The Alchemists: Cinta Abadi

Ingin Tinggal, Tetapi Tak Bisa



Ingin Tinggal, Tetapi Tak Bisa

2Sambil menyiapkan perlengkapan piknik,  London buru-buru menghubungi Marc agar membawakan mobil tuanya ke apartemen. Tadi malam ia menggunakan mobil Mercedesnya yang paling mewah untuk berkendara dari penthouse ke apartemen ini karena tidak mengira L akan ada di sana.     

Tetapi siang ini kalau mereka akan piknik ke sungai, tentu L akan bertanya-tanya kenapa mobilnya yang biasa tidak ada di parkiran.     

Pukul dua sore mereka sudah duduk manis di mobil dan bergerak menuju taman di pinggir sungai tempat mereka dulu piknik dan makan burger. Saking senangnya, London tak dapat berhenti bersenandung di sepanjang jalan. Bahkan mood L cukup bagus hingga ia tidak sampai terganggu oleh senandung sumbang dari pemuda yang tidak berbakat menyanyi di sebelahnya itu.     

L sendiri mengenakan rambut palsu berwarna pirang ikal dan topi lebar serta kaca mata hitam untuk menyamarkan penampilannya. Ia tidak boleh dipergoki penggemar sedang piknik di tepi sungai dalam kondisi hamil besar bersama seorang laki-laki tidak terkenal.     

Gosip yang menyerangnya nanti bisa menjadi demikian kejam dan karier yang dibangunnya bisa hancur begitu saja. Ia tak dapat mengambil risiko.     

Begitu selesai memarkirkan mobilnya, London buru-buru membuka pintu bagi L dan membantunya keluar. Tubuh gadis itu sudah mulai besar dan merepotkannya untuk bisa bergerak dengan nyaman, maka dari itu London berusaha sebisa mungkin membantunya agar tidak terlalu kesulitan.     

Begitu pintu mobil ditutup ia langsung menggandeng pinggang L dengan tangan kanannya dan tangan kirinya membawa keranjang piknik. Dari jauh, orang-orang yang melihat mereka berjalan bersama akan menganggap keduanya adalah pasangan suami istri yang sangat mesra.     

"Hati-hati jalannya," kata London sambil menuntun L berjalan ke tempat di tepian sungai yang paling cantik. Letaknya di bawah sebuah pohon rindang dan beralaskan rumput yang sangat tebal.  Bunga-bunga liar berwarna-warni tampak indah di sekitar mereka.     

London dan L juga bisa melihat kapal-kapal yang lewat dengan pandangan yang tidak terhalang perdu atau semak-semak.      

London segera membentangkan selimut piknik mereka dan menata makanan serta minuman  dengan rapi lalu membantu L duduk pelan-pelan di bawah pohon.      

Begitu punggungnya bersandar di batang pohon yang teduh, terdengar desah kelegaan dari L dan wajahnya tampak menjadi cerah. London membaca di banyak buku tentang kehamilan bahwa pada usia kehamilan enam bulan biasanya wanita hamil akan merasakan banyak gangguan, seperti pegal-pegal, kaki bengkak, sering buang air kecil, perut kembung dan lain-lain.     

Karenanya ia berkali-kali menanyakan kepada L apakah ia nyaman, apakah ia mengidam sesuatu, apakah punggung atau kakinya sakit, atau apakah ia ingin ke toilet. Awalnya L masih menjawab sopan bahwa ia tidak apa-apa, tetapi rupanya kesabarannya yang tipis itu habis juga setelah London terus-menerus bertanya setiap lima menit.     

"Kau ini bisa diam tidak, sih? Aku tidak tuli... kenapa ditanya pertanyaan yang itu-itu saja," desis L yang dari tadi berharap ia bisa memejamkan mata, menikmati udara segar dan hembusan angin sepoi-sepoi. Tetapi kenikmatannya diganggu suara London yang setiap lima menit bertanya, "Punggungmu sakit tidak? Kau mau ke toilet? Kakimu kram? Perutmu kembung tidak?" dan seterusnya.     

Seperti kaset rusak.     

London hanya bisa merengut mendengar omelan L.     

"Maaf ya, kalau aku terlalu perhatian," balasnya. "Aku ini baru pertama menjadi ayah, jadi semua prosesnya benar-benar membuatku kelabakan. Aku hanya berusaha membuatmu senyaman mungkin dengan mengurangi hal-hal menganggu yang banyak dialami wanita hamil. Aku sudah membaca sangat banyak buku tentang kehamilan..."     

L hanya bisa menghela napas mendengarnya. Ia menaruh tangannya di depan bibir London dan secara sengaja membekap mulutnya itu agar tidak bicara lagi.     

"Kau. Terlalu. Banyak. Bicara." tukas L. "Aku menghargai niat baikmu, tetapi ini terlalu berlebihan. Kalau aku perlu apa-apa, aku akan bilang. Kau tidak usah bolak-balik bertanya seperti tadi."     

