The Alchemists: Cinta Abadi

Kondisi L yang Mencemaskan



Kondisi L yang Mencemaskan

3Jan yang sedang rapat dengan tim kecilnya langsung kalang kabut mendengar isi telepon singkat London. Ia buru-buru membubarkan rapat dan mengusir semua orang keluar. Dalam waktu satu menit saja ia telah menghubungi semua orang yang diperlukan.     

Alex yang selalu dapat diandalkannya sudah melacak keberadaan London dalam waktu tiga menit saja dan segera mengatur semua lampu lalu lintas dari tempatnya berada hingga di rumah sakit agar perjalanan London tidak terhenti sama sekali oleh lampu merah.     

Pimpinan Rumah Sakit Berlin Metropole, milik Schneider Group, sudah dihubungi Jan dan buru-buru memerintahkan tiga dokter utama dan beberapa perawat menunggu di pintu masuk rumah sakit dan menyiapkan ruang operasi.     

Semua bekerja secepat mungkin karena Jan dengan tegas mengatakan bahwa seorang keturunan keluarga Schneider menjadi taruhannya.     

Suasana di rumah sakit seketika menjadi tegang dan sibuk. Sayap Timur rumah sakit buru-buru dipersiapkan untuk menyambut kedatangan pasien VVIP yang tiba-tiba ini.     

London tiba di rumah sakit dalam waktu sepuluh menit. Ia menyadari Jan sudah mengatur agar perjalanannya tanpa hambatan karena dari tadi semua lampu lalu lintas secara ajaib menjadi hijau. Dalam hati ia membuat catatan mental untuk memberi bonus yang banyak atau liburan satu bulan kepada asisten kepercayaannya itu.     

Hmmm.. mungkin bonus yang sangat banyak saja... London tahu ia yang akan kelimpungan jika Jan meninggalkannya untuk liburan satu bulan.     

Oke, baiklah, Jan layak mendapat bonus dan libur, pikirnya lagi. Tapi mungkin tiga hari saja.     

Baik. Bonus setahun gaji dan libur tiga hari, ia memutuskan akhirnya.     

Setibanya ia di rumah sakit, serombongan petugas medis sudah menunggu kedatangannya. London keluar dari mobil dan dengan cemas mengawasi mereka mengambil L dari bangku belakang mobil dan membawa gadis itu ke dalam ruang operasi.     

"Dia punya penyakit jantung," London buru-buru menjelaskan. "Pokoknya kalian harus memeriksa semuanya, jangan ada yang kelewatan. Selamatkan dia! Selamatkan bayinya!"     

Biasanya dokter akan meminta pihak keluarga untuk menandatangani surat persetujuan tindakan, tetapi karena ini adalah London Schneider dan mereka juga tidak bisa menemukan keluarga L, maka mereka segera melakukan tindakan sesuai permintaannya.     

Jan tiba sepuluh menit kemudian. Ia berlari tergesa-gesa di lorong rumah sakit menuju ruang operasi tempat L sedang diselamatkan oleh para dokter. Ia melihat London sedang duduk lemas di sofa sambil menangkupkan wajahnya di kedua tangannya, seolah berdoa agar L selamat, juga anak dalam kandungannya.     

Jan hanya menyentuh bahu bosnya pelan, untuk memberi tahu kehadirannya, tanpa bertanya macam-macam. Ia tahu di saat seperti ini akan lebih baik jika ia menunggu dan tidak mengganggu London dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu.     

Merasakan sentuhan di bahunya, London mengangkat wajahnya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya tampak sangat kuyu.     

"Usia kandungannya baru 6,5 bulan..." bisiknya kalut. "Seharusnya kalau ketubannya tidak pecah dokter masih bisa mempertahankan kehamilannya. L akan disuruh bedrest selama beberapa bulan sampai usia kandungannnya cukup dan baru ia akan dibantu untuk melahirkan normal. Tetapi... tanpa air ketuban, bayinya tidak bisa dipertahankan di dalam lebih lama..."     

Jan mengangguk beberapa kali, menunjukkan bahwa ia mengerti apa yang menjadi taruhannya. Seorang bayi bisa dilahirkan secara prematur kalau semua anggota tubuhnya sudah lengkap.     

Ia pernah membaca kasus bayi berumur enam bulan dalam kandungan yang dilahirkan prematur dan berhasil selamat, tetapi hal itu adalah suatu keajaiban. Bahkan bayi prematur delapan bulan saja sangat banyak yang tidak berhasil bertahan hidup... apa lagi hanya 6,5 bulan.     

