The Alchemists: Cinta Abadi

London - L - Lily



London - L - Lily

0Kamar pasien yang demikian besar telah diubah menjadi ruang NICU bagi bayi terbaru keluarga Schneider atas permintaan sang ayah. Di sana, hanya ada satu bayi yang mendapatkan perawatan mesin-mesin terbaik dan paling canggih di dunia bagi bayi prematur saat itu, yaitu Lily Schneider.     

London tidak ingin Lily ditaruh bersama bayi-bayi lain di ruang NICU biasa karena akan menyulitkan keluarganya untuk melihat sang bayi, tetapi ia juga tak ingin Lily ditaruh di ruang NICU sendirian karena ia takut anaknya akan kesepian.     

Ketika London tiba bersama para petugas medis yang mendorong tempat tidur berisi L ke dalam kamar perawatan itu, ia melihat tubuh kecil Lily telah dibaringkan di inkubator dengan semua alat penunjang kehidupan yang mengelilinginya.     

Semua organnya memang sudah terbentuk tetapi masih terlalu lemah untuk berfungsi normal. Bayi mungil itu bahkan masih harus dibantu untuk dapat bernapas dengan baik. Sepasang matanya masih ditutup dengan perban dan selang dimasukkan lewat hidungnya untuk bernapas.     

Pemandangan itu sungguh menyesakkan hati.     

London menghampiri inkubator dan mengamati tulisan yang terpasang di sana. Ada nama Lily, dan catatan panjang tubuhnya 24cm dan beratnya 700 gram.     

Kecil sekali, pikirnya dengan sedih.     

Bayi yang lahir normal biasanya berukuran antara 3 kg -3,5 kg dan panjangnya bisa mencapai 50 cm. Ia ingat saat menggendong keponakannya yang baru lahir, semuanya berukuran kecil karena mereka dilahirkan kembar, tetapi setidaknya ukuran mereka masih lebih dari dua kali lipat ukuran tubuh Lily.     

"Dia belum menangis?" tanyanya kepada Dokter Muller yang sedang membaca beberapa laporan medis yang diserahkan dokter lain. "Bukankah bayi seharusnya menangis begitu dilahirkan?"     

"Biasanya janin berusia 26 minggu memang sudah bisa menangis, tetapi bayi Tuan tidak mau menangis. Ini bukan masalah, kok. Dia sudah mengambil napas besarnya dan cairan di paru-parunya sudah keluar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Dokter Muller tersenyum menenangkan. "Sepertinya anak Anda lebih suka tidur daripada menangis. Anda sangat beruntung."     

London hanya mendesah mendengarnya. Ia sama sekali tidak merasa beruntung. Ia lebih suka melihat anaknya menjerit dan menangis, untuk memberi tanda bahwa ia hidup dan bahwa ia sehat.     

Melihat bayi yang demikian kecil, dipenuhi berbagai alat penunjang kehidupan dan berbaring diam tidak bergerak dan tidak bersuara, membuatnya sangat sedih. Ia mendengarkan semua penjelasan Dokter Muller dengan penuh perhatian.     

Walaupun sang dokter mengatakan bahwa harapan hidup untuk Lily sangat besar, ia tidak berdusta dan tetap berterus terang bahwa sang bayi akan perlu melanjutkan pertumbuhannya di luar rahim dalam inkubator selama paling tidak dua hingga tiga bulan.     

Banyak bayi yang lahir prematur bertahan hidup dan bisa sehat seperti anak-anak normal lainnya. Tetapi Lily termasuk bayi mikro-prematur, alias lebih muda dari tingkat prematur yaitu usia kehamilan 7,5 hingga 8,5 bulan.     

Walaupun seluruh organ tubuhnya telah tumbuh sempurna, peluang bayi mikro-prematur untuk selamat dan kemudian hidup sehat tanpa gangguan kesehatan atau cacat sangat kecil karena tubuh mereka saat dilahirkan masih terlalu lemah untuk dapat berfungsi sempurna.     

Bayi paling prematur di dunia yang masuk dalam sejarah adalah putri seorang wanita bernama Courtney Stensrud yang dilahirkan selamat dalam usia kehamilan 21 minggu  4 hari, atau empat setengah bulan, dengan berat tidak sampai 400 gram.     

Bayi ini disebut sebagai bayi ajaib, karena ia berhasil lahir dengan selamat dalam usia kandungan demikian muda. Peluang janin usia 21 minggu untuk lahir selamat sebelumnya hampir mendekati nol persen. Setelah menghabiskan masa perawatan di ruang NICU selama berbulan-bulan, bayi itu akhirnya dapat tumbuh normal tanpa ada kerusakan organ atau cacat sama sekali.     

London berharap Lily juga dapat menjadi pulih dan tumbuh sehat seperti sang bayi ajaib. Ia akan mengerahkan semua uang dan kekuasaan yang dimilikinya untuk memastikan Lily mendapatkan segala yang terbaik di dunia agar ia bisa tumbuh sehat. Pandangannya tampak sendu ketika ia menatap Lily hampir tanpa berkedip. Ia tidak lagi mendengarkan kata-kata Dokter Muller.     

