The Alchemists: Cinta Abadi

Keputusan L



Keputusan L

0Melihat kondisi Lily yang menyedihkan dan L yang menangis tersedu-sedu, London tidak kuasa menahan kesedihan. Ia ikut bersimpuh dan memeluk L dari belakang, membenamkan kepalanya ke punggung gadis itu.     

L yang menyadari kehadiran pria itu lalu menoleh ke arahnya dan secara spontan mengusap kepalanya. Tidak ada yang dapat memahami perasaan mereka selain satu sama lain. Sebagai orang tua dari bayi yang sama, keduanya merasakan kesedihan dan kekuatiran yang sama, bahwa Lily tidak akan bertahan hidup.     

Mereka kemudian saling bertangisan tanpa suara. Air mata London telah membasahi pakaian L di bagian punggung dan beberapa menit kemudian ia melepaskan diri dari gadis itu dengan wajah bersalah.     

"Maaf, aku sudah membuat pakaianmu basah," katanya sungkan. Seumur hidupnya ia tidak ingat pernah mengeluarkan air mata sebanyak ini.     

L masih mengenakan gaun rumah sakit dan ia tampak sama sekali tidak peduli dengan penampilannya. Rambut dan pakaiannya di bagian atas telah basah sedari tadi oleh air matanya sendiri.     

Mendengar permintaan maaf dari London, Ia hanya menggeleng dan menunjuk ke lemari di sudut ruangan.     

Pria itu mengerti maksudnya dan segera mengambilkan gaun baru dari lemari itu. L kemudian bangkit dari lantai dan duduk perlahan-lahan di kursi di samping inkubator dan terpekur memandangi Lily yang masih berbaring diam tidak bergerak di dalamnya.     

London menghampirinya dan menyerahkan gaun baru. "Ini pakailah..."     

"Bantu dulu aku melepaskan yang ini..." bisik L. Ia membuka kancing di bagian dada lalu mengulurkan tangannya. Dengan refleks London membantu gadis itu melepaskan gaun rumah sakitnya. Setelah pakaian basah L lepas, ia lalu membuka lipatan gaun baru yang tadi diambilnya dari lemari dan membantu memasangkannya dengan perlahan-lahan ke tubuh L.     

Sebagai laki-laki normal yang sering kali berpikir mesum tentang tubuh L ketika telanjang, anehnya, kali ini London sama sekali tidak bisa berpikir kotor. Ia hanya terharu melihat tubuh L yang baru beberapa jam yang lalu berjuang melahirkan anaknya.     

Wajah dan kulit L masih tampak pucat, sementara perutnya masih agak besar dan payudaranya bengkak, tetapi keseluruhan dirinya saat itu tampak indah di mata London, dengan cara yang tidak mesum. Entah kenapa, ia juga tidak mengerti.     

"Kau tidak malu aku membantumu berpakaian?" tanyanya keheranan.     

L menunjuk kancing di bagian dadanya yang masih terbuka dan dengan sigap London membantu mengancingkannya. Setelah semua beres dan London sudah menaruh pakaian L yang tadi basah ke keranjang di sudut ruangan, barulah L menggulung rambutnya dan duduk dengan tenang di sofa.     

"Buat apa aku malu?" omel gadis itu dengan suara lemah. "Kau sudah melihatku dalam kondisi paling mengerikan. Tidak ada lagi yang bisa membuatku malu di depanmu..."     

London mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia suka logika L. Saat-saat perempuan melahirkan adalah saat paling rentan dan 'mengerikan' bagi seorang wanita. Kalau laki-laki sudah melihat sang wanita dalam keadaan seperti itu, tentunya tidak ada situasi lain yang dapat lebih buruk dari tu.     

London tidak ingin L berubah menjadi malu dan sungkan kepadanya setelah London menyaksikanya menjerit, meraung, mencakar, berpeluh, mengejan dan mengeluarkan bayi dari liang kewanitaannya di saat persalinan. Baginya, semua pengalaman itu sangat menggetarkan dan membuatnya menjadi lebih menghargai wanita. Maka tentu ia berharap L tidak malu. Ia sendiri tidak keberatan melakukan apa pun untuk gadis itu..     

"Kau benar," katanya setuju.     

Dalam kamus London, L memang selalu benar.     

Keduanya lalu duduk bersama-sama di sofa mengamati Lily. Saat London mengerling ke arah L yang duduk di sampingnya, ia melihat wajah gadis itu tampak diliputi berbagai perasaan yang intens. Ia mengenali ekspresi kuatir, ketakutan, dan kagum pada saat yang sama.     

Hatinya sedikit mengembang karena sesuatu di dalam kepalanya mengatakan bahwa L berubah pikiran. Sepertinya L memang sudah jatuh cinta kepada anaknya sendiri...     

