The Alchemists: Cinta Abadi

Aku Tidak Bisa Membaca Pikiran



Aku Tidak Bisa Membaca Pikiran

3Ketika Alaric tidak bergabung kembali dengan anggota keluarganya di ruang duduk, melainkan langsung ke kamar tidur, Aleksis tidak bertanya apa-apa. Sebagai tuan rumah yang baik ia menjamu tamu-tamunya dan mengurusi keempat anaknya bersama ibu dan asistennya.     

Altair dan Vega sudah besar dan mereka sangat menyukai dua bayi kembar yang ada di keranjang bayi di dekat ibunya. Mereka tak henti-hentinya menggoda bayi-bayi berusia tiga bulan itu. Melihat betapa Ireland dan Scotland memiliki dua orang kakak yang sangat menyayangi mereka, London menjadi ikut sedih untuk Lily.     

Anaknya itu bukan hanya tidak mempunyai saudara, tetapi bahkan ia akan tumbuh dengan berbagi hidup antara ayah dan ibunya.     

Semakin lama London berada di rumah Aleksis dan Alaric, ia semakin sedih membayangkan bahwa cintanya kepada L bertepuk sebelah tangan. Walaupun gadis itu pernah bersedia menerima lamarannya... London merasa bahwa selama ini hanya dirinya yang berjuang untuk hubungan mereka, L masih lebih memilih kariernya daripada dirinya dan Lily.     

Ia melihat sendiri bagaimana ibu dan ayahnya selalu mesra dan saling mencintai, Alaric dan Aleksis juga tampak menampilkan cinta yang seimbang besarnya terhadap satu sama lain. Sementara dalam hubungannya dengan L, selalu hanya ia yang menampilkan rasa cinta sepihak.     

Kini London mengerti bahwa keputusan yang diambilnya sudah benar. Ia hanya akan menikah seorang wanita yang mencintainya sama besarnya dengan cintanya kepada wanita itu, dan saat ini, L bukanlah wanita yang seperti itu.     

Hubungan pernikahan harus didasarkan kesetaraan dan London tidak melihat itu ada di antara dirinya dan L sekarang. Selain karena L masih sangat muda, ia pun memiliki masa lalu rumit yang membuatnya sulit untuk menerima kehadiran London sebagai suaminya.     

London tahu L waktu itu menerima lamarannya hanya karena dua alasan. Alasan pertama adalah Lily, dan alasan kedua adalah karena L sudah merasa terdesak. London tidak pernah menyerah dan secara kasat mata tentu L menganggap ia  akan bodoh kalau tidak menerima lamaran dari lelaki yang demikian kaya dan berkuasa seperti London, karena itulah akhirnya ia menyerah dan menerima lamaran London yang terakhir.     

Tetapi kedua alasan itu bukan cinta. Itu juga bukan kepercayaan maupun kejujuran.     

London memeluk Lily ke dadanya sambil memberikan ASI lewat botol dan bergumam. "Love. Trust. Honesty. Chemistry. Don't settle for anything less.."     

Kejarlah Cinta, Kepercayaan, Kejujuran, Kecocokan. Jangan mau menikah dengan seseorang kalau hubungan kalian tidak memiliki keempat hal ini.     

Lily yang seolah mengerti keresahan ayahnya sama sekali tidak rewel. Ia adalah bayi terbaik di dunia, menurut London sendiri. Anak perempuannya menikmati susu sambil mempermainkan jemari ayahnya, seolah menghibur London yang sedang bersusah hati memikirkan seorang wanita mungil nan judes di Berlin sana.     

"Terry..." Nicolae yang baru muncul di ruang keluarga menghampiri sahabatnya dan mengajaknya berbincang-bincang. Tadi setelah keluar dari ruang Holodeck ia memutuskan untuk mencari udara segar. Ia membiarkan Alaric pergi ke kamarnya dan mereka tidak saling bicara. Ia tahu keduanya memiliki cara berbeda untuk mengungkapkan kesedihan dan kemarahan mereka.     

Alaric mengurung diri di ruangannya dan sama sekali tidak bergerak, sementara Nicolae menenangkan pikirannya dengan berjalan keluar dan menikmati hembusan angin malam di luar kastil. Setelah beberapa lama ia memutuskan untuk kembali ke dalam dan bertukar kabar dengan Terry.     

"Setelah ini, mungkin aku akan ke New York untuk mencari hal baru yang bisa kulakukan," kata Nicolae sambil menuang wine ke gelasnya. "Bagaimana menurutmu?"     

Terry tersenyum lebar mendengar kata-kata Nicolae. Ia sangat sibuk dengan pekerjaan, tetapi kalau Nicolae memutuskan untuk datang ke New York, ia akan dapat menyisihkan waktu dan mengajak sahabatnya itu untuk bergaul dengan orang-orang kalangan atas New York.     

Nicolae tidak tahu bahwa tadi sore saat ia bercakap-cakap dengan Aleksis di taman, Altair dan Vega menyempatkan diri memohon-mohon kepada Paman Terry untuk membantu mencarikan kekasih bagi Papa Nic di New York.     

