The Alchemists: Cinta Abadi

Sihir Apa Ini?



Sihir Apa Ini?

0Herannya L tidak juga menoleh lima menit setelah London menyampaikan pengakuan dosanya. Dada pria itu menjadi semakin berdebar-debar. Apakah ini karena L sangat marah sehingga ia perlu waktu untuk menenangkan diri sebelum melampiaskan amukan kawah Candradimukanya?     

"L... tolong jangan diam saja.." kata London dengan suara memelas. Ia menyentuh bahu L dengan tangan gemetar.     

"Eh..." L segera menoleh dan menatap London sepasang mata membulat. "Kau belum tidur? Bukankah tadi kepalamu sakit?"     

Suara L yang demikian lembut dan penuh perhatian membuat hati London justru dilanda ketakutan hebat. Apakah L sengaja berbaik-baik kepadanya sebelum mengamuk?     

Ibaratnya ketenangan yang terjadi sebelum datangnya badai; semakin tenang suasananya, maka akan semakin mengerikan badainya nanti.     

"Aku..." London menelan ludah dengan susah payah.     

L buru-buru menaruh gelas wine-nya di meja samping kursinya dan bangkit berdiri. Ia meraba kening London dan memeriksa suhu tubuhnya.     

"Kau sakit?" tanya gadis itu. "Tidak bisa tidur? Hm... kau tidak panas... tapi wajahmu pucat sekali..."     

Ia meraba-raba wajah London dan mengusap rambutnya dengan penuh perhatian.     

London sama sekali tidak mengerti sihir apa ini...      

Mengapa L berubah menjadi sangat perhatian? Sikapnya sekarang justru lembut sekali, alih-alih mengerikan karena amarah...     

"Aku memang tidak  bisa tidur.. Aku memikirkan semuanya baik-baik dan akhirnya aku sadar bahwa aku..." Belum selesai London berbicara, L menarik tangannya kembali ke arah kamarnya.     

"Kau tidak boleh sakit berlama-lama. Aku memerlukan bantuanmu untuk mengurus Lily dan rumah ini..." cetus L. Begitu mereka tiba di kamar London ia langsung mendorong tubuh pemuda itu ke tempat tidur dan menekan dadanya. "Kau tunggu di sini. Aku akan mengambilkan obat sakit kepala yang diberikan Dokter Alice kepadaku. Obatnya ampuh sekali."     

Aneh sekali.. aneh sekali.... pikir London. Ia tidak mengerti apa yang barusan terjadi. Mengapa L tidak marah kepadanya?     

Apakah L sedang memberinya pelajaran?     

London masih bertanya-tanya dan tak dapat menjawab pertanyaannya, ketika L kembali ke kamarnya membawa sebuah pil dan segelas air.     

"Minumlah..." kata L tegas sambil duduk di tepi pembaringan. London hendak menolak, karena ia memang tidak sakit. Tetapi melihat pandangan sungguh-sungguh L, ia tidak kuasa menolak.     

Akhirnya ia meminum pil itu dan menyerahkan gelas kembali kepada L.     

"L aku..." Ucapan London terhenti di udara ketika L menatapnya keheranan, dan tiba-tiba seolah tersadar akan sesuatu, gadis itu mendesah.     

"Ahh... aku lupa aku masih mendengarkan musik," cetus gadis itu. Ia menyingkapkan rambutnya yang indah tergerai dan menarik keluar earphone wireless kecil dari kedua telinganya. Ia menaruh kedua earphone tersebut di sakunya lalu menatap London dalam-dalam. "Kau tadi bilang apa? Obatnya pahit? Maaf ya... memang semua obat begitu. Kalau sakit kau harus meminumnya. Hmm... aku belum pernah melihatmu sakit..."     

"Aku tidak sakit," kata London dengan suara tercekat. Ia baru menyadari bahwa sedari tadi ternyata L tidak mendengarkan semua pengakuan dosanya.     

Itu sebabnya gadis itu sama sekali tidak marah.     

Aduh.. bagaimana ini? Apakah ia harus mengulangi pengakuan dosanya sekali lagi?     

Satu kali saja rasanya sudah sangat mengerikan. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa mengulangi semua kata-katanya tadi di beranda.     

"Jelas-jelas kau sakit, wajahmu pucat begini," kata L. Ia menggeleng-geleng dengan ekspresi keibuan yang mengingatkan London pada ibunya. Gadis itu menyentuh pipi London dengan penuh perhatian. "Kau tidak usah berpura-pura kuat di depanku. Yang namanya manusia biasa itu pasti punya kelemahan, dan kekuatan fisiknya terbatas. Aku tahu kau sudah bekerja sangat keras untuk mengurus semua renovasi dan kepindahan kita ke sini. Semua itu pasti membuatmu sangat lelah, hingga akhirnya jatuh sakit seperti ini. Maafkan aku kalau aku belum sempat mengucapkan terima kasih yang seharusnya."     

London tertegun mendengar kata-kata L.      

Ini bukan mimpi, kan?     

Diam-diam ia mencubit pinggangnya sendiri.     

Ouch... sakit!     

Ia menatap L dengan pandangan tidak percaya.     

"Aku tahu selama ini aku bersikap sangat keras dan terkadang judes kepadamu..." L melanjutkan kata-katanya dengan suara yang sangat lembut. London bahkan tidak tahu L memiliki sisi yang begini lembut di dalam dirinya. Sisi lembut L ini rupanya sangat manis dan membuatnya terlihat semakin feminin dan cantik. London menegakkan telinganya berusaha menangkap setiap patah kata yang diucapkan L kepadanya. "Aku terbiasa mengurus diri sendiri, dan tidak dapat mempercayai orang lain. Aku tahu itu kebiasaan buruk... tetapi aku tak bisa mengubahnya dengan mudah. Sejak di panti asuhan aku harus selalu mementingkan diriku sendiri, karena orang lain tidak akan menolongku."     

"L... kau bisa mempercayaiku... Aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia..." kata London dengan suara pelan. Setiap kali mendengar L membicarakan tentang kehidupannya di panti asuhan, hatinya merasa sakit.     

"Aku tahu..." L tersenyum dan menyentuh tangan London lalu menepuk-nepuknya pelan. "Saat di  luar tadi, aku banyak berpikir tentang kita, dan betapa kau sudah banyak membantuku selama ini tanpa pernah mengeluh. Aku belum pernah bertemu orang yang sepertimu. Kau seorang pekerja keras, kau melakukan apa saja untukku dan Lily, dan kau juga menepati semua kata-katamu. Rasanya aku tidak akan pernah bertemu laki-laki sebaik dirimu di dunia ini."     

London menelan ludah mendengar kata-kata L. Dadanya semakin berdebar-debar.     

"Karena itu, aku ingin kita membuka lembaran baru. Aku akan melupakan semua yang kau lakukan kemarin-kemarin, tentang kau membuntutiku dan berhubungan dengan mafia atau apa pun itu.. Biarlah itu menjadi bagian masa lalu. Aku percaya kepadamu dan aku tahu semua yang kau lakukan itu untuk kebaikanku dan Lily. Aku juga akan memutuskan pertunanganku dengan Danny Swann. Aku dan dia memiliki hubungan masa lalu yang tidak dapat kujelaskan sekarang, tetapi aku berjanji akan menjelaskannya suatu hari nanti."     

"Kau.. kau akan memutuskan pertunangan dengan Danny Swann?" Suara London terdengar penuh harap. Ia merasa sangat bahagia mendengar pernyataan ini.     

L mengangguk. "Saat aku memutuskan untuk memilih Lily, aku memutuskan untuk tinggal. Itu artinya, aku akan tinggal bersamamu dan Lily."     

"Oh, L..." London mengusap matanya yang berkaca-kaca. Ia sangat terharu.     

Saat ini ia merasa sangat bersyukur tadi ia mengalami sakit kepala sehingga tidak bisa tidur dan akhirnya L mengira ia sakit, sehingga mereka bisa duduk dan bicara dari hati ke hati seperti ini.     

"Kenapa kau tiba-tiba memutuskan seperti ini?" tanya London dengan suara dipenuhi keharuan.     

"Ini bukan keputusan mendadak. Aku sudah memikirkannya selama lima hari ini," jawab L. "Kau laki-laki baik, kau juga ayah yang baik. Aku akan beruntung bisa hidup bersamamu dan Lily."     

"Sebentar..." London bangun dari tempat tidur dan buru-buru bersimpuh di kaki L. "Maksudmu.. kau... kau mau menikah denganku?"     

L tampak memutar matanya, tetapi kali ini ia tersenyum.     

"Seperti biasa... kau tidak bisa melakukannya dengan benar. Tidak ada bunga... tidak ada cincin," kata gadis itu pura-pura merengut. "Dasar."     

London tahu L sudah bersedia menerima lamarannya. Entah apa yang terjadi, tetapi yang jelas kali ini L memberi tanda dengan jelas bahwa ia bersedia menghabiskan hidupnya bersama London dan Lily... dan ia bersedia menikah dengan pria itu.     

"Aku akan menyiapkan cincin secepatnya..." bisik London dengan suara dipenuhi kebahagiaan. Ia bangkit dan menarik L berdiri lalu memeluknya erat sekali. Ia lalu membingkai wajah gadis itu dan mendaratkan ciuman dengan antusias ke bibir L yang seksi. "Terima kasih..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.