seperti itu, L justru bersedia tinggal dan merawat Lily yang kondisinya demikian parah agar dapat sehat dan tubuh normal, tentunya dengan biaya yang sangat mahal, karena L tidak menyadari pria yang tinggal bersamanya itu adalah salah seorang laki-laki paling kaya di dunia.     

Dengan sabar L memberi pria itu waktu tiga tahun untuk berusaha mendapatkan penghasilan yang besar untuk menghidupinya dan Lily, barulah ia bersedia menikah dengannya. Malah, kini L bersedia melupakan batas waktu itu dan menikah dengan London dengan apa adanya.     

Laki-laki mana yang tidak terenyuh mendapatkan wanita demikian baik seperti L? Walaupun pada tampilan luarnya, gadis itu kadang-kadang masih bersikap menyebalkan, London lebih mengenal hatinya, dan kepribadian L semakin hari membuatnya semakin jatuh cinta.     

Kalau saja bukan karena Danny Swann brengsek itu, seharusnya minggu ini kami sudah menikah, pikir London sebal.     

"Aku akan meminta adikku mengirim mesin penerjemah tangisan bayi, kau tenang saja," kata London lagi. "Ada lagi yang harus aku ingat?"     

"Tidak ada. Kau pulang jam berapa nanti sore?"     

"Seperti biasa, jam 6. Kau mau dibawakan sesuatu?"     

"Tidak usah. Aku hanya terpikir untuk makan malam di luar. Sudah lama sekali aku tidak keluar. Aku mulai bosan di rumah."     

"Oh.. sebentar," London tiba-tiba teringat bahwa seharusnya hari ini ia 'gajian'. Ia bisa menjadikannya alasannya untuk mengajak L makan di luar. "Ide bagus! Mau makan di restoran Blue Sky di St. Laurent? Sebagai karyawan Schneider Group aku dapat diskon karyawan... hehehe."     

"Aku mau. Kau jemput aku dulu, atau kita bertemu di sana?"     

"Aku akan menjemputmu."     

"Baiklah.. aku tunggu."     

Setelah ia menutup telepon, London buru-buru memanggil Jan ke ruangannya.     

"Ada apa, Tuan?" tanya Jan santai sambil memasukkan tangannya ke saku. Ia sudah terbiasa dengan kelakuan bosnya yang sering mendadak membutuhkannya, sehingga ia selalu santai menghadapinya.     

"Hmm... malam ini aku dan L akan makan malam romantis di Restoran Blue Sky St. Laurent. Ini kesempatan bagus untuk melamarnya dengan benar. Kau masih menyimpankan cincin yang kuminta waktu itu?" Sepasang mata London bersinar-sinar gembira saat menceritakan rencananya kepada Jan.     

Dulu, saat L memberi isyarat bahwa ia bersedia menikah dengan London, pemuda itu langsung menghubungi Jan untuk menyiapkan lamaran yang pantas. Jan membeli cincin yang bagus dan mahal, serta mengadakan sayembara internal untuk mendapatkan skenario melamar yang paling romantis.     

Dari berbagai skenario yang masuk, ada satu yang menurut mereka sangat menarik dan segera saja London memerintahkan Jan untuk menyiapkan acaranya kalau sewaktu-waktu kesempatan itu datang.     

Seperti sore ini!      

Ha.     

Kali ini, lamaran yang keempat, tidak akan ditolak lagi, pikir London dengan hati gembira.     

"Tapi cincinnya terlalu mahal, Tuan. Nona L akan curiga." komentar Jan saat ia kembali ke ruangan London dengan kotak berisi cincin bertatahkan batu berlian berwarna biru muda. "Kenapa Tuan tidak menggunakan cincin biasa saja, nanti kalau Tuan sudah menikah dan membuka identitas, Tuan bisa memberikan cincin yang benar?"     

"Apa kau tidak bisa memanipulasi undian lotre bulan ini? Aku bisa saja kan mengaku dapat uang banyak karena menang lotre?" tanya London seenaknya.     

"Uhm... sepertinya itu terlalu berlebihan." Jan menggeleng. Menurutnya bosnya terlalu dimanjakan selama ini karena semua keinginannya dapat terkabul dengan mudah... sehingga kadang-kadang ia bisa memikirkan hal yang demikian absurd. "Tuan juga bisa bilang kalau Tuan menghabiskan seluruh gaji Tuan untuk membelikan Nona L cincin ini. Mungkin ia akan bisa lebih menghargainya?"     

