The Alchemists: Cinta Abadi

Sarapan Di Kamar



Sarapan Di Kamar

1Lauriel mengerti isi hati London. Ia kehilangan gadis yang ia cintai karena meninggal saat melahirkan. Lebih daripada kesedihannya sendiri, ia tahu betapa anaknya Alaric hidup dalam kebencian terhadap dirinya sendiri selama hampir seratus tahun karena kelahirannya yang menyebabkan kematian ibunya.     

Ia tidak mau siapa pun mengalami apa yang ia dan anak-anaknya alami, karena itulah ia dengan segenap hati ini membantu London dan anaknya.     

Sebagai ahli obat-obatan yang sudah berpengalaman selama ratusan tahun dan mengetahui begitu banyak tanaman ajaib yang memiliki khasiat Lauriel banyak menyimpan pengetahuan tentang cara-cara terbaik untuk menyembuhkan penyakit manusia, bahkan Caspar, seorang dokter modern sangat menghormati pengetahuan Lauriel ini dan tidak pernah merasa dirinya lebih mampu.     

Lauriel mengangguk dengan penuh kesungguhan. "Aku perlu waktu beberapa jam untuk menyiapkan obatnya."     

"Aku bisa menemani Paman mencari bahan obat ke mana saja, biar cepat..." kata London, suaranya terdengar penuh harap.     

"Tidak usah. Kau temani saja dia di dalam dan pastikan dia merasa lebih tenang. Sikap diri yang positif punya dampak sangat besar dalam proses penyembuhan seseorang. Aku bisa mencari sendiri semua bahan yang kubutuhkan," jawab Lauriel.     

"Aku ikut, Paman." Rune buru-buru bangkit dari sofa dan mengambil jaketnya. "Aku senang belajar obat baru."     

"Baiklah." Lauriel memberi tanda kepada Rune dan pemuda itu segera berjalan mengikutinya.     

"Kami pergi sebentar. Kalian sebaiknya sarapan dulu, biar tidak ada yang jatuh sakit karena kelelahan..." perintah Lauriel kepada semuanya.     

Ia lalu berjalan keluar bersama Rune. Mereka berbincang-bincang sedikit tentang diagnosis L dan bagaimana pendapat Lauriel tentang pengobatan terbaik untuknya.     

London hanya minum kopi dan memutuskan kembali masuk ke ruang L dirawat. Orangtuanya membiarkan ia mengurusi L dan anaknya, sementara mereka sarapan bersama Terry, Aldebar, dan Jan. Dalam hati Finland bangga karena anak lelakinya tumbuh menjadi pria yang baik dan bertanggung jawab. Ia berharap L dapat melihat ketulusan London dan dedikasinya selama ini dan mau berubah pikiran.     

Walaupun L sudah bertunangan dengan Danny Swan, bukankah orang yang sudah menikah sekalipun dapat bercerai? Apalagi hanya bertunangan. Akan lebih baik jika Lily tumbuh dengan orang tua yang lengkap, pikirnya.     

Finland membiarkan London melakukan apa yang dianggapnya baik, berkenaan dengan nasib L dan anaknya. Di meja makan, keluarga Schneider hanya menikmati sarapan dalam diam. Tidak banyak yang dapat dibicarakan selama kondisi L dan Lily masih belum membaik.     

***     

Ketika London masuk ke kamar L, ia melihat perawat baru datang dan membawakan sarapan untuk gadis itu. Walaupun L mendapatkan asupan nutrisi lewat infus tetapi gadis itu tetap merasa lapar dan meminta dibawakan makanan.     

"Sini aku saja yang membawakan," London buru-buru menerima nampan dari  tangan perawat dan menaruhnya dengan hati-hati di meja samping tempat tidur. Ia lalu duduk di tepi pembaringan dan meremas tangan L. Mata gadis itu yang tertutup kemudian membuka pelan-pelan.     

"Hmmm..." gumamnya dengan suara tidak jelas saat melihat London sudah kembali di sampingnya.     

"Perawat sudah membawakan makanan. Ayo kusuapi... " kata London. Ia meminta perawat untuk membantunya dan perawat itu segera memencet tombol untuk mengatur agar tempat tidur L bergerak sedikit ke atas, sehingga posisi tubuh gadis itu menjadi sedikit duduk.     

Bibir L terbuka sedikit seolah hendak mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya ia tidak jadi buka suara.     

Ia hanya mengangguk dan tidak protes ketika London mengambil sesuap bubur dan mengangkat sendok ke depan bibirnya. Dengan patuh gadis itu membuka mulutnya dan memakan apa pun yang London berikan kepadanya.     

Suapan pertama dimakan dengan sangat pelan. London dengan sabar kembali menyuapkan bubur dan L menerimanya tanpa berkata apa-apa. Demikian juga suapan ketiga dan seterusnya.     

"Terima kasih..." kata London pelan sambil mengusap sedikit bekas bubur di pinggir bibir L setelah gadis itu selesai memakan buburnya.     

L mengangkat alisnya keheranan. "Kenapa kau yang berterima kasih? Seharusnya aku yang berkata begitu..."     

London menggeleng. "Aku berterima kasih karena kau tidak menyusahkan. Mengurusimu sangat mudah dan menyenangkan..."     

Ia tersenyum simpul dan membereskan mangkuk berisi bubur lalu mengupas apel.     

"Kau.. " L tampak tertegun mendengar kata-kata London yang diucapkannya dengan begitu ringan. Ia merasa selalu membuat susah semua orang sejak ia kecil karena penyakitnya. Itu sebabnya ia bertekad untuk segera mandiri agar bisa mengurusi dirinya sendiri begitu ia mampu.     

