The Alchemists: Cinta Abadi

Wanita Yang Tepat Di Waktu Yang Salah



Wanita Yang Tepat Di Waktu Yang Salah

2Tanpa terasa 3 jam pun berlalu. Dengan suara yang hampir habis dan dada dipenuhi kebahagiaan Marie turun dari wahana terakhir. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore.      

"Terima kasih kau sudah mengajakku kemari," Marie menyentuh tangan Nicolae dan mengusap punggung tangannya dengan ekspresi penuh terima kasih. Ia menatap pria itu dengan pandangan dalam-dalam. "Aku sekarang tidak terlalu merasa sedih."     

Nicolae mengangguk sambil tersenyum. Ia mengacak rambut Marie dengan lembut, seperti kepada anak kecil. "Aku senang mendengarnya."     

Nicolae lalu menggandeng tangan Mary dan membawanya kembali ke parkiran. Ia membuka pintu penumpang untuk gadis itu, baru kemudian masuk ke kursi pengemudi. Mereka tidak berbicara apa-apa di sepanjang perjalanan kembali ke krematorium.      

Beberapa kali Nicolae mengerling ke samping dan ia puas karena melihat wajah Marie tampak sudah lebih cerah. Ia merasa sedikit lega karena berhasil membuat gadis itu terhibur. Ia tahu kehilangan orang tua adalah pengalaman yang sangat menyedihkan karena ia pernah berada dalam posisi serupa.      

Ia berharap, setelah ia pergi meninggalkan gadis itu, perlahan-lahan Marie akan pulih dan kembali pada kehidupannya semula. Dalam waktu tidak terlalu lama ia akan segera pulang ke Grosetto dan mengembalikan Altair dan Vega kepada orang tua mereka.     

Ia masih belum tahu apa yang ingin dilakukannya setelah itu. Mungkin ia akan berkunjung ke tempat Terry di New York dan tinggal di sana selama beberapa waktu dan mencari tahu apa yang ia inginkan. Mungkin ia akan mencoba kembali bekerja dan bertemu banyak orang untuk bisa merasakan hidup normal.     

Siapa tahu.. hal itu akan membantunya pulih lebih cepat. Ia tak ingin terus-menerus menjauh dari keluarganya hanya karena ia masih menyimpan rasa cinta kepada istri adiknya. Kalau hal itu tidak berhasil.. maka ia akan kembali bertualang dan melihat dunia.     

Selama petualangannya enam tahun berkeliling dunia, ia bertemu begitu banyak traveler dan melihat kehidupan manusia-manusia yang tidak seberuntung dirinya, dan hal itu membuatnya banyak berpikir dan lebih menghargai hidupnya sendiri. Ia juga mulai belajar bahasa-bahasa baru dan budaya yang mulai terpinggirkan. Semua membuat hidupnya menjadi lebih kaya.     

Ah... ya, ia harus segera menyiapkan kepergiannya. Besok pagi ia dan anak-anak harus sudah mulai berkemas karena lusa mereka harus berangkat ke Italia.     

Pikiran-pikiran itu berhasil mengalihkan perhatian Nicolae dari rasa sedih yang hari ini ikut memenuhi dadanya saat melihat Marie berduka karena kematian ibunya. Ia banyak berpikir tentang keberangkatannya ke Grosetto dan hidupnya setelah kembali sendirian, tanpa Altair dan Vega, sementara Marie merenungkan nasibnya yang kini menjadi sebatang kara.     

Suasana di mobil di sepanjang perjalanan ke krematorium terasa sangat sunyi. Ketika mereka tiba kembali di krematorium, petugas segera membawa mereka ke ruang tunggu. Di sana guci berisi abu jenazah Nyonya Lu telah disiapkan untuk mereka. Kesedihan seketika kembali melingkupi Marie, tetapi ia berhasil menahan diri dan tidak menangis.      

Melihat ketegaran gadis itu, Nicolae merasa terharu. Ia lalu memeluk gadis itu ke dadanya dan mengusap-usap punggung Marie untuk memberinya penghiburan. Marie mencoba terlihat tegar dan tersenyum tipis sambil membisikkan,  "Terima kasih. Aku beruntung memiliki suami sepertimu."     

Nicolae hanya mengangguk, mengira Marie berusaha bercanda untuk meringankan suasana, walaupun di dalam hati sebenarnya Marie bersungguh-sungguh dengan perkataannya.      

"Biar aku yang membawakan gucinya," kata Nicolae menawarkan diri.      

Marie mengangguk dan membiarkan pria itu membawa guci berisi berisi abu jenazah ibunya. Seperti yang mereka sudah bicarakan, Marie ingin menebarkan abu ibunya di laut, karena itu Nicolae segera membawa mereka dengan mobilnya ke daerah dermaga.     