London mengangguk-angguk. "Kau benar juga. Kalau aku mengaku menang lotre, L justru akan menghajarku, dia sudah bilang tidak suka aku berjudi."     

"Nona L sangat bijak," kata Jan sambil menarik napas lega.     

"Baiklah, kalau begitu, siapkan semuanya... aku akan melamar L saat makan malam di St. Laurent nanti..."     

Jan mengangguk hormat dan pamit untuk mengurusi semua skenario lamaran yang sudah disetujui London. Lamarannya akan sangat romantis dan menyenangkan... Ia pun tidak sabar ingin melihat hasilnya.     

Setelah Jan pergi, London memutuskan untuk menghubungi kakak iparnya dan berkonsultasi tentang kasus pembunuhan keluarga L belasan tahun lalu. Jan benar. Kalau ada orang yang tahu tentang dunia hitam di Eropa belasan tahun lalu, orang itu pasti adalah Alaric Rhionen dan kelompok pembunuhnya.     

Walaupun sekarang semuanya sudah berhenti dari dunia itu, tetapi pasti koneksi dan orang-orang yang mereka kenal masih jauh lebih banyak dibandingkan London yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia para penjahat.     

"Bagaimana kabar si kembar?" tanya London dengan antusias saat sambungan Virconnect membawanya ke mansion kakaknya di Singapura. Ia melihat Alaric menatapnya sambil tersenyum lebar dengan seorang bayi mungil menempel di dadanya, sedang tertidur pulas.     

Astaga.. Alaric Rhionen yang dingin itu bisa tersenyum? Hati London tergetar melihat betapa besar perubahan kakak iparnya itu sekarang.     

Penampilan Alaric dan bayinya sangat kontras, Alaric dengan kulitnya yang pucat dan rambut platinum sementara anaknya berkulit kemerahan dengan rambut cokelat tua dan wajah sedikit Oriental. Untuk sesaat London terkesima. Keponakannya yang baru memang lebih mirip ibunya daripada Alaric dan Aleksis.     

"Kau seperti sedang menggendong anak tetangga..." komentar London blak-blakan.     

Mendengar kata-kata adik iparnya yang seolah tanpa dosa itu, Alaric segera mematikan sambungan Virconnect-nya.     

"Hei.. lho.. kenapa dimatikan?" London mencoba kembali menghubungi Alaric tetapi panggilannya selalu ditolak. Pemuda itu hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kenapa mesti marah? Aku kan hanya mengatakan yang sebenarnya?"     

Sepuluh menit kemudian sambungan Virconnect kembali menyala dan Aleksis muncul di hadapannya sambil merengut.     

"Kau ini kalau mau bicara apa tidak pernah dipikirkan dulu? Kau terlalu lama bergaul dengan Terry," omelnya kepada adiknya yang hari ini menyakiti hati suaminya tanpa sengaja.     

Bagi Alaric, anak-anaknya adalah hartanya yang paling berharga. Namun demikian, ia terpaksa membagi kedua anak pertamanya dengan Nicolae karena ia tidak hadir di masa sepuluh tahun pertama hidup mereka...     

Kehadiran anak-anak keduanya sekarang bisa dibilang merupakan penghiburan bagi pria penyendiri yang tidak menyukai manusia ini. Tentu saja hatinya merasa tersinggung, jika anak-anak kandung yang sangat disayanginya disebut-sebut seperti anak tetangga.     

Walaupun London hanya bercanda, dan mungkin hal ini untuk orang lain dianggap lucu, bagi Alaric ucapannya bukanlah hal yang dapat diterima. Itulah sebabnya ia menolak berbicara dengan London.     

"Ya Tuhan.. maafkan aku, aku tadi hanya asal bicara. Aku tidak bermaksud untuk..." London menelan ludah. Duh seharusnya ia tahu. Tidak boleh sembarangan bicara di depan Alaric Rhionen.     

Alaric bukanlah orang yang punya selera humor seperti kakaknya, Nicolae. Bagaimanapun dulu dia adalah seorang assassin berdarah dingin dan pernah ingin membunuh sebagian besar umat manusia.     

Diam-diam London merasa keringat dingin membanjiri punggungnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.