"Baiklah... kami akan memberi Anda waktu tenang. Dokter Alice akan datang setengah jam lagi untuk memeriksa keadaan Nyonya dan mengajarkan beliau untuk mengeluarkan ASI-nya," kata Dokter Muller kemudian.     

Bayi prematur harus minum ASI agar tubuh mereka yang lemah dapat berkembang. Bahkan jika ibunya tidak dapat memberikan ASI, rumah sakit entah bagaimana caranya harus menemukan donor ASI untuk memberikan asupan ASI bagi sang bayi.     

Dokter Muller lalu permisi keluar, hanya tinggal dua orang perawat yang memeriksa semua peralatan dan mencatat berbagai bacaan di alat medis. Lima menit kemudian mereka juga minta diri dan meninggalkan London hanya bertiga dengan L dan Lily.     

L masih tidak sadarkan diri. London lalu duduk di kursi di samping tempat tidur dan memegang tangan gadis itu dengan perasaan tidak karuan. Ia tidak tahu tepatnya apa yang ia rasakan. Sedih, terharu, kuatir, dan takut...     

Ia sangat takut Lily tidak selamat dan kemudian L pergi meninggalkannya begitu saja.     

Entah kenapa ia merasa kalau sampai terjadi apa-apa dengan Lily, ia akan dihantam dengan kesedihan ganda. Kehilangan anaknya dan wanita yang ia cintai sekaligus. Ini sungguh merupakan pukulan yang tak akan dapat ditanggungnya.     

Air matanya mengalir pelan-pelan membayangkan kemungkinan terburuk itu.     

Entah kenapa saat ia menutup mata, wajah Lily yang mungil dan tidak menangis terlihat menari-nari di benaknya, membuat air matanya menetes semakin deras, kemudian tanpa disadarinya ia telah menangis sesenggukan sambil menangkupkan wajahnya di tangan L yang digenggamnya.     

Ia menangis terisak-isak selama lima menit, ketika kemudian tangan L bergerak pelan dan mengusap pipinya.     

"Uhm... kau sudah bangun?" London mengangkat wajahnya yang basah dan segera memasang senyum. Ia ingat, tidak boleh membuat L kuatir.     

"Kenapa menangis...?" tanya L dengan suara lemah.     

"Oh... ini..." London buru-buru menghapus air matanya. "Aku... aku terharu. Aku tidak menyangka... proses kelahiran itu sangat intense dan menegangkan... Kau sangat mengagumkan.."     

L mengerutkan keningnya. Ia mulai tahu kapan London berbohong dan kapan ia berkata jujur, tetapi kali ini ia sedang tidak ingin bertengkar. Dengan lembut tangan kanannya mengusap wajah pemuda itu dan menghapus air matanya.     

"Kau kelihatan jelek kalau menangis," komentar L dengan nada judes, tetapi wajahnya tersenyum tipis. Ia sangat terharu.     

"Hmm... aku jelek ya? Tidak apa-apa..." London membalas. Ia mencium tangan L dan mendekapnya di dadanya. "Kau masih merasa sakit?"     

L menggeleng. "Tidak. Semuanya terasa sangat lega. Aku tidak merasakan nyeri lagi di perutku. Hanya sedikit sakit di..."     

Ia tidak meneruskan kata-katanya. Wajahnya memerah. London buru-buru mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin membuat L malu.     

"Semua berjalan baik. Sebentar lagi Dokter Alice akan datang untuk mengajarimu mengeluarkan ASI, karena bayi prematur harus minum air susu ibunya agar mereka dapat tumbuh dengan lebih sehat..." Ia terdiam lagi. Ia dan L masih belum membicarakan apakah L akan pergi atau tidak setelah melahirkan Lily. Akhirnya London menarik napas panjang dan menatap L dengan pandangan memohon. "Perjanjian kita masih dua hari lagi.. Kau tidak akan pergi sebelum dua hari kita lewat, kan?"     

L balas menatapnya dan kemudian mengangguk. "Tidak..."     

London menghembuskan napas lega dan tersenyum. "Syukurlah..."     

Sebelum ia sempat berkata-kata lagi, pintu kamar telah diketuk dan masuklah Dokter Alice ke dalam ruangan.     

"Selamat sore, Tuan dan Nyonya. Saya senang melihat Nyonya sudah bangun dan sehat kembali. Saya akan membimbing Nyonya untuk mengeluarkan ASI, supaya baby Lily bisa segera minum." Ia tersenyum sangat ramah.     

"Aku keluar dulu kalau begitu..." London mengangguk kepada keduanya lalu berjalan keluar. Kalau L adalah istrinya, tentu ia akan tinggal di dalam untuk melihat bagaimana istrinya belajar memompa ASI dan menyusui, tetapi karena L bahkan tidak mau menikah dengannya setelah ia meminta berkali-kali, dengan tahu diri ia segera pergi.     

Ia sungguh berharap setelah L melihat bayinya, gadis itu akan berubah pikiran, insting keibuannya akan bangkit dan tidak mau berpisah dengan Lily.     

Ia berharap L akan jatuh cinta pada bayi mungilnya dan memutuskan untuk tinggal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.