Di sana ia telah menyewa sebuah kapal catamaran untuk membawa mereka ke tengah lautan agar mereka dapat menyebarkan abu Nyonya Lu. Walaupun saudaranya, Alaric, memiliki kapal di dermaga Marina Bayfront, Nicolae memilih untuk menyewa kapal dari  perusahaan komersial karena ia tidak ingin meninggalkan jejak dengan menggunakan kapal Alaric.     

Setengah jam kemudian Marie dan Nicolae bersama dengan guci berisi abu jenazah Nyonya Lu telah ada di atas kapal catamaran di tengah lautan. Saat itu mentari sudah bergerak ke ujung barat dan suasana terasa begitu syahdu.      

Ketika matahari hampir terbenam dengan meninggalkan gurat-gurat jingga di kaki langit yang sangat indah, Marie membuka guci lalu dengan khimad menebarkan abu jenazah ibunya ke tengah lautan.      

"Selamat jalan, Mama. Terima kasih Mama telah menjagaku dan menjadi ibu terbaik bagiku selama ini. Aku sangat mencintaimu. Salam untuk Papa. Suatu hari nanti aku akan bergabung dengan kalian. Sampai saat itu tiba, aku berjanji, Ma... bahwa aku akan hidup dengan baik." Suaranya terdengar bergetar menahan tangis saat ia mengucapkan perpisahan terakhir kepada sang ibu.     

Setelah abu terakhir hilang dibawa angin ke tengah laut, air mata Marie kembali membanjir dan tangisnya yang sedari tadi ditahan-tahan akhirnya keluar dengan sangat pedih.      

Nicola merasa sangat terharu karena ia menyaksikan rentetan peristiwa sejak Marie memperkenalkannya kepada ibunya, lalu mereka menikah demi memberi ketenangan dan kebahagiaan terakhir bagi beliau, kemudian diikuti dengan kematian Nyonya Lu, setelah itu proses kremasi dan sekarang abunya ditebarkan di tengah lautan...     

Entah kenapa dalam waktu yang demikian singkat Nicolae telah menjadi bagian dalam hidup Marie yang menyaksikan momen-momen penting dalam kehidupan gadis itu. Tanpa sadar ia merasakan semacam kedekatan di antara mereka karena berbagi begitu banyak momen intens dalam waktu yang demikian singkat.     

Kini, saat melihat Marie kembali menangis pedih, Nicolae merasakan simpati yang mendalam dan secara alami ia mendekap gadis itu ke dadanya. Ia mengusap-usap kepala dan punggung Marie untuk memberinya penghiburan.     

"Maafkan aku karena menangis lagi...  Aku berjanji, ini yang terakhir. Terima kasih kau telah mendampingiku selama beberapa hari terakhir ini. Seumur hidup, aku berutang budi kepadamu," bisik Marie.     

Ketika Nicolae mendengar betapa Marie berkali-kali menyebut kata utang budi, ia merasa tidak nyaman. Nicolae tidak menyukai kata itu. Baginya, apa yang ia lakukan barusan adalah sesuatu hal yang wajar.     

Namun, ia menahan diri dan tidak berkata apa-apa. Saat ini, menurutnya kata-kata tidaklah penting dan tidak ada gunanya. Ia hanya ingin Marie bisa meluapkan semua kesedihannya yang masih tersisa agar gadis itu menjadi lega.      

Hari sudah malam ketika mereka berdua kembali ke daratan. Untuk sesaat Marie dan Nicolae berdiri canggung karena tujuan mereka hari ini telah tercapai. Nyonya Lu telah dikremasi dan abunya telah disebarkan ke laut. Mereka sudah tidak perlu bersandiwara lagi.     

"Apa yang dapat kulakukan untukmu?" tanya Nicolae pelan sambil menatap Marie yang masih terpekur di kursi penumpang mobilnya.      

Suaranya terdengar lembut dan pandangannya sangat menyejukkan hati. Untuk sesaat Marie tertegun ketika mata mereka bertemu.      

"Aku butuh minum. Hari ini sungguh sangat berat," kata Marie pelan.      

"Baik. Kita bisa mampir ke Sky Bar kalau kau mau," kata Nicolae.      

"Aku mau." Marie mengangguk.     

Dari dermaga, Nicolae lalu membawa mobilnya ke Gedung Continental.      

Ia setuju bahwa hari ini adalah hari yang cukup berat. Ia sendiri sudah lama ia tidak mengalami situasi yang demikian intens seperti tiga hari terakhir ini.      

Karena ia mengemudi, Nicolae tahu bahwa ia tidak boleh minum banyak. Ia harus memastikan bahwa mereka berdua bisa pulang dengan tidak kurang suatu apa ke apartemen mereka di Robertson Road.      