London menyentuh tangan L yang menutup mulutnya dan, dengan tidak tahu malu, mencium tangan gadis itu. "Maaf ya, tapi aku tidak percaya kau akan berkata jujur kepadaku kalau kau perlu apa-apa. Selama ini kau banyak menyembunyikan sesuatu dariku."     

L tampak terkesiap mendengar kata-kata London.     

"Menyembunyikan apa maksudmu?"     

London mendeham, "Pertama, kau menyembunyikan kehamilanmu. Kalau aku tidak mencarimu sendiri, aku tidak akan pernah tahu. Kau mau membantah hal itu?"     

L menggigit bibirnya dan menggeleng pelan. Ia mengakui London benar.     

"Nah... itu baru yang pertama. Yang kedua..." London menatap L dalam-dalam, "Kau tidak jujur kepadaku tentang apa yang kau inginkan mengenai poin ke-20. Kau tidak konsisten dan membuatku bingung..."     

L membalas tatapan London untuk beberapa lama, dan kemudian menunduk. "Maafkan aku."     

"Memaafkanmu untuk apa? Karena tidak konsisten? Atau kau meminta maaf karena kau masih ingin pergi? Aku tidak tahu... Tolong berkatalah jujur kepadaku. Anggap saja itu hadiah ulang tahun untukku."     

L mengangkat wajahnya lagi dan kali ini tangannya ikut terangkat dan menyentuh wajah London dengan lembut. Tanpa sadar pemuda itu memejamkan matanya dan menikmati sentuhan jari-jari L pada wajahnya.     

"Killian... aku ingin sekali tinggal, tetapi aku tidak bisa. Maaf kalau aku berubah pikiran lagi." bisik L dengan suara hampir menangis. "Aku lama berpikir semalaman dan sadar aku akan bersikap egois kalau aku menampakkan diri di depan Lily setelah aku meninggalkannya. Jadi kupikir, lebih baik ia tidak usah mengenalku sama sekali. Aku melihat Finland adalah gadis yang sangat baik dan ia juga terlihat sangat menyayangimu. Kau lelaki baik, kau pantas mendapatkan perempuan yang bisa membuatmu bahagia."     

"A... apa? Aku tidak mengerti." London sontak membuka matanya dan menatap L dengan pandangan terkejut. "Maksudmu kau berubah pikiran dan tetap ingin meninggalkan Lilly setelah melahirkannya, dan kau merelakan anakmu dirawat oleh perempuan lain??"     

L tampak menahan tangis dan mengangguk. "Jangan beri tahu Lily bahwa ibunya meninggalkannya, ia akan patah hati. Lebih baik kalau Finland mengaku sebagai ibunya dari awal... "     

"Kau tidak bisa berkata begitu!" London ingin sekali mengguncang tubuh L dan memaksanya berpikir logis dan menggunakan hatinya, tetapi ia tidak ingin menyakiti gadis itu. Mengapa L tega sekali meninggalkan bayinya sendiri? "Lily bisa mendengarmu. Dia pasti sedih sekali sekarang...."     

"Maafkan aku..." bisik L dengan suara getir. Ia mengelus perutnya dengan penuh kasih sayang dan akhirnya air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya akhirnya membanjir keluar dan ia pun menangis terisak-isak.     

"Ada apa, L? Kumohon beri tahu aku apa yang terjadi? Aku ingin menolongmu... Tetapi kalau aku tidak tahu apa-apa, maka aku tidak berdaya..." bujuk London sambil mendekap L ke dadanya. "Biarkan aku membantumu..."     

L sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia juga tidak berusaha melepaskan diri dari pelukan London dan menghabiskan air matanya di baju pemuda itu. Setelah sepuluh menit akhirnya ia tenang dan berusaha menata emosinya. Selama itu pula London terus mengusap-usap punggungnya berusaha membuat L merasa bahwa ia tidak sendirian, dan bahwa London selalu bersedia dijadikan tempatnya untuk bersandar.     

"Kau sudah baikan?" tanya London dengan lembut. L akhirnya mengangguk. Ia sudah berhenti menangis dan berusaha merapikan dirinya.     

"Terima kasih," kata gadis itu dengan suara pelan.     

"Kalau aku boleh tahu? Kau tadi bilang ingin sekali tinggal... tetapi tidak bisa. Apakah itu maksudnya... kau ingin sekali tinggal bersamaku, menikah denganku dan membesarkan Lily bersama-sama... tetapi kau tidak bisa?" tanya London dengan hati-hati, berusaha tidak membuat L menangis lagi, tetapi ia sungguh amat penasaran. Ia ingin sekali mengerti L.     

L menatap London beberapa lama mendengar pertanyaannya, dan akhirnya ia mengangguk pelan. "Benar, aku tidak bisa."     

"Kenapa kau tidak bisa menikah denganku?" tanya London lagi, masih dengan nada selembut tadi.     

L menghela napas panjang dan tampak bergumul dengan dirinya sendiri, sebelum akhirnya ia melengos dan menjawab dengan nada seperti orang kalah. "Aku tidak bisa... karena aku sudah punya tunangan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.