Ketika melihat sepasang mata L berkaca-kaca menatap Lily dan kembali hendak menangis, London buru-buru memeluknya.     

"Sshh.. jangan menangis lagi. Lily akan baik-baik saja... Hanya perlu dirawat di NICU selama tiga bulan..." katanya menenangkan.     

L menoleh dan menatapnya dengan sepasang mata yang sangat sedih.     

"Aku tahu. Aku sudah mendengar dari Dokter Alice semuanya..." Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan emosinya. "Aku tahu kondisi Lily seperti apa. Dia harus selalu minum ASI agar dapat tetap sehat."     

London mengangguk. Hatinya mulai berharap semakin besar. "Itu benar."     

"Aku sudah mengambil keputusan, aku tidak akan menyerahkan Lily kepada siapa pun. Aku akan mengurusnya dan memastikan ia tetap sehat..." Kata L dengan suara bergetar tetapi tidak ada nada keraguan sedikit pun. Ia lalu melanjutkan ucapannya dengan tegas sambil menatap London lebih tajam. "Aku tidak akan membiarkannya tinggal bersamamu di apartemen karena kau tidak akan mampu membiayai semua kebutuhannya..."     

Secara refleks London melepaskan pelukannya dan menatap L dengan pandangan tidak percaya.     

Apa maksud L? Apakah ia ingin membawa Lily pergi dan membesarkannya bersama Danny Swan???     

London yang tidak pernah marah kepada L, seberapa pun judes dan menyebalkannya gadis itu selama ini, tiba-tiba saja dipenuhi amarah yang sangat besar. Ia belum pernah semurka ini kepada siapa pun.     

Berani sekali kau... hendak mengambil anakku dariku, kecamnya dalam hati.     

"Kau pikir yang dibutuhkan Lily itu hanya uang???" desis London berusaha keras menahan marahnya.     

L tampak tidak gentar. Ia menatap London dengan tajam.     

"Lily membutuhkan perawatan terbaik dan biayanya tidak sedikit! Apa kau bisa membiayainya dengan gajimu sebagai fotografer?? Kalau kau mau ikut merawat Lily aku tidak akan mengizinkanmu terlibat dengan mafia dan mendapatkan uang haram!" cetus L tegas. "Apartemenmu juga terlalu kecil dan tidak bisa menampung berbagai peralatan medis yang dibutuhkan untuk merawat Lily..."     

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya London dengan nada tinggi sambil mengencangkan rahangnya dan menatap L dengan murka. "Kau ingin membawa Lily pergi dariku?"     

"Aku tidak bisa membiarkan Lily dirawat di NICU rumah sakit ini... Orang-orang akan mengenaliku kalau aku setiap hari ke rumah sakit untuk menemuinya. Aku akan meminta Pammy membeli rumah besar dan menyiapkan ruang NICU di rumah untuk Lily  biar aku dapat merawatnya dan menyusuinya sendiri di rumah..." cetus L dengan nada sama tingginya. "Begitu aku dibayar untuk semua iklan dari Schneider Group dan Virconnect aku akan mampu membiayai semua kebutuhan Lily..."     

London terkesima mendengar kata-kata L.     

Oh... ternyata L hendak membeli rumah sendiri dan menyiapkan ruang NICU untuk Lily di rumah... persis sama seperti yang sekarang sedang ia lakukan...     

Ia menatap L dengan pandangan tidak percaya.     

"Jadi..." Ia menelan ludah. "Jadi, maksudmu.. kau akan membawa Lily untuk tinggal bersamamu.. karena.. kau mau merawatnya sendiri...?"     

L mendelik melihat wajah bingung London yang menurutnya terlihat bodoh karena berkali-kali menanyakan maksud ucapannya barusan.     

"Tadi kan aku sudah bilang? Apartemenmu terlalu kecil untuk merawat bayi prematur yang sakit... Kalau kau mau melihat Lily sehat, kau harus menyingkirkan egomu dan mengikuti keinginanku. Kita tidak bisa lagi tinggal di tempatmu dan mengandalkan penghasilanmu sebagai fotografer. Aku akan membeli rumah yang layak untuk Lily. Kalau kau mau ikut merawat Lily, kau yang harus ikut pindah..."     

Ahhh.. London baru menyadari maksud L.     

Ternyata gadis itu masih menganggap bahwa London miskin dan, karena penghasilannya sebagai fotografer tidak cukup, ia terlibat dengan mafia untuk mendapatkan uang tidak halal.     

L menegaskan bahwa ia tidak rela bila Lily dirawat dan dibesarkan dengan menikmati uang haram, karena itulah ia memaksa untuk membawa Lily pergi dan tinggal bersamanya di rumah baru yang akan ia beli dengan uangnya sendiri... dan London hanya diizinkan untuk ikut kalau ia berjanji memutuskan hubungannya dengan mafia...     

Seulas senyum pelan-pelan terlukis di wajah London saat ia menatap L dengan geli.     

"Kenapa... kau selalu mengira aku ini terlibat dengan mafia?"  tanyanya kemudian. Kemarahannya telah hilang sama sekali.     

L mengerutkan keningnya. "Aku sudah bilang, kan? Kau selalu dibuntuti dua orang mencurigakan... dan kau beberapa kali berbohong kepadaku tentang pekerjaanmu dan lokasimu. Seperti dua hari lalu kau mengaku sedang di Singapura, padahal...."     

London menekap bibirnya untuk menahan tawa. Awan mendung yang dari tadi menaungi hatinya telah berganti dengan pelangi. L memang judes dan menyebalkan, dan ia selalu mengaku sangat materialistis, tetapi tidak sekalipun ia pernah menuntut materi dari London. Ia selalu menerima apa pun yang diberikan kepadanya tanpa mengeluh.     

Dan sampai di saat terakhir ia masih mengira London sebagai seorang fotografer miskin yang demi memenuhi kebutuhan anaknya yang akan lahir, terjerumus ke dunia hitam dan bekerja untuk mafia...     

London mengakui daya imajinasi L cukup tinggi, sayangnya gadis itu salah duga tentang identitasnya yang sebenarnya,     

"Kenapa kau tertawa? Ada yang lucu? Apa aku ini seperti badut di depanmu?" tanya L mulai kesal karena tingkah London yang menurutnya cukup aneh.     

London menggeleng pelan. "Aku akan memutuskan hubunganku dengan semua mafia, menurunkan egoku sebagai laki-laki, dan pindah ke rumah baru bersamamu, demi Lily..."     

Ia lalu mengangkat tangannya seolah menyatakan sumpah bahwa ia akan menuruti semua permintaan L.     

Ia sudah senang karena L mau merawat Lily dan bahkan masih memikirkan untuk mengajaknya pindah bersama.     

Ia tidak akan merusak suasana dengan membuka identitasnya sekarang dan membuat L mengamuk karena London ternyata masih membohonginya. Ia akan mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu L siapa dirinya sebenarnya.     

"Hmm... bagus," L mendengus sambil menurunkan tangan London. "Aku akan meminta Pammy datang kemari malam ini, supaya besok ia sudah bisa mencarikan rumah yang sesuai dan mengurusi pembuatan ruang NICU di rumah untuk Lily..."     

London mengangguk senang. Hatinya berbunga-bunga.     

Ia terus menatap L dengan pandangan bahagia dan sepasang mata seperti anak anjing yang baru diberi hadiah tulang. Tatapannya yang hampir tidak berkedip membuat L menjadi canggung.     

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Risih, tahu..." omel gadis itu sambil menutupkan tangannya ke mata London. Pemuda itu hanya tersenyum lebar sambil memegang tangan L.     

London menurunkan tangan L dari matanya dan menaruhnya di dadanya.     

"Kau membuatku sangat bahagia. Aku akan ikut kemana pun kau ingin pindah. Selama kau tidak memisahkanku dari Lily, aku akan melakukan apa saja," katanya sungguh-sungguh. L hanya melengos dan mengalihkan pandangannya kepada Lily.     

"L..." London mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.     

"Hmm?" L tidak menoleh.     

"Aku mencintaimu..." bisik London dengan suara bahagia.     

L tidak menjawab.     

"Menikahlah denganku..." kata London lagi.     

Kali ini L menoleh dan kedua alisnya tampak mengerut. "Apa kau bilang?"     

"Menikahlah denganku..." London mengulangi kata-katanya tanpa ragu sedikit pun.     

L mengerucutkan bibirnya.     

"Seingatku kau sudah tiga kali melamarku, dan tidak sekalipun kau melakukannya dengan benar. Tidak ada bunga, tidak ada cincin, tidak juga bersimpuh di satu lutut... Hmph.... Dan kau masih heran kenapa aku tidak pernah menerima lamaranmu?" omel gadis itu.     

Sekali lagi London menyadari kesalahannya. L benar. Lamarannya yang terakhir malah begitu kacau; ia melakukannya saat sedang hangover akibat minum wine kebanyakan dan mereka berdua sedang telanjang.     

Tentu saja L selalu benar.     

Sekarang ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia mengaku mencintai L dan ingin menikahinya.. tetapi ia tak pernah benar-benar berupaya dengan serius untuk melamar gadis itu.     

Tentu saja L selalu menolaknya!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.