The Alchemists: Cinta Abadi

Jangan Lupa Bernapas



Jangan Lupa Bernapas

3Setelah keadaan L stabil dan dipindahkan ke ruang ICU, London dan Jan diperkenankan untuk masuk ke dalam dan menjenguk gadis itu. Dengan tahu diri Jan membiarkan London masuk sendirian. Pemuda itu harus mengenakan pakaian rumah sakit steril sebelum ia diperbolehkan masuk.      

"Tuan bisa sekalian beristirahat di dalam dan menemani Nyonya. Tempat tidurnya berukuran besar," kata Dokter Muller sambil mempersilakan London masuk.     

London sama sekali tidak berniat mengoreksi sang dokter. Orang-orang di rumah sakit memang mengira L adalah istrinya karena mereka tahu bahwa bayi dalam kandungannya yang harus mereka selamatkan itu adalah seorang Schneider.     

"Tuan silakan masuk. Aku sudah menyiapkan semuanya, Tuan tidak usah kuatir," Jan tersenyum menenangkan. London tahu asistennya itu sangat dapat diandalkan, karenanya ia mengikuti kata-kata Jan.     

Di dalam ruangan perawatan yang demikian megah, L terbaring lemah di tempat tidur besar dengan beberapa selang yang terhubung ke mesin, membantunya bernapas, memberikan obat dan asupan cairan serta makanan, dan mempertahankan agar bayinya tetap di dalam kandungan selama mungkin.     

L masih tidak sadarkan diri. Dengan lunglai London duduk di samping tempat tidur dan menggenggam tangan L dengan haru. Ia belum pernah merasa setakut malam ini. Ia sangat takut Lily atau L meninggal.     

Perasaan demikian tidak berdaya, tanpa mampu melakukan apa pun saat orang yang dikasihi sedang berjuang menghadapi maut, adalah perasaan paling mengerikan di dunia. Ia tidak tahu mengapa situasi bisa berubah demikian cepat dan keadaan menjadi berbalik tanpa terduga sama sekali.     

Baru kemarin ia pulang dari Singapura dan hubungannya dengan L membaik. Tetapi keesokan harinya semua menjadi kacau hanya karena L memergoki London selama ini mengawasinya. Ia juga masih dibuat bingung dengan identitas L sebenarnya. Mengapa ia sepertinya memiliki hubungan cukup dekat dengan Danny Swan? Mengapa pemuda itu memanggilnya Marianne?     

Tadi selama menunggu di luar, ia telah mendiskusikan semuanya dengan Jan dan meminta asistennya itu untuk mencari tahu informasi lebih mendetail tentang masa lalu L sebenarnya.      

"Sebenarnya aku sudah menemukan di mana Danny berada," kata Jan tadi. "Ia menggunakan koneksi keluarganya dan menghubungi semua rumah sakit di Berlin untuk mencari keberadaan Nona L. Ia juga sudah menghubungi polisi. Pihak Rumah Sakit Metropole masih merahasiakan keberadaan Nona L di sini, tetapi keluarga Swan sangat keras kepala. Mereka memaksa memeriksa sendiri satu demi satu rumah sakit bersama polisi."     

"Jan... masa itu saja kau tidak bisa urus?" tanya London dengan nada suara kesal. Kesabarannya hari ini sangat tipis karena pikirannya sibuk memikirkan nasib L.     

"Tenang saja, Tuan. Ini sudah diurus, tetapi masalahnya adalah kalau hal ini terus dibiarkan, dalam waktu beberapa hari kemungkinan mereka akan bisa menduga bahwa keluarga Schneider ada di belakang semua ini. Aku hanya ingin Tuan tahu dari sekarang dan mempersiapkan diri," kata Jan dengan tenang.     

"Aku tidak peduli. Biar mereka tahu, aku, London Schneider, yang selama ini melindungi L dan akan terus memastikan kesejahteraannya. Biar kita lihat apakah mereka masih akan keras kepala kalau mengetahui yang sebenarnya."     

"Baik, Tuan."     

Jan sibuk semalaman itu, berkoordinasi dengan humas, orang dari bagian keamanan, dan terus berhubungan dengan Finland dan mengabari perkembangan yang terjadi di rumah sakit. Ia bisa mendengar kecemasan pada wajah dan suara semua anggota keluarga Schneider yang berbicara dengannya.     

Sementara itu, di dalam ruang ICU, London masih duduk di tepi tempat tidur sambil menggenggam tangan L. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandangi wajah pucat gadis itu yang tampak sangat memilukan hati. Ia beberapa kali juga membelai perut L seolah memberi semangat kepada Lily untuk tetap bertahan.     

Pukul dua pagi tiba-tiba ia merasa tangannya diremas dan London segera bangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Kepalanya ditangkupkan di atas lengan kirinya, sementara tangan kanannya masih menggenggam tangan L.     

London buru-buru mengangkat wajahnya dan memandang L. Ternyata gadis itu baru membuka matanya dan tampak kebingungan.     