Tadinya, Terry sendiri sudah berniat mengajak Nicolae ke tempatnya di kota metropolitan di Amerika Serikat tersebut jika Nicolae tidak bicara duluan. Ah.. Terry bahkan sudah membuat daftar kemana saja ia akan membawa Nicolae dan siapa saja gadis cantik yang akan ia perkenalkan kepada pemuda itu.     

"Aku akan senang sekali kalau kau mau ke New York. Kau mau tinggal bersamaku?" tanya Terry sambil mengambil botol wine dari tangan Nicolae. Ia juga menuangkan untuk dirinya sendiri.     

Nicolae menatap Terry dengan pandangan geli. "Kita bukan mahasiswa lagi.. hanya mahasiswa yang berbagi rumah karena mereka tidak sanggup menyewa apartemen sendiri..."     

"Hei, jangan bicara sembarangan, ya," cetus Terry sebal. "Sejak kuliah aku ini sudah mandiri dan tinggal di rumah sendiri. Aku tidak pernah berbagi rumah dengan siapa pun."     

Nicolae tersenyum sedikit. Kata-kata Terry benar juga. Pemuda itu sejak kuliah di Universitas St. Mary sudah tinggal di rumahnya sendiri di Joo Chiat, sementara Nicolae tinggal di apartemennya di Robertson Road. Sejak kuliah mereka justru tidak pernah berbagi rumah dengan siapa pun.     

Selama ini Nicolae hanya berbagi rumah dengan Altair dan Vega, dan dulu kadang-kadang ia tinggal dengan kedua anak itu dan Aleksis ketika mereka bertualang bersama.     

Mungkin akan menarik jika ia merasakan tinggal bersama sahabat lelakinya, sebagai sama-sama bujangan.     

"Memang akan seru. Aku bisa janjikan itu," kata Terry seolah membaca pikiran Nicolae. "Ayolah... kau ini bersikap seperti orang tua yang membosankan. Tinggallah bersamaku dan kita akan bersenang-senang bersama..."     

"Uhmm.. aku memang sudah tua dan membosankan," Nicolae mengoreksi ucapan Terry. "Umurku tahun ini sudah 105 tahun."     

"Ish.. kau tahu maksudku..." tukas Terry.      

Kedua pemuda yang berbeda usia 72 tahun namun tampak sebaya itu hanya tertawa pelan atas lelucon mereka sendiri. Nicolae mengangguk. Ia setuju untuk ikut ke New York dan mencari suasana baru dengan tinggal bersama Terry.     

***     

Aleksis yang telah menidurkan anak-anaknya, masuk ke kamarnya untuk mencari Alaric. Ia menemukan pria  itu sedang duduk termenung di ruang duduk menuju kamar mereka yang besar. Ia hanya duduk terpaku di sofa, bahkan tidak memegang gelas minuman sama sekali.     

"Sayang, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Aleksis dengan lembut sambil duduk di sebelah suaminya.     

Alaric tersenyum sedikit dan meraba rambut Aleksis pelan, tetapi ia tidak menjawab,     

Aleksis tidak memaksanya bicara, hanya duduk dan menyandarkan kepalanya ke dada pria itu dan berusaha mendengarkan detak jantungya. Jantung Alaric berdetak dengan sangat lambat.      

Setelah saling diam beberapa lama, Alaric akhirnya buka suara.     

"Bolehkah aku membaringkan kepalaku di pangkuanmu?" tanyanya pelan.     

Aleksis mengangguk. Ia segera memperbaiki duduknya dan menarik kepala Alaric untuk berbaring di pangkuannnya.     

Ia mengerti apa yang dirasakan suaminya. Alaric merasa kepalanya sangat berat - mungkin karena apa yang diperlihatkan Lauriel tadi di ruang Holodeck, tetapi semua permukaan yang disentuh kepalanya tidak dapat membuat kepalanya menjadi ringan. Karena itulah ia meminta izin untuk membaringkan kepala di pangkuan istrinya.     

Mereka diam dalam posisi seperti itu selama setengah jam. Alaric hanya memejamkan matanya sementara Aleksis mengusap-usap kepala suaminya yang ada di pangkuannya.     

"Terima kasih..." bisik Alaric kemudian. Ia lalu bangkit dari posisi berbaringnya dan menarik tangan Aleksis menuju ruang tidur mereka. "Ayo kita beristirahat. Besok hari besar."     

Aleksis menuruti ajakan suaminya. Mereka berganti pakaian tidur dan kemudian berbaring di ranjang sambil berpelukan.     

"Aleksis..." kata Alaric sebelum mereka memejamkan mata.     

"Ada apa?" tanya Aleksis.     

"Jangan pernah menyimpan perasaanmu dariku. Aku tidak bisa membaca pikiranmu," kata Alaric dengan nada suara sedih. "Kalau kau menginginkan aku melakukan sesuatu, katakan kepadaku terus terang. Kalau ada hal yang tidak kau sukai dariku.. kumohon kau beri tahu aku. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan ayahku..."     

Aleksis memutar tubuhnya menghadap Alaric dan menatap suaminya dengan sungguh-sungguh.      

"Aku berjanji," katanya tegas.     

Ia lalu mencium bibir Alaric, seolah mematerai perkataannya barusan sebagai janji.     

Alaric membalas ciuman istrinya dengan penuh kasih sayang. Mereka akhirnya tidur dengan hati tenang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.