The Alchemists: Cinta Abadi

Setelah Seratus Tahun



Setelah Seratus Tahun

3Alaric dan Nicolae hanya bisa terpaku melihat ibu mereka yang cantik berjalan dengan anggun dan kepala tegak menghampiri meja Lauriel dan anak-anak buahnya.     

"Kau Bos Lauriel, bukan?" tanya Luna dengan suara yang jernih dan tegas, sambil menatap lurus ke mata Lauriel. Pria itu agak terkejut karena ia tidak tahu bagaimana gadis secantik ini bisa tiba-tiba muncul di depannya dan menanyakan namanya, tetapi ia mengangguk saja.     

Luna menoleh sedikit kepada Petra lalu kembali mengarahkan pandangannya kepada Lauriel, "Kau kalah taruhan satu peti harta. Seperti yang kalian bisa lihat, wajahku tidak cacat akibat disepak kuda."     

Lauriel mengangkat alisnya keheranan, begitu juga Endo, Neo, Esso dan Petra. Mereka tidak mengerti bagaimana gadis itu bisa mengetahui tentang taruhan mereka. Sebelum mereka sempat bertanya, Luna telah berbalik dengan anggun dan berjalan pergi meninggalkan mereka. Ia kemudian bergabung dengan ibunya di tengah aula.     

Kelima pria itu saling berpandangan, seolah berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.     

"Astaga... Bos Lauriel... sepertinya Putri Luna menyukaimu...." cetus Petra, "Aku tidak akan melamarnya karena sudah jelas ia menyukaimu, tapi aku akan tetap menyimpan peti harta darimu, karena aku sudah menang taruhan."     

Lauriel menoleh ke arah Luna yang sama sekali tidak meihat ke arahnya, sibuk berbincang-bincang dengan ibu dan kakaknya serta Portia. Gadis itu cantik sekali, dan tadi saat ia berdiri tepat di depan Lauriel dan menatap lurus kepadanya dengan berani, dada Lauriel terasa bergetar. Gadis itu memiliki sikap yang sangat ringan dan acuh, tapi jauh dari kesan angkuh seperti kebanyakan putri bangsawan.     

"Bos... bagaimana pendapatmu tentang Putri Luna?" tanya Petra lagi. "Dia cantik sekali..."     

Lauriel meneguk wine-nya dan menggeleng, "Kau tahu peraturanku, Petra. Tidak boleh ada wanita di kapal. Aku tidak mau berhenti bertualang dan menikah dengan siapa pun saat ini. Dan tidak ada wanita yang bisa hidup di kapal. Jadi kau sudah tahu jawabannnya."     

Lauriel hanya menunduk dan tersenyum tipis di samping Nicolae dan Alaric saat mendengar kata-katanya sendiri di masa lalu. Ia dulu sangat percaya diri, mengira ia tidak akan pernah jatuh cinta kepada seorang wanita, walau bagaimanapun cantiknya dia.     

Ternyata ia salah.     

Pemandangan kembali menjadi gelap dan suasana di ruang Holodeck menjadi sepi. Alaric dan Nicolae menoleh ke arah ayah mereka yang tampak termenung.     

"Aku tidak bisa membagikan semuanya sekarang... Ini masih terlalu berat," gumam Lauriel. "Sesudah ini, aku akan membagikan momen terakhir kami bersama."     

Ruangan kembali berubah. Kali ini mereka melihat Lauriel dan Luna sedang duduk minum teh bersama di sebuah ruangan yang terlihat khas Thailand. Nicolae dan Alaric ingat Thailand adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang netral saat Perang Dunia II dan tidak pernah dijajah negara barat. Wajar kalau saat itu orang tua mereka memilih untuk berdiam di Thailand saat Perang Dunia 2 tengah berkobar.     

Lauriel tampak sedang berpikir keras setelah membaca selembar surat di tangannya, sementara Luna sedang duduk sambil memperhatikan keluar jendela dengan wajah tenang. Ia mengenakan pakaian ringkas dan rambutnya hanya diikat ekor kuda tetapi ia tetap terlihat sangat cantik.     

Alaric tersenyum tipis saat melihat sebilah pisau terselip di pinggang ibunya. Luna memang sangat mengagumkan, pikirnya. Gadis itu cantik namun berbahaya. Tak heran Lauriel sangat mencintainya.     

"Rory... sudah berapa lama kita bersama?" tanya Luna tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangannya. Hujan pelan-pelan turun dari luar dan ia memperhatikan setiap tetes yang turun seolah mereka adalah kelopak bunga yang indah.     

Lauriel mengangkat wajahnya keheranan. Ia tidak menduga kekasihnya akan bertanya hal ini tanpa angin dan hujan. Ia laki-laki, tentu ia tidak ingat sudah berapa lama mereka bersama.     

Yang jelas ia ingat pertama kali bertemu Luna di pesta ulang tahunnya lebih dari seratus tahun yang lalu.     

"Hmmm... entahlah. Kau lebih pandai soal angka daripadaku," komentar Lauriel sambil mengangkat bahu. "Seratus tahun?"     

"Tahun ini aku akan berumur 320 tahun..." kata Luna. Ia akhirnya menoleh ke arah Lauriel. "Aku sudah mengunjungi hampir setiap ujung bumi dan aku sudah puas bertualang. Saat ini... aku ingin pulang ke Eropa dan membangun keluarga. Bagaimana pendapatmu?"     

Lauriel tertegun mendengar pertanyaan yang sebenarnya lebih berupa pernyataan itu. Luna barusan menyatakan bahwa ia ingin berhenti bertualang dan kembali ke Eropa untuk berumah tangga.     

Luna menanyakan pendapat Lauriel di sini hanya untuk mendengar apakah pria itu akan ikut dengannya atau tidak. Luna tidak meminta - karena gadis itu adalah seorang putri bangsawan yang berkedudukan tinggi dan sangat mandiri. Pantang baginya meminta sesuatu kepada seorang lelaki.     

Luna tidak akan meminta bahkan kekasihnya sendiri untuk mengabulkan keinginannya. Luna dapat meraih sendiri keinginannya tanpa bantuan siapa pun dan ia sudah membuktikan ini selama seratus tahun mereka bersama.     

Lauriel mengerutkan keningnya. "Kau mau membangun keluarga bersama siapa kalau bukan denganku?"     

Luna hanya mengangkat bahu. "Aku tahu kau dan Caspar tidak pernah berniat untuk menikah dan membangun keluarga. Kalian terlalu menikmati petualangan kalian. Aku juga dulu begitu, karena itulah aku ikut denganmu selama satu abad lebih. Tetapi sekarang aku sudah berubah. Aku ingin pulang ke tanah kelahiranku dan membangun keluarga di sana, lalu hidup tenang dikelilingi anak-anakku."     

Lauriel menyentuh tangan gadis itu dan meremasnya dengan mesra.     

"Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba berubah begini? Apakah kau..." Ia tiba-tiba terdiam. Ekspresinya menunjukkan ia ingat bahwa selama beberapa hari terakhir ini Luna tampak mual-mual dan sering muntah. Keringat dingin menetes ke pelipisnya, walaupun di luar sedang hujan. Ia menatap Luna dengan sepasang mata terkejut. "Kau hamil?"     

Luna menatapnya dengan pandangan rumit, lalu mendesis. "Nonsens."     

Lauriel tampak lega sekali. Ia meremas tangan Luna dengan lebih kuat. "Ahh.. syukurlah... Aku takut kau hamil. Sekarang masih perang dan aku harus ke Manchuria untuk membebaskan Endo dan Neo yang ditawan Jepang di sana... Kehamilanmu akan membuat kita kesulitan."     

Luna menggigit bibirnya, tetapi ekspresi wajahnya tetap dibuat acuh. "Kau mau ke Manchuria?"     

Lauriel mengangguk. "Aku sudah memikirkannya berulang kali. Satu-satunya cara adalah menemui Jenderal Haneda yang dulu pernah kutolong dan meminta bantuannya untuk membebaskan Neo dan Endo. Aku tidak bisa membiarkan dua anak itu mati begitu saja..."     

"Baiklah." Luna mengambil cangkir tehnya dan menyesap minumannya sambil kembali memandangi hujan. "Aku tidak bisa ikut ke Manchuria. Aku akan berangkat ke Jerman. Saat ini Jerman masih berkuasa di Eropa, akan lebih mudah bagiku untuk pulang ke tempat kakakku daripada ke Inggris. Cuaca di Asia akhir-akhir ini tidak cocok buatku."     