Ketika mereka tiba di Sky Bar, Nicolae meminta meja yang tersembunyi di sudut agar mereka memperoleh privasi. Ia Sebenarnya tidak menyukai perempuan yang banyak minum, tetapi ia tahu malam ini adalah suatu pengecualian karena Marie baru kehilangan satu-satunya orang tuanya.     

Nicolae akan membiarkan gadis yang sedang berduka itu untuk melampiaskan kesedihan dengan minum wine atau koktail untuk menenangkan diri. Toh ada ia, Nicolae, yang akan memastikan Marie bisa pulang dengan tidak kurang suatu apa.      

"Kau tidak minum?" tanya Marie ketika melihat Nicolae hanya memesan jus.     

Nicolae menggeleng, "Tidak, aku menyetir."     

"Bagaimana kalau satu gelas aja?" Marie menawarkan. "Tidak enak minum sendiri. Kalau kita minum-minum di sini selama satu atau dua jam, saat kita pulang nanti pengaruh dari alkohol yang kau minum sekarang pasti sudah akan hilang."     

Nicolae masih hendak menolak tetapi melihat air mata kembali menggenangi pelupuk mata Marie, akhirnya ia mengalah. Gadis itu benar. Minum satu gelas kecil sekarang tidak akan terlalu berdampak pada dirinya saat ia pulang nanti. Kalaupun ia tidak nyaman, ia selalu bisa mengaktifkan mode driverless pada mobilnya.     

"Ayolah aku berjanji tidak akan memintamu minum yang lain... hanya satu gelas saja agar kita dapat berbagi kesedihan," kata Marie sambil meremas tangan Nicolae dengan ekspresi memohon.     

Pria itu akhirnya mengangguk. Ia mengalah dan memesan scotch on the rock. Marie memesan Bloody Mary. Begitu minuman mereka datang, Marie dengan cepat menghabiskan isi gelasnya lalu memesan minuman kedua. Gelas kedua, Singapore Sling juga habis dengan cepat dan gadis itu memesan minuman ketiga, keempat, dan seterusnya. Nicolae hanya menyesap scotch-nya pelan-pelan sambil mengamati gadis itu.     

Rupanya Marie adalah tipe gadis yang banyak bicara kalau ia sedang minum. Sambil menikmati minumannya, Marie bercerita tentang masa kecilnya, tentang kehidupannya yang lebih banyak sendirian, tentang bagaimana ia harus mengurusi dirinya setelah ibunya masuk rumah sakit.      

Nicolae hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia sudah tahu sedikit banyak tentang kehidupan masa lalu Marie saat bertemu dengan Nyonya lu di rumah sakit. Ketika itu ia sudah merasa kagum kepada gadis ini.     

Namun, sekarang ketika mendengar dengan lebih detail bagaimana Marie mengurusi dirinya sendiri dan ibunya serta tetap bisa hidup baik-baik saja, kekaguman Nicolae menjadi bertambah-tambah.      

Dalam hati ia berpikir, mungkin saja kalau patah hatinya telah sembuh dan ia bertemu dengan Marie beberapa puluh atau seratus tahun lagi, ia akan dapat jatuh cinta kepada gadis ini. Marie adalah gadis cerdas, tabah, dan sangat menyenangkan. Namun, sayangnya pria itu cukup mengenal dirinya sekarang dan tahu bahwa saat  ini ia masih belum dapat membuka hatinya untuk cinta yang baru.      

Marie Lu adalah wanita yang tepat di waktu yang salah, pikirnya sedih.     

Nicolae hanya berharap setelah Marie membatalkan pernikahan mereka, gadis itu akan dapat pulih lalu bertemu pria baik-baik dan jatuh cinta kepadanya, kemudian mereka akan menikah sungguhan dan hidup bahagia.     

Nicolae menatap wajah cantik dengan pipi berbintik-bintik dan bibir penuh berwarna merah terang yang tampak demikian indah di sampingnya. Marie masih terus berceloteh tentang masa kecilnya dan betapa ia sangat menyukai itik-itik* di kolam teratai di taman rumah sakit setiap kali ia dan ibunya duduk di sana menikmati sinar matahari.     

Wajah Marie tampak mulai bersemu kemerahan karena pengaruh minumannya. Ekspresi sedih telah meninggalkan gadis itu dan kini dengan senyum lebar ia bercerita semua benda di rumahnya yang ia beri nama hanya agar ia tidak merasa kesepian.     

"Nah.. mesin cuciku namanya Lilith, kursi kesayanganku untuk duduk bekerja adalah Edgar... komputerku yang sangat setia bernama Petra.."     

Nicolae hanya  bisa tersenyum mendengar kata-kata konyol dan tidak masuk akal dari bibir gadis itu.     

.     

.     

* Itik = Goose (bahasa Inggris) mungkin ini yang membuat Marie mengambil nama samaran Goose di Darknet.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.