Saat ia memperoleh pekerjaan sebagai penyanyi dan dapat menghasilkan uang sendiri ia segera keluar dari panti asuhan. Ia lalu bekerja sekuat tenaga mencari nama dan mengikuti berbagai lomba menyanyi dan segala audisi untuk mendapatkan kesempatan tampil dan menghasilkan banyak uang.     

Kariernya sekarang, dan popularitasnya yang sudah meroket, adalah hasil kerja kerasnya selama tiga tahun, dan dengan tidak tahu malu mendekatkan diri kepada orang-orang penting dan mencari dukungan dan peluang dari orang-orang yang berpengaruh.     

Ia tidak peduli akan anggapan para artis lain yang membencinya karena ia memiliki banyak penggemar, dan reputasinya sebagai gadis materialistis tidak pernah membuatnya malu. Ia hanya bersikap jujur tentang keinginannya. Ia bukan gadis sok suci yang pura-pura tampil sederhana dan lugu tetapi menusuk orang dari belakang.     

Tetapi kini... pemuda sederhana yang menyebalkan itu mengatakan ia tidak menyusahkan dan sangat menyenangkan untuk diurus..?     

Tanpa terasa setitik air mata menetes jatuh ke pipi L saat ia menatap tangan London yang dengan cekatan sedang mengupas apel untuknya. Ia buru-buru menghapus air matanya ketika London menghadap ke arahnya dengan senyum lebar mengunjukkan piring berisi irisan-irisan apel.     

"Ini apel untukmu!" Ia mengambil satu iris dan menyuapkannya ke mulut L yang menatapnya dengan tanpa berkedip. "Heii.. kok melihatku begitu? Ada yang aneh di wajahku?"     

L menggeleng. Ia menggigit apel itu dan mengunyahnya pelan-pelan. London tersenyum semakin lebar. Ia senang melihat walaupun sedang sakit nampaknya selera makan L masih tetap baik.     

Ah, ia ingat. L akhir-akhir ini memang makan banyak sekali. Ini pasti karena kehamilannya yang sudah besar dan anak mereka membutuhkan sangat banyak asupan nutrisi.     

Lily pasti makannya banyak sekali, pikir London.     

Ia melihat walaupun L makan banyak, tetapi hingga kini tubuhnya masih termasuk langsing untuk seorang perempuan yang sedang hamil 6,5 bulan.     

Hanya perutnya yang membesar dengan kentara. Wajahnya, tangan dan kakinya hanya terlihat sedikit chubby... dan justru membuatnya tambah menggemaskan.     

"Kalau semua apelnya sudah habis, aku masih ada pudding dan kue-kue," kata London kemudian. Ia sudah menyuapkan sebagian besar irisan apel di piring, hanya tersisa dua irisan lagi.     

L hanya mengangguk.      

"Ahh.. ini tandanya kau mau pudding atau kue? Atau dua-duanya?"     

L mengangguk lagi.     

"Oh..." London tidak tahu apa arti anggukan L. Akhirnya ia menyuapkan pudding dulu. L menerimanya dengan wajah tersenyum.     

Astaga... London hampir terpaku karena ia tidak ingat kapan terakhir kalinya melihat gadis itu tersenyum. Sepertinya suasana hati L sudah sangat membaik! Ia hampir melompat dengan sukacita. Untungnya ia mampu menahan diri.     

Setelah pudding habis ternyata L masih mau memakan tiga buah kue. London sampai takjub melihat hampir semua makan di nampan telah habis dan berpindah ke perut gadis itu.     

"Uhmm... aku tidak tahu kau bisa makan sebanyak ini," katanya pelan sambil menggaruk kepalanya keheranan. "Apakah selama ini aku kurang memberimu makan?"     

L hari ini makan jauh lebih banyak dari biasanya. Sekarang London justru menjadi takut jangan-jangan selama ini ia kurang menyiapkan makanan dan L harus menahan diri di depannya dan tidak meminta tambah karena merasa malu.     

"Tidak, kau pikir aku ini sapi yang sedang digemukkan untuk dipotong?" seketika senyum L menghilang diganti omelannya yang khas kalau judesnya kepada London sedang kumat. "Pagi ini aku sangat lapar karena aku belum makan dari kemarin siang. Kau lupa, ya?"     

"Oh.. iya, itu benar. Maafkan aku." London menghembuskan napas lega.     

Syukurlah, ternyata selama ini ia tidak kurang memberi L makan.     

Ia meremas tangan gadis itu saking senangnya lalu membereskan nampan makanan sambil bersiul-siul dan menyerahkannya kepada perawat yang dari hanya diam di sudut dan berpura-pura tidak melihat interaksi di antara sang pasien dan bos besar Schneider Group yang tampan itu, dan hanya bisa mengigit jari melihat betapa London Schneider dengan telaten dan penuh kasih sayang meladeni sang artis yang sering dilihatnya di televisi.     

Duh... seandainya ia tidak diwanti-wanti oleh atasannya untuk menjaga kerahasiaan pasien, ia sudah menyebarkan gosip tentang hubungan kedua orang ini dan betapa romantisnya mereka.     

"Eh... kenapa bengong?" London harus melambaikan tangannya beberapa kali ke muka sang perawat untuk mendapatkan perhatiannya. "Tolong nampannya dibawa keluar."     

"Eh... i... iya, baik, Tuan." Perawat itu segera tergugah dan dengan wajah malu segera mengambil nampan dari tangan London dan keluar ruangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.