"Di.. di mana ini?" tanya gadis itu dengan suara sangat lemah.     

"Uhm... di rumah sakit." London buru-buru memperbaiki sikap duduknya dan berusaha memasang wajah tersenyum. "Kau baik-baik saja, tapi tadi kau sempat membuatku takut."     

L menatapnya dengan wajah penuh pertanyaan. "Takut... kenapa?"     

"Aku tidak tahu kau punya penyakit jantung..." London berkata lirih. "Kenapa tidak bilang kepada dokter kandunganmu? Kau juga alergi anestesi... Untung dokter belum sempat mengambil tindakan operasi."     

"Hmm... " L tidak menjawab. Ia hanya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Wajahnya tampak terkejut melihat betapa besar dan mewah kamarnya. Ia lalu menoleh kepada London dengan wajah bingung. "Di mana Danny? Dia yang membawaku ke sini, kan?"     

London menggeleng. Ia sangat benci mendengar nama Danny disebut, tetapi ia sadar saat ini ia tidak boleh membuat L bertambah stress.     

"Rumah sakit ini adalah fasilitas oleh Schneider Group..." kata London. "Pemiliknya sendiri yang memastikan kau mendapat perawatan terbaik."     

Mendengarnya, seketika wajah L seperti dipenuhi horor. "Oh, Tuhan! Kalau begitu mereka tahu! Mereka tahu kehamilanku... Aku pasti akan kehilangan karierku...."     

Air matanya mengalir deras dan ia tampak sangat kuatir. London buru-buru duduk di sampingnya dan berusaha menenangkannya.     

"Ssshh... tidak apa-apa. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Kau ingat London Schneider pernah memberimu bunga sangat besar? Ia adalah penggemarmu nomor satu. Ia tidak peduli dengan kehamilanmu, masa lalumu, dengan apa pun... Ia hanya berharap kau bisa sehat kembali." London menatap L dengan sungguh-sungguh. "Ia meminta secara pribadi... agar kau berjuang untuk pulih."     

L menatap mata London dalam-dalam, dan wajahnya yang tadi kuatir, perlahan-lahan mulai terlihat tenang. Ia lalu berusaha duduk tetapi pemuda itu mencegahnnya.     

"Aku mau melihat keadaanku..." cetus L dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Aku tidak bisa merasakan bayiku..."     

"Dia tidak apa-apa..." London berbohong. "Dokter hanya menyuruhmu untuk bedrest. Sekarang sudah lewat tengah malam. Ayo, tidur lagi... aku akan menemanimu."     

L mengerutkan bibirnya dan menatap London dengan sorot mata kecewa. Ia sudah ingat mengapa ia bisa berakhir di rumah sakit seperti ini. Ia mengetahui bahwa selama ini London ternyata memata-matainya, bahkan memasang kamera di apartemen mereka.     

"Aku belum memaafkanmu karena kau memata-mataiku dan membohongiku..." desis gadis itu.     

London mengangguk. "Aku tahu. Kita bicarakan besok saja, ya? Sekarang kau harus beristirahat, agar Lily juga bisa beristirahat. Kalau kau sudah sembuh, aku akan membiarkanmu memarahiku sesuka hatimu. Aku mengaku salah. Aku akan melakukan apa pun yang kau ingin agar aku lakukan untuk menebus perbuatanku."     

Kata-katanya yang diucapkan dengan tulus akhirnya mampu menggerakkan hati L dan pelan-pelan gadis itu memejamkan matanya.     

London masih menggenggam tangan L dengan tangan kanannya. Setelah melihat L berusaha tidur, ia kembali menaruh kepalanya di lengan kirinya dan berusaha tidur sambil duduk di sofa dengan kepalanya di tempat tidur.     

Tiba-tiba L membuka matanya kembali dan menatapnya dengan pandangan sendu. "Aku takut..."     

London mengangkat kepalanya dan kembali duduk tegak. "Takut kenapa?"     

L tidak menjawab. Ia mengeratkan pegangan tangannya pada tangan London. "Aku tidak bisa tidur..."     

London melihat sisi sebelah L di tempat tidur rumah sakit yang besar itu, lalu mencoba mengajukan permintaan gila. Ia tidak tahu apakah pemintaannya itu akan membuat L mengusirnya atau tidak, tetapi ia harus mencoba.     

"Aku boleh memelukmu?" tanyanya kemudian.     

L mengangguk pelan, ia kembali memejamkan mata. London segera menarik napas lega. Ia kemudian melepas sepatunya lalu naik ke tempat tidur dan berbaring di samping L. Perlahan-lahan ia mengulurkan tangannya dan memeluk perut L dari samping.     

Napasnya seakan berhenti begitu saja, ketika L berbalik ke arahnya dan menaruh kepalanya di dada London yang bidang. Pemuda itu hampir tidak berani bernapas.     

"Hmm.. " L membuka sebelah matanya dan mengerutkan kening. "Jangan lupa bernapas. Kau tidak boleh mati duluan sebelum aku."     

London mengangguk pelan dan mulai bernapas dengan hati-hati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.