The Alchemists: Cinta Abadi

Keluarga Schneider



Keluarga Schneider

0London menatap L seolah tidak sadar bahwa gadis itu sangat shock mendengar suara penyanyi idolanya di ujung telepon.     

"Kau kenapa?" tanyanya keheranan.     

L hanya bisa menggeleng-geleng, masih tidak sanggup bersuara.     

"Hm... baiklah, nanti aku hubungi lagi ya, Bibi. Istriku sepertinya tersedak, Aku ambilkan dia minum dulu."     

Billie Yves hanya tertawa dan mengiyakan. "Oke. Kau tolonglah dia dulu. Nanti kalau sudah pasti dengan tanggal dan hari yang tepat, aku akan datang. Sampai jumpa."     

"Terima kasih, Bibi. Sampai jumpa."     

Setelah London menutup teleponnya, perlu waktu lima menit bagi L untuk menenangkan diri baru ia dapat berkata-kata dengan normal.     

"Bagaimana bisa kau memanggil  Billie Yves Bibi? Kalian terdengar akrab sekali!" cetus L. "Dan... dan... beliau itu, bukankah sudah lama sekali pensiun? Tidak ada yang tahu kemana beliau mengasingkan diri..."     

London hanya tertawa ringan melihat keterkejutan L. "Bibi Billie dan keluargaku cukup dekat. Dulu ia menjalin hubungan sangat lama dengan salah satu pamanku, mungkin kau ingat, namanya Jean. Setelah mereka putus, hubungan di antara keluarga kami tetap baik. Lagipula ibuku sangat menyukai Bibi Billie dan merupakan penggemar beratnya sejak dulu. Yah, mirip sepertimulah..."     

"Oh... benarkah?" L masih ragu mendengarnya.     

"Benar. Saking dekatnya hubungan di antara kami, 25 tahun yang lalu, Bibi Billie juga mendapatkan ramuan keabadian, sehingga ia selalu tampak muda. Ia mengundurkan diri dari  industri musik beberapa tahun yang lalu juga sebagai cara untuk menghilangkan kecurigaan orang-orang atas kemudaannya."     

"Oh..." L kemudian ingat akan dirinya sendiri. "Kalau begitu... nanti kalau aku minum ramuan keabadian dan ikut bersamamu, suatu hari nanti aku juga harus mundur dari dunia hiburan?"     

London mengangguk. "Benar. Kau hanya bisa berpura-pura awet muda sampai beberapa waktu, tidak bisa begitu selamanya. Maaf. Kita tidak mungkin bisa membuka rahasia klan kita kepada dunia luar. Manusia lain akan curiga kalau melihatmu terus berwajah seperti ini, tanpa pernah menua."     

"Aku mengerti." L mengangguk-angguk. Ia menarik napas panjang dan menatap London dengan saksama. "Kurasa ini risiko yang harus aku ambil."     

"Benar. Itu juga salah satu penyebab kenapa keluarga Schneider sangat tertutup dan tidak banyak tampil di muka umum. Hanya sedikit orang yang mengetahui penampilan asli kami."     

"Hmm... masuk akal. Aku pun akan melindungi Lily dengan cara seperti itu."     

"Tepat sekali." London kembali menyinggungkan cengiran iseng saat bibirnya dengan jahil mencium pipi L. "Maafkan aku. Aku senang sekali. Kau tidak tahu betapa resahnya aku beberapa bulan belakangan berusaha memikirkan cara terbaik untuk memberitahumu semua rahasiaku."     

"Aku mengerti, pasti tidak mudah." L mengangguk membenarkan.     

"Kau tahu? Aku sudah siap untuk menyimpan rahasia ini selama bertahun-tahun, hingga nanti Lily cukup besar," kata London lagi.     

"Kenapa mesti menunggu Lily besar?" tanya L tidak mengerti.     

"Tentu saja, supaya saat aku membuka rahasiaku, aku bisa berlindung di balik tubuh Lily supaya kau tidak bisa memarahiku... hahahaha..." London tertawa puas sekali.     

Ia sangat mengenal dirinya dan tidak ragu bahwa kalau memang sampai terdesak, ia tidak akan segan-segan mengambil cara licik seperti itu. L pasti tidak akan sanggup memarahi London kalau Lily yang melindunginya.     

"Gila kau!" cetus L, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum. Ia sama sekali tidak marah.     

Melihat sikap L yang mulai lunak dan sama sekali tidak keberatan atas semua rencana konyol London yang tadinya hendak memanfaatkan Lily, pemuda itu menjadi merasa di atas angin. Ia hendak mencuri ciuman lagi ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi.     

Ugh. Ia hendak melihat siapa lagi stafnya yang berani menggganggunya di saat ia hendak mencium L begini.     

"Kami sudah di depan gerbang. Tolong bukakan pintu." Suara Finland dari ujung telepon segera membuatnya terlonjak.     

Ah.. lagi-lagi ternyata ibunya yang menelepon.     

"Sebentar Ma." London menyimpan ponselnya dan menoleh ke arah L. "Orang tuaku sudah sampai. Kau siap bertemu mereka?"     

L tampak gelagapan. Ia buru-buru merapikan pakaian dan rambutnya dan mengatur napas baik-baik, barulah kemudian ia mengangguk. "I.. iya."     

"Ayo kita temui mereka." London kemudian bangkit dan menggandeng L berjalan keluar ruangan Lily menuju ke halaman rumah mereka.     