Kemungkinannya selamat sangat kecil.     

Dada Jan ikut merasa sesak, seolah anaknyalah yang sedang berjuang menghadapi maut.     

Bagaimanapun, Jan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan London. Ia juga sudah terlibat dalam kehidupan janin itu sejak pertama kali London memberitahunya tentang kehamilan L. Ia juga yang turut membantu dan memastikan semua tentang bayi itu berjalan dengan semestinya, dan ia juga sudah menanti-nantikan kelahiran Lily ke dunia ini.     

Kesedihan yang dirasakannya tidak jauh berbeda dengan kesedihan London. Mereka berdua duduk menunggu dengan kuatir. Setelah lima belas menit, akhirnya Jan yang cemas bangkit berdiri dan mencari dokter untuk menanyakan perkembangan situasi di ruang operasi.     

Seorang dokter yang menunggu di ruang monitor bersedia menjawab semua pertanyaannya, karena bagaimanapun Jan adalah orang penting di Schneider Group.     

"Kami masih berusaha menahan bayi selama mungkin di dalam kandungan dengan terus-menerus memberikan air ketuban sintetis, kami tidak bisa mengeluarkannya dengan operasi Caesar karena kondisi sang ibu. Kami kuatir jantungnya terlalu lemah dan dapat mengakibatkan kematiannya. Saat ini kami berusaha menunggu nona L pulih dulu. Setelah ia cukup kuat, kami baru bisa menginduksinya dan membantu kelahiran normal secara paksa. Nona L juga ternyata alergi pada anestesi... kami tak bisa mengoperasinya."     

Jan tertegun mendengar keterangan sang dokter yang sungguh mematahkan hati.     

"Berapa lama kalian bisa menunggu?" tanyanya dengan suara tercekat.     

"Kalau selama 24 jam Nona L tidak juga bisa membaik, kami rasa kita harus merelakan bayinya. Ini masalah hidup dan matinya sang ibu," jawab sang dokter dengan nada suara datar seperti biasa.     

Sebagai dokter ia telah terbiasa menyampaikan kabar buruk kepada pasien dan keluarganya. Selama puluhan tahun ini ia telah melatih dirinya untuk tidak melibatkan emosi dan dapat tampil tenang di depan mereka. Hari ini bukan perkecualian.     

"Dua puluh empat jam?" Jan mengulangi kata-kata dokter itu seolah meminta konfirmasi. Sang dokter mengangguk tegas. Jan lalu menghela napas dan menepuk bahu sang dokter. "Tolong lakukan yang terbaik. Prioritaskan keselamatan sang ibu."     

Jan tahu London akan sangat patah hati kalau sampai anaknya meninggal, tetapi ia juga sangat mengenal bosnya itu dan tahu bahwa London pasti akan memilih keselamatan L jika ia dipaksa harus memilih. Lagipula, L terlanjur terlibat dalam situasi seperti ini bukan karena keinginannya.     

Gadis itu hanya korban keadaan dan ia tidak pantas kehilangan nyawanya demi anak yang bahkan tidak ia inginkan hanya karena seorang lelaki kaya dan berkuasa ingin agar anaknya yang diselamatkan.     

Lagipula, dengan kondisi seperti ini, kalaupun Lily berhasil dilahirkan selamat, sangat besar kemungkinan ia akan menjadi cacat. Lily mungkin akan memilih tidak usah dilahirkan daripada menjalani hidup yang menyedihkan...     

Sebelum kembali ke lounge tempat London menunggu, Jan segera mengambil ponselnya dan menghubungi semua orang dari keluarga Schneider yang dikenalnya untuk mengabari apa yang terjadi. Ia yakin London terlalu panik untuk memberi tahu keluarganya apa yang terjadi.     

Jan yakin, di saat yang demikian mencemaskan, London akan sangat membutuhkan dukungan keluarganya.     

"Oh Tuhan! Apa yang terjadi?" Suara cemas Finland segera terdengar di ujung telepon ketika Jan menghubunginya.     

Saat ini sudah lewat tengah malam di Singapura, dan Finland tahu Jan tidak mungkin menghubunginya di saat seperti ini kalau tidak terjadi hal gawat dengan anaknya.     

"Maafkan saya menelepon larut malam begini, Nyonya... Tetapi ini sangat penting." Jan kemudian menceritakan dengan singkat apa yang terjadi.     

"Baik. Tolong kau bantu London di sana. Kami akan segera datang," Finland buru-buru memutuskan hubungan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.