Lauriel mengangguk. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Luna lalu beranjak dan mengambil pena dan kertas. Ia akan menulis surat kepada Jenderal Haneda agar diberikan akses jalan ke Manchuria dan membebaskan dua anak buahnya yang tertangkap penjajah Jepang ketika sedang bertualang di China.     

Ketika Lauriel sedang sibuk menulis suratnya, ia tidak melihat Luna memandanginya dengan tatapan mata sendu dan tangan kirinya tanpa sadar mengelus perutnya. Kalau saja ia memperhatikan sosok Luna saat itu baik-baik, ia akan mengetahui bahwa Luna menyembunyikan sesuatu darinya dan terlihat sangat sedih.     

Ruangan menjadi gelap dan sangat sunyi. Tidak seorang pun berkata apa-apa. Bahkan jika ada jarum terjatuh di ruangan itu, mereka pasti akan mendengar suaranya.     

"Aku melakukan kesalahan itu... Aku tidak memberi kesempatan kepada Luna untuk memberitahuku bahwa ia memang sedang mengandung. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Seharusnya aku tahu, ia tidak pernah bersikap aneh seperti itu," kata Lauriel akhirnya dengan suara sedih. "Seandainya aku tahu... aku tidak akan pernah mengantarnya ke pelabuhan menuju Jerman sendirian. Aku akan selalu mendampinginya, tak akan pernah kubiarkan ia lepas dari pandanganku. Aku akan melindunginya dengan nyawaku..."     

Alaric dan Nicolae tidak dapat berkata apa-apa. Mereka sudah dapat melihat bahwa memang saat itu terjadi kesalahpahaman antara ibu dan ayah mereka. Kesalahpahaman ini tidak akan berdampak fatal seandainya perang tidak berkobar semakin hebat dan mengakibatkan kematian Luna.     

Seandainya Luna melahirkan di Jerman dengan selamat, cepat atau lambat Lauriel akan tahu apa yang terjadi dan menyusulnya ke sana, lalu keluarga mereka akan bersatu kembali.     

Alaric mengepalkan tinjunya, kemarahannya kepada manusia yang senang berperang kembali menguasai dadanya. Nicolae yang melihat kemarahan berkobar di wajah adiknya menghampiri Alaric dan merangkul bahunya.     

"Itu sudah berlalu. Tidak ada yang dapat kita lakukan sekarang," katanya dengan suara lembut. "Ayah menyimpan kesedihannya sendiri selama lebih dari seratus tahun. Kau menyimpan dendam untuk waktu yang lama... dan kini sudah saatnya kita untuk belajar menerima dan merelakan ibu, agar kita bisa melanjutkan hidup."     

Lauriel berdiri termenung. Ia memejamkan matanya dan berusaha keras untuk tidak dikuasai emosi. Sebagai seorang lelaki pendiam dan dingin, hanya hal yang demikian besar yang akan membuatnya bereaksi.     

Apa yang terjadi hari ini, membagikan momen-momennya bersama Luna kepada kedua anak mereka, ternyata cukup menguras emosi dan energinya. Entah kenapa ia merasa sangat lelah.     

Sudah lebih dari seratus tahun ia berusaha melupakan wajah Luna, agar ia tidak terus-menerus dihantui mimpi buruk saat tidur. Ini adalah kali pertama ia melihat wajah itu lagi setelah tahun 1945 ketika ia melepas Luna di pelabuhan menuju Eropa.     

Ia sungguh merindukan Luna.     

"Tolong... tinggalkan ayah sendiri," katanya dengan nada memohon, tanpa membuka matanya.     

Alaric yang masih mengepalkan tinjunya kemudian menoleh ke arah ayahnya dan melihat betapa wajah Lauriel dipenuhi penderitaan. Kepalan tinjunya perlahan-lahan mengendor dan ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri.     

Nicolae melepaskan Alaric lalu menghampiri ayahnya dan memeluk Lauriel sebentar lalu keluar dari ruang Holodeck. Alaric kemudian mengikuti jejaknya. Ia memeluk bahu ayahnya erat sekali selama satu menit... lalu juga berjalan keluar meninggalkan Lauriel sendirian.     

Mereka berdua tahu, sesudah momen intens yang demikian menguras emosi, Lauriel perlu diberikan waktu untuk berduka dengan sepatutnya.     

Setelah tinggal ia sendirian yang berada di ruang Holodeck, tubuh Lauriel terduduk di lantai dan ia menangis sejadi-jadinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.