Di depan gerbang, London memencet remote dan kemudian terbukalah pintu gerbang rumah mereka yang besar, menampakkan tiga orang dewasa yang berdiri santai sambil membawa kotak berisi kue dan rangkaian bunga.     

"Heii... selamat siang. Masuklah." London menghampiri Finland dan memeluk ibunya. Wanita itu tampak berlinangan air mata dan menepuk-nepuk punggungnya.     

"Astaga, Sayang... Mama senang sekali, akhirnya masalah kalian bisa selesai. Mama sudah tidak tahan ingin bertemu Lily," cetus Finland dengan suara emosional.     

L hanya terpaku melihat pemandangan itu. Ia kini sungguh bisa melihat betapa dekatnya hubungan ibu dan anak di antara London dan Finland. Untuk sesaat ia merasa sedih dan iri karena ia tidak punya ibu. Matanya menjadi agak basah.     

Setelah Finland melepaskan pelukannya dari London ia tersenyum haru dan mendekati L. "L? Kau tidak akan memeluk Mama?"     

L tergagap-gagap mendengar kata-kata wanita yang demikian muda dan cantik di hadapannya itu. Rasanya sulit sekali percaya wanita ini memiliki tiga orang anak dewasa.      

"A... aku.. eh, uhm, aku tidak..." L menelan ludah. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap.     

"Kemarilah. Sini peluk Mama juga. Mulai sekarang, kau bisa menganggapku sebagai ibumu sendiri ya. Kau adalah ibu Lily, cucuku, berarti kau adalah anakku. Kalau London sampai mengganggumu dan berbuat macam-macam, jangan segan-segan mengadukannya kepadaku biar dia kuberi pelajaran." Finland tersenyum lebar lalu memeluk L hangat sekali.     

Perlakuan Finland yang demikian hangat kepadanya membuat L merasa terharu. Ia sudah sangat lama tidak mempunyai ibu, dan selama ini ia terbiasa mengurus dirinya sendiri. Ia hampir lupa bagaimana rasanya memiliki orang tua. Sikap Finland yang demikian hangat dan keibuan akhirnya membuat pertahanannya runtuh dan ia menangis tersedu-sedu di bahu wanita itu.     

"Sshhh... jangan sedih ya. Mulai sekarang, kau sudah memiliki keluarga. Ada kami di sini. Kau tidak sendirian lagi," bisik Finland sambil mengusap-usap rambut L.     

Ia sudah mengetahui dari London bahwa L adalah seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara dan banyak mengalami kesusahan sejak kecil. Sebagai orang yang pernah bernasib serupa, ia mengerti bagaimana rasanya. Karena itulah, dengan sebaik mungkin ia berusaha membuat L merasa diterima.     

"Te.. terim kasih..." bisik L sambil terisak-isak.      

"Sshh... tidak perlu berterima kasih. Nah, mari kuperkenalkan. Ini adalah suamiku, Caspar, dan yang itu anak bungsuku, Rune. Kami tinggal di rumah di ujung jalan sana. Kau dan London silakan berkunjung kapan saja ya."     

L membungkuk sedikit saat diperkenalkan kepada Caspar dan Rune.     

"Selamat siang, Paman... Rune. Senang bertemu kalian," katanya pelan.     

"Tidak usah terlalu formal. Kau bisa memanggilku Papa juga. Kuharap kalian belum makan siang, karena aku membawa kue dengan resep terbaru dan siang ini aku akan memasak makan siang untuk kita," kata Caspar sambil memberikan rangkaian bunga yang dibawanya kepada L lalu memeluk gadis itu.     

"Te.. terima kasih," balas L dengan suara tercekat. Ia segera ingat London pernah menceritakan tentang ayahnya yang senang memasak. Inikah ayah yang dimaksud London itu? Astaga. Sempurna sekali pria ini. Sungguh tampan, baik, dan senang memasak, pikirnya.     

Seolah bisa membaca pikiran L, London segera menarik gadis itu lepas dari pelukan ayahnya. "Ahem... aku tahu ayahku sangat tampan dan masakannya juga enak sekali, tetapi kau tidak boleh jatuh cinta kepada ayahku. Ayah itu milik ibuku. Kau harus puas dengan duplikatnya saja, yaitu aku."     

L memutar matanya dengan sewot saat mendengar kata-kata London. "Kau ini bicara apa, sih? Sembarangan saja!"     

Ia memukul bahu London, tetapi pemuda itu telah menangkap tangannya sambil tertawa-tawa.     

"Sshh.. kau tidak mau punya reputasi buruk di depan mertuamu, kan? Jangan cepat marah begitu. Kau tahu aku hanya bercanda. Hahaha... Nah ini, perkenalkan adikku, Rune. Dia ilmuwan yang sering menciptakan banyak mesin tidak berguna."     

Rune mengangguk sambil tersenyum lebar. "Yep, itu aku. Senang bertemu kembali denganmu. Aku membawa makanan buatan Papa di kotak ini, sebaiknya kita segera ke dapur dan menaruhnya di meja makan."     

"Ah, iya, tentu saja. Silakan masuk." L buru-buru menyerahkan bunga di tangannya kepada London dan menerima kotak berisi kue dari Rune. Ia lalu mempersilakan tamu-tamunya masuk ke dalam rumah.     

Ia masih tidak dapat mempercayai apa yang terjadi.     

Seisi keluarga Schneider kini ada di rumahnya!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.