The Alchemists: Cinta Abadi

Persalinan Yang Berat



Persalinan Yang Berat

3Finland tidak pernah membayangkan bahwa dalam waktu dua minggu saja, setelah menunggui kelahiran Aleksis, kini keluarganya akan kembali mengalami kelahiran bayi berikutnya.     

Ia dan Caspar baru mengetahui apa yang terjadi antara London dan L beberapa minggu yang lalu dan mereka sama sekali tidak siap. Saat ia sedang sibuk dengan pikiran itu, tiba-tiba saja London keluar dari kamar perawatan sambil menjerit bahwa L akan melahirkan.     

Semua segera otomatis bergerak mengejarnya ke ruang bersalin.     

Seandainya situasinya berbeda, Finland ingin sekali masuk ke dalam untuk membantu apa yang dapat ia bantu, sebagai ibu dari sang calon ayah yang pasti panik dan butuh ditenangkan.     

Sayangnya L akan curiga jika melihat kehadirannya di dalam ruang bersalin. Karena itu, dengan terpaksa ia hanya bisa duduk menunggu di lounge depan ruangan bersalin bersama yang lain.     

Caspar memeluk bahunya dan berusaha menenangkan istrinya. Ia jarang melihat Finland cemas dan hal itu membuatnya merasa tidak nyaman. Sejak mereka menikah, baginya kebahagiaan dan kesejahteraan keluarganya adalah prioritas utama hidupnya. Ia akan melakukan apa pun untuk menghilangkan raut kuatir atau cemas dari wajah-wajah mereka.     

"Sssh... dia sudah tahu apa yang mesti dilakukan..." kata Caspar pelan di telinga istrinya. Ia lalu duduk di salah satu sofa dan menarik Finland duduk di pangkuannya. "Kita tunggu saja. Aku juga cemas, tapi aku percaya obat dari Lauriel akan bekerja."     

Finland hanya menghela napas panjang. Ia membiarkan suaminya memeluk pinggangnya, sementara ia terus menatap arah pintu ruang bersalin dengan wajah cemas.     

Jan, Terry, dan Rune duduk bersama-sama dengan penampilan kusut. Mereka juga sama kuatirnya akan nasib calon keponakan baru mereka. Sementara itu Aldebar dan Lauriel bercakap-cakap pelan di sudut ruangan.     

***     

Di dalam ruang bersalin, London berusaha setengah mati menguatkan hatinya dan tampil tenang di depan L. Gadis itu tak henti-hentinya menangis, menjerit, dan merutuk, bahkan beberapa kali mencakarnya karena rasa sakit teramat sangat yang diakibatkan oleh cairan induksi tadi.      

Perutnya terasa nyeri luar biasa, seperti ada tangan raksasa yang meremas isi perutnya tanpa ampun. Rasa nyeri itu semakin lama datang dalam interval semakin cepat dan semakin sakit.     

"Aku... aku tidak tahan lagi..."  tangisnya berkali-kali. Wajahnya mengernyit dan ia mengigit bibirnya berusaha menahan nyeri. Tangannya mencakar lengan London yang berusaha memegang tangannya.     

"Sedikit lagi, Nyonya... bukaannya sudah mulai besar. Sekarang kita ada di bukaan lima. Nyonya ikuti petunjuk saja dan atur napas..." perintah Dokter Muller dengan suara tenang. Ia sempat mengerutkan kening karena pasien yang jantungnya lemah ini ternyata tidak pingsan setelah mencapai tingkat nyeri demikian tinggi.     

Ia memberi contoh bagaimana L harus mengatur napasnya dan membimbing gadis itu untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit dengan memikirkan hal-hal positif dan indah.     

"Tarik napas..... dan sekarang keluarkan... Tarik lagi...."     

London terus menggenggam tangan L dan berpura-pura tenang di depan gadis itu. Dengan tangan kirinya ia mengusap peluh yang membanjiri wajah L.     

"Sedikit lagi...." Ia terus-menerus menyemangati L. "Pikirkan hal-hal indah... apa yang kau inginkan di dunia ini?"     

L menarik napas dan membuangnya pelan-pelan. Kontraksinya baru saja berakhir, dan untuk sesaat ia bisa beristirahat. Gadis itu menoleh ke arah London dengan mata basah dan wajah kusut.     

"Aku... aku ingin hidup..." bisiknya pelan. Tenaganya sudah hampir habis.     

"Sudah memasuki bukaan tujuh..." kata Dokter Muller. Ia memberi tanda kepada perawat untuk menambah cairan induksi. "Tambah dosisnya, agar bukaan segera mencapai bukaan sepuluh. Tenaga pasien sudah hampir habis."     

Perawat dengan trampil melaksanakan perintah dokter.     

Lima menit kemudian segera terdengar jeritan membelah langit ketika L merasakan cairan induksinya bekerja dan seluruh perutnya dan bagian bawah perut seperti dipukuli dan diremas tangan raksasa.     

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhh..." L menggeliat dan meringkuk berusaha sekuat mungkin menahan rasa sakit di tubuhnya dengan air mata bercucuran.     

London ikut menitikkan air mata karena tidak tahu harus berbuat apa untuk meredakan rasa sakit yang dialami wanita yang sedang melahirkan anaknya ke dunia ini. Ia menoleh ke arah Dokter Muller dengan sepasang mata yang sudah putus asa.     

"Tidak bisakah dia diberikan pereda nyeri? Aku tidak tega melihatnya..." desaknya kepada Dokter Muller. "Dia bisa pingsan..."     

Dokter Muller hanya menggeleng. "Bukaannya sekarang sudah lengkap, Nyonya tinggal mendorong bayinya keluar. Epidural termasuk daftar anestesia yang membuat Nyonya alergi.. Kita tidak bisa mengambil risiko."     

Melihat kondisi L yang sangat menyedihkan, dengan jeritan dan tangisannya yang tanpa henti, London menjadi sangat sedih. Ia tahu bahwa melahirkan adalah perjuangan hidup dan mati bagi wanita, tetapi menyaksikan sendiri wanita yang ia cintai mengalaminya, sungguh membuatnya seolah ikut merasakan sakit itu sendiri.     

Ia teringat dua minggu lalu kakak iparnya, Alaric, sempat mengomel bahwa di tahun 2050, di saat semua teknologi sudah menjadi demkian maju, wanita tetap masih harus merasakan sakit melahirkan.     

Seolah kaum perempuan dikutuk untuk mengalami rasa sakit yang menurut ilmuwan setara dengan mengalami 20 tulang dipatahkan, hanya demi meneruskan keturunan manusia di bumi.     

Ia sekarang mengerti, mengapa semakin sedikit perempuan yang bersedia melahirkan anak di zaman modern ini. Walaupun sudah ada berbagai teknik melahirkan dan operasi untuk mengeluarkan bayi dari rahim, tetap saja akan ada rasa sakit yang dialami oleh sang ibu.     

Ia hanya bisa menatap L dengan penuh penghormatan dan kasih sayang yang tak berdasar. Gadis yang masih berusia 19 tahun dan mengalami hidup yang keras ini, tidak menggugurkan bayinya, saat ia mengetahui dirinya hamil akibat kejahatan orang lain. Walaupun ia tidak ingin hamil dan punya anak, namun L mempertahankannya hingga saat terakhir...     

Dan kini ia harus berjuang melawan rasa nyeri yang luar biasa dengan kondisi jantungnya yang lemah dan tanpa pereda nyeri...     

Sungguh London merasakan hormat setinggi-tingginya kepada wanita judes menyebalkan yang sudah mengisi hatinya tanpa menyisakan sedikit pun ruang untuk orang lain ini...     

Ia meremas tangan L dan ikut menangis bersamanya.     

"Yang kuat, Sayang... L... aku akan terus bersamamu di sini.. Kata dokter bukaannya sudah lengkap.. Kau tinggal mendorong yang kuat... dan kita akan segera bertemu Lily..." bisiknya ke telinga L. Ia telah duduk bersimpuh dan menaruh tangan L di dadanya.     

L menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah dan mengangguk. Ia memejamkan mata dan mengikuti perintah dokter untuk menarik napas, mengeluarkan napas, menarik napas...     

"Tarik yang panjang.... dan sekarang... keluarkan napas sambil mendorong sekuat tenaga!!"     

Dengan mata terpejam dan bibir berdarah, serta air mata membasahi wajah dan rambutnya, L mendorong sekuat tenaga untuk terakhir kalinya.      

Aaahhhhhhhhhh... jeritan L terdengar melengking tinggi, sebelum kemudian hening.     

"Kepalanya sudah keluar... bahunya sudah keluar...." Dokter Muller cepat menarik tubuh sesosok bayi sangat kecil dari antara dua kaki L yang terentang dan cepat-cepat ia menaruhnya di meja bayi.     

London bingung antara mendatangi bayinya atau tetap bersama L karena gadis itu pingsan setelah mengerahkan tenaganya untuk terakhir kali.     

"Tuan... Anda mau melihat anak Anda? Anak Anda perempuan," ucapan Dokter Muller seketika membuatnya tergugah. Ia bangkit berdiri dan menghampiri meja tempat Lily dibaringkan.     

Ia hanya bisa terpaku seperti orang bodoh melihat bayi perempuannya, yang telah ia nantikan kehadirannya selama berbulan-bulan. Bayi ini sangat mungil dan tampak bersih, tidak seperti bayi-bayi lain yang dilihatnya di buku, terlihat dipenuhi cairan lengket dan seperti anak monyet keriput. Lily memang terlihat keriput, tapi sama sekali tidak seperti anak monyet, pikirnya.     

Ahh... anakku memang istimewa.     

"Karena bayi Anda prematur, kita tidak langsung memotong tali pusarnya sekarang agar tubuhnya masih mendapatkan manfaat dari plasenta. Kita tunggu beberapa menit lagi..." kata Dokter Muller menjelaskan. Ia lalu menaruh Lily di dada ibunya yang pingsan dan bayi kecil itu segera meringkuk di atas tubuh ibunya. Semua gerakannya sangat halus dan pelan.     

Bayi itu masih terlalu kecil dan lemah. Matanya masih terpejam dan jantungnya yang baru saja terbentuk sempurna hanya bisa memompa dengan sangat pelan. London berharap Lily tidak mengalami kerusakan organ karena dilahirkan terlalu dini. Sejauh ini ia melihat seluruh anggota tubuhnya sudah berkembang dengan baik.     

Berkali-kali ia mengusap matanya yang basah. Ketika dokter akhirnya menyerahkan gunting untuk memotong tali pusar anaknya, London menerimanya dengan gemetar. Setelah tali pusar dipotong dan Lily dibungkus kain, ia segera dimasukkan ke dalam inkubator bagi bayi prematur.     

"Kami akan membawa bayi Tuan ke kamar perawatan dengan inkubatornya, sehingga nanti Tuan dan Nyonya bisa melihatnya. Sekarang biar perawat membersihkan Nyonya." Dokter Muller memberi tanda dan seorang perawat segera mendorong kereta berisi inkubator Lily keluar, sementara dua perawat lainnya bergerak untuk membersihkan L dan membereskan ruang bersalin.     

London mengangguk. Ia keluar dan membersihkan diri serta berganti pakaian lalu segera menunggu di lorong depan pintu ruang bersalin. Begitu tempat tidur dorong yang membawa L keluar, ia segera menyambutnya. Saat tempat tidur itu didorong kembali ke kamar rawat, ia ikut berjalan mengiringi, sambil tangannya tidak lepas menggenggam tangan L yang masih pingsan.     

Setelah menyaksikan sendiri bagaimana beratnya proses persalinan barusan, London menjadi teringat akan ibunya sendiri. Ia membuat catatan mental untuk nanti mendatangi ibunya dan mengucapkan terima kasih, karena sudah melahirkannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.