The Alchemists: Cinta Abadi

Keputusan Di Pagi Hari



Keputusan Di Pagi Hari

0Setelah mereka tiba di rumah L segera mengurung diri di kamarnya. London terpaksa membiarkan L  karena tahu kesalahan ada padanya. Malam itu ia terpaksa kembali tidur sendiri di kamarnya.      

Saat ia berbaring di tempat tidur, London banyak berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Ia tidak tahu mengapa ia mudah sekali merasa kesal kalau melihat L dekat dengan laki-laki lain. Mungkin, selama mereka belum meresmikan pernikahan, ia masih merasakan kekhawatiran bahwa L akan berubah pikiran dan menemukan laki-laki lain yang lebih baik dari dirinya.     

Ia tahu bahwa menaklukkan hati L tidak mudah dan sebelum ia mendapatkan status kepemilikan seutuhnya, ia tidak boleh bersikap lengah. Tetapi ia sungguh tidak menyukai sikapnya sendiri yang terlalu mudah kesal seperti itu dan pada akhirnya berdampak pada L. Ia ingin sekali bisa santai dan percaya diri seperti ayahnya. Wajah mereka sangat mirip, kenapa ia tidak bisa bersikap seperti Caspar?     

Ketika London mengeluhkan hal ini kepada ayahnya lewat telepon, Caspar hanya tertawa.     

"Uhm... kita tidak bisa dibandingkan, London. Umurku sudah 470 tahun, sementara kau bahkan belum menginjak kepala tiga. Rasa percaya diri dan kedewasaan datang mengikuti pengalaman. Tetapi seharusnya kau tidak perlu menginginkan menjadi orang lain. Kalau kau seperti Papa, mungkin sekarang kau sedang mencampakkan kekasihmu yang kedua puluh dan akan mencari kekasih berikutnya. Kita tidak sama, dan kau tidak lebih buruk dariku."     

Mendengar kata-kata ayahnya, London hanya termangu. Kalau dipikir-pikir, ayahnya benar. L adalah cinta pertamanya. Ia belum pernah jatuh cinta dengan gadis mana pun sebelum ini dan ia tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan untuk menjadi kekasih yang baik.     

L juga belum pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun. Mungkin mereka berdua memang masih terlalu muda untuk menikah dan mengikat diri dalam suatu hubungan. Ia pun akhirnya harus mengakui kebenaran yang selama ini berusaha ia pendam, bahwa sebenarnya Lily adalah alasan utama mereka merencanakan pernikahan.      

Ia adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab, dan karena L mengandung anaknya, maka ia memutuskan untuk menikahi L dan mengambil tanggung jawab atas sang ibu dan anak. Jika London hendak jujur, seandainya L tidak hamil mungkin situasinya sekarang akan menjadi lain.     

Tanpa Lily, sebenarnya mungkin L sama sekali tidak akan memikirkan pernikahan, mengingat rata-rata usia wanita menikah di zaman ini adalah 35 tahun. Mengejar karier dan pendidikan sudah menjadi tujuan utama kaum wanita selama dua dekade terakhir. Tentu L pun seperti itu, pikirnya.     

Selama ini, bahkan London sendiri tidak pernah memikirkan untuk jatuh cinta dan menikah. Ia masih terlalu muda. Rata-rata kaum Alchemist baru mencari pasangan serius saat mereka sudah menginjak umur satu abad. Apa yang terjadi dengan L adalah suatu hal yang tidak terduga.     

Mungkin ia dan L memang harus memikirkan ulang semuanya.     

Semalaman London merenung di ruang tamu sambil menikmati segelas teh hangat yang disesapnya pelan-pelan. Ia ingin sekali minum sesuatu yang lebih keras, tetapi ia membatalkan niatnya karena ia merasa malam ini ia perlu berpikir dengan kepala jernih.     

***     

Pagi itu L tidak berlatih menyanyi seperti biasa. London tahu setiap L kesal atau sedih ia tidak melakukannya, sehingga pada setiap pagi dimana ia tidak mendengar suara nyanyian L, London akan tahu bahwa suasana hati L sedang buruk.     

Ia bangun saat hari sudah sangat terang, tanpa suara nyanyian L yang menjadi alarm tidurnya. Ia baru bisa memejamkan mata saat waktu sudah menunjukkan hampir pukul 3 dini hari dan tidurnya pun tidak nyenyak. Ia memutuskan untuk segera mandi dan bersiap-siap.      

Ketika London keluar kamarnya, ia menemukan sarapan telah tersedia di meja makan, sementara L sedang duduk di teras sambil menjemur Lily yang sedang menyusu dengan lahapnya. Ah, pasti sistem asisten rumah tangga digital mereka yang menyiapkan semuanya. London mencicipi sedikit makanan yang ada di meja dan mengangguk puas. Ia lalu berjalan keluar menemui L dan Lily.     

"Selamat pagi, L. Kau sudah sarapan?" tanya London setelah ia tiba di dekat kedua perempuan itu. L mengangkat wajahnya dan menggeleng.     

"Aku menunggumu," jawab gadis itu dengan suara datar. "Kau mau sarapan sekarang?"     

London mengangguk. Ia mengulurkan tangannya dan L mengerti bahwa pria itu ingin menggendong anaknya. Lily yang terkantuk-kantuk tidak sadar bahwa sumber makanannya telah ditutup dan tubuh mungilnya berpindah tangan ke gendongan ayahnya. Napasnya terasa halus ketika kemudian ia jatuh tertidur dan memejamkan matanya.     

London menggendong Lily dengan penuh kasih sayang dan menciuminya dengan tidak puas-puasnya sebelum kemudian menaruhnya di keranjang khusus untuk Lily di samping kursinya di ruang makan.     

L telah menuangkan secangkir kopi untuk mereka berdua dan tanpa suara mulai menikmati sarapannya. Suasana di meja makan terasa sepi, tidak seperti saat sarapan biasanya. Keduanya merasa lapar karena tadi malam sama-sama melewatkan makan malam.     

"Kapan kau akan berangkat ke acara penghargaan?" tanya London membuka pembicaraan setelah keduanya makan dalam diam selama sepuluh menit.     

"Acaranya dimulai jam 7 malam," jawab L.     

"Kau tidak menjawab pertanyaanku," balas London. "Apakah kau akan langsung pergi ke stadium atau kau ada rencana lain?"     

"Apa maksud pertanyaanmu? Kau menuduhku hendak menemui Rainfall sebelum acara penghargaan?" cetus L. "Kau masih belum puas membuatku kesal kemarin?"     

"Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin tahu. Maafkan aku yang kemarin keceplosan tentang Lily di depan anak-anak band itu. Aku sudah memerintahkan tim media untuk mengangkat berita tentang kau mengadopsi seekor anjing. Itu seharusnya bisa menepis gosip tentang anak."     

L tidak menanggapi kata-kata London dan kembali makan dalam diam.     

"Kau masih marah?" tanya London lagi.     

"Aku hanya capek. Itu saja." Akhirnya L menjawab.     

"Aku tadi malam banyak berpikir," London menghentikan sarapannya dan menatap L dalam-dalam. "Aku tidak tahu kenapa aku gampang sekali kesal dan cemburu saat melihatmu dekat dengan laki-laki lain. Aku sendiri tidak menyukainya. Setelah lama berpikir, aku menyadari... itu karena aku merasa tidak aman."     

"Apa maksudmu tidak aman?" tanya L keheranan.     

"Hubungan kita ini... Akhirnya aku bersikap jujur dan menyadari bahwa sebenarnya hubungan yang kita miliki ini seperti berjalan satu arah. Aku yang selalu mengejarmu dan ingin menikah denganmu, dan kau selalu menolak... Itu sebanya aku selalu merasa tidak aman. Kau tidak mencintaiku, sementara aku sangat mencintaimu."     

"Itu tidak benar. Aku sudah menerima lamaranmu..." L membantah kata-kata London.     

"Kau AKHIRNYA memang menerima lamaranku dan bersedia menikah denganku setelah aku melamar untuk kesekian kalinya. Tetapi, tadi malam aku sadar  bahwa... kau mungkin menerimanya karena kau sudah tidak melihat jalan lain, dan kau tidak bisa menolak lagi. Sampai sekarang aku belum pernah mendengar bahwa kau mencintaiku. Selalu hanya aku yang menyatakan cinta. Sekarang aku sadar, mungkin aku terlalu mendesakmu hingga kau merasa tidak punya pilihan dan bersedia menikah."     

London mengamati wajah L baik-baik saat ia bicara, berusaha meneliti isi hati gadis itu, tetapi seperti biasa, ia tak dapat membaca L.     

"Aku menyesal telah menjadi lelaki pencemburu dan posesif, tetapi aku tidak bisa mengubah diriku. Aku tak ingin terus-terusan membuatmu kesal, tetapi aku yakin ke depannya aku justru akan menjadi semakin cemburuan. Tolong jujurlah kepadaku, kalau aku membuatmu merasa terdesak... Aku akan berusaha memperbaikinya."     

L balas menatap London dengan pandangan rumit. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kepada Lily yang sedang tidur dengan imut sekali di keranjangnya. Akhirnya terdengar suara pelan dari bibirnya.     

"Aku... aku masih terlalu muda untuk menikah. Kalau bukan karena Lily, aku tidak akan berada di posisi ini." L tertunduk dan mempermainkan jari-jarinya. "Kau juga, kan, hanya menikahiku karena ingin bertanggung jawab atas Lily. Setelah mengetahui identitasmu, sangat sulit bagiku untuk bisa memutuskan dengan adil karena aku tahu kau hanya ingin bertanggung jawab kepadaku dan Lily, tetapi di saat yang sama aku tidak ingin kau dan orang-orang mengira aku menikah denganmu karena identitasmu. Ini posisi yang sangat menyulitkan bagiku."     

"Aku tahu kau masih sangat muda, dan aku mengerti itu. Aku belum pernah punya kekasih sebelumnya, dan kau juga. Aku mengerti kalau kau tidak ingin menikah denganku dan menyembunyikan semua ini dari pers. Aku tidak menyukai hal itu tetapi aku tidak bisa memaksamu."     

L terhenