The Alchemists: Cinta Abadi

Nasihat Jan



Nasihat Jan

0"Ahh... Sayang, seleramu sangat bagus. Rumah ini memang indah sekali," komentar London saat ia menurunkan koper-koper mereka dari bagasi dan mendorongnya masuk ke dalam rumah baru mereka.     

Pintu rumah terbuka secara otomatis karena ia telah memasang pemindai wajah di dalam sistem rumah sehingga begitu melihat L atau ia datang, pintu akan terbuka seketika.     

London menaruh koper L di kamar gadis itu dan kopernya sendiri di kamar miliknya. Setelah mengatur barang-barang pribadinya di lemari, ia lalu keluar menemui L yang ternyata sudah duduk di piano dan sedang mencoba tuts-nya.     

London tidak mau mengganggu L di saat gadis itu sedang menikmati musiknya. Karena itu ia hanya berdiri di sudut dan memperhatikan L menyentuh satu persatu tuts pianonya dengan penuh kasih sayang.     

Ahh... tiga tahun lagi, kalau ia sudah dapat 'membuktikan diri' kepada L, dan gadis itu akhirnya bersedia menerima lamarannya, ia dapat membayangkan jari-jari panjang dan lentik itu menyentuh tubuhnya seperti L menyentuh piano.     

Ia tidak keberatan kalau L memainkan tubuhnya seperti gadis itu memainkan piano. Hmm... dari ujung kepala hingga ke ujung kaki...     

Sampai saat itu tiba, London tidak boleh cemburu kepada sepotong alat musik. Ia harus bersabar.     

Pemuda itu berdiri diam-diam dengan mata tidak lepas memperhatikan L yang kemudian memutuskan untuk kembali memainkan La Campanella, kemudian dilanjutkan dengan Etude dari Chopin.     

Permainan musik L sungguh  luar biasa. London sendiri belajar musik sedari kecil dengan guru-guru musik pribadi, tetapi ia tidak memiliki minat yang cukup besar untuk melanjutkan kegiatan bermusiknya setelah dewasa.     

Karena dulu ia pun berlatih musik, London bisa mengetahui kira-kira seberapa besar bakat L dalam memainkan musik dan telah berapa lama ia berlatih. Gadis itu pasti telah mulai berlatih musik saat ia masih sangat kecil, kalau dilihat dari tekniknya yang sangat matang dan betapa mudahnya ia memainkan lagu-lagu yang demikian sulit.     

Setelah lagu kedua selesai dimainkan, barulah L menyadari kehadiran London di ruang tamu. Ia segera bangkit berdiri dan merapikan pakaiannya. London bertepuk tangan memuji dan berjalan menghampirinya.     

"Bagus sekali.. kau sangat mengagumkan! Aku berharap Lily mewarisi bakatmu dalam bermusik..." komentar London dengan wajah berseri-seri.     

Ia sangat senang karena garis keturunannya dilanjutkan bersama seorang gadis yang memiliki sangat banyak kelebihan. Lily akan mewarisi kecantikan dan bakat musik ibunya... serta kecerdasan dan harta berlimpah dari ayahnya. Lily akan tumbuh menjadi gadis sempurna!     

Dalam hati ia merasa bersyukur karena waktu itu Stephan tidak menjebaknya dengan seorang gadis yang jahat ataupun jelek, atau gadis yang hanya menginginkan hartanya, atau gadis membosankan yang sama sekali tidak memiliki kelebihan. Bila itu sampai terjadi, London akan terjebak dengan perempuan dan anak yang mungkin tidak ia inginkan...     

"Kita makan siang di kafe dekat sini? Sesudah itu kita bisa ke rumah sakit," katanya sambil menepuk bahu L dengan lembut. L mengangguk. Ia berjalan keluar rumah diikuti oleh pria itu.     

Jadwal mereka hari ini adalah ke rumah sakit untuk menjenguk Lily dan wawancara kerja. Saat L menunggui Lily di sana sambil menyiapkan ASI tambahan, London akan pergi ke Schneider Tower untuk melamar pekerjaan, lalu kemudian ia akan kembali ke rumah sakit dan menjemput L, bersama ambulans yang akan mengantar Lily pulang ke rumah mereka bersama dua orang perawat yang akan tinggal bersama mereka dan membantu merawat Lily selama tiga bulan ke depan.      

Saat mereka hendak masuk ke mobil, tiba-tiba langkah L terhenti dan ia menebarkan pandangannya ke seluruh taman rumah mereka yang besar. Pohon-pohon yang rimbun di sisi kiri tampak memberi keteduhan di halaman itu, dan bunga-bunga di sebelah kanan memberi warna-warni cerah pada rumah minimalis mereka.     

"Ada apa?" tanya London keheranan. "Ada yang aneh?"     

L tersenyum tipis dan menunjuk ke langit. "Hari ini tidak  hujan."     

Aha... L rupanya sedang mengingat taruhan mereka tadi malam.     

London sempat bilang bahwa hari ini akan turun hujan, sementara L bersikeras mengikuti prakiraan cuaca, bahwa seminggu ini tidak akan hujan.     

Kalau L kalah... London boleh menciumnya.     

Kali ini giliran pria itu yang tersenyum tipis. Ia sengaja meminta Jan untuk mengirimkan hujannya nanti malam, setelah mereka selesai membawa Lily pulang, lalu bersiap-siap tidur. Hujan akan turun sekitar pukul sepuluh malam. L tidak akan menduga bahwa ia akan kalah, karena seharian hujan tidak juga turun.     

Lalu... keuntungan berikutnya dari London mendapatkan hadiah kemenangannya di malam hari adalah: mereka sudah selesai menjalankan semua rencana mereka dan tinggal beristirahat. Ciuman itu nanti akan menjadi ciuman yang sangat manis dan menyenangkan serta tanpa gangguan.     

Bayangkan kalau hujan turun sekarang... ia akan terpaksa mencium L saat ini dan semuanya akan menjadi terburu-buru karena mereka harus segera berangkat makan siang dan ke rumah sakit.     

"Aku yakin nanti malam akan turun hujan... Kau sabar sedikit, dong." London membukakan pintu mobil untuk L lalu masuk ke dalam. Ia hanya tersenyum-senyum sendiri membayangkan nanti malam ia akan dapat menikmati bibir merah muda L yang menggemaskan itu.     

L hanya mengerutkan kening melihat wajah ceria London di sepanjang perjalanan.     

Mereka makan di sebuah restoran di dekat rumah sakit sebelum menjenguk Lily. L masih menyamarkan wajahnya dengan kaca mata hitam dan menutupinya dengan syal lebar agar tidak dikenali orang. Ia dan London duduk di sudut yang tersembunyi dan bisa makan dengan tenang.     

Setelah makan siang selesai, London mengantar L ke rumah sakit untuk menemani Lily. Ia sendiri tinggal di sana selama setengah jam sebelum akhirnya pamit untuk 'wawancara pekerjaannya' di Schneider Tower.     

"Aku pergi dulu, Sayang. Doakan aku lulus dan mendapatkan pekerjaannya," katanya sambil tersenyum simpul. L hanya memutar bola matanya mendengar London terus-terusan dengan berani memanggilnya 'Sayang'.     

Tetapi ketika pria itu hampir keluar dari pintu, terdengar suara kecil L dari belakangnya. "Semoga berhasil."     

London menoleh dan tersenyum sangat lebar. L mendoakan ia berhasil maka tentu London akan berhasil!     

"Terima kasih," katanya senang.     

Ia benar-benar melihat banyak perubahan terjadi dalam diri L sejak Lily dilahirkan. Dalam hati ia berharap hubungan mereka akan menjadi lebih baik, dan segera L mau menerima lamarannya dan mereka bisa meresmikan hubungan sebagai suami istri.     

Kalau begini terus, bisa jadi ia tidak perlu menunggu tiga tahun untuk dapat melamar L.     

London disambut Marc dan Dave di lobi rumah sakit. Mereka selalu membuntutinya kemana pun ia pergi dan selalu menjaga jarak dengan baik. Setelah melihat bahwa London berjalan sendirian dan tidak diikuti L, mereka kembali bersikap santai dan bergabung dengan bosnya.     

"Marc, kita berangkat ke kantor. Ada sangat banyak urusan yang sudah kutinggalkan. Dave, kau tetap berjaga di sini mengawasi keluargaku. Alex mengirim satu tim untuk menemanimu di sini. Seperti biasa laporkan kepadaku kalau ada apa-apa." kata London kepada kedua pengawalnya. Marc dan Dave mengangguk dan segera melakukan sesuai perintahnya.     

Setibanya London di Schneider Tower, ia segera memanggil Jan dan keduanya segera membahas semua perkembangan yang harus diurusi. Urusan pekerjaan dibereskan terlebih dulu, kemudian urusan pribadi.     

"Tuan.. aku masih tidak mengerti kenapa Tuan harus repot-repot begini. Nona L jelas mencari lelaki seperti Tuan untuk dinikahi, kenapa tidak berkata jujur saja kepadanya? Aku yakin ia tidak akan menolak kalau Tuan berterus-terang mengaku sebagai London Schneider..." kata Jan lagi.     

"Hmm... aku takut ia akan stress dan sakit jantungnya kambuh... atau lebih parah lagi, ia akan membenciku karena sudah banyak membohonginya..." keluh London.     

"Mmm.. mungkin Tuan bisa mencoba mencari suasana yang pas. Mungkin makan malam romantis, lalu saat suasana hatinya sedang sangat bagus, Tuan bisa pelan-pelan menceritakan semuanya," Jan mencoba mencarikan solusi. "Lagipula selama ini apa yang Tuan lakukan adalah demi kebaikannya. Tuan tidak pernah berbuat jahat..."     

London tampak merenung mendengar kata-kata Jan. Akhirnya ia menarik napas. "Kau benar. Mungkin aku akan mencari saat yang tepat untuk berterus-terang."     

Jan mengangguk senang. "Semoga berhasil."     

"Hmm.. Jangan lupa kirim hujan jam 10 malam," kata London lagi.     

"Tentu saja, Tuan."     

Ahh... London mungkin akan mencoba saran Jan. Ia akan menyiapkan makan malam romantis dengan lilin... lalu meminta ciumannya dari L... lalu, lalu... saat suasananya dirasa tepat, ia akan menceritakan siapa dirinya.     

Ia tidak sabar menunggu malam tiba.     

Tetapi pada saat yang sama dadanya juga berdebar-debar. Bagaimana kalau saat yang tepat itu tidak juga datang?     

Sampai berapa lama kira-kira ia akan dapat terus menyimpan kebohongannya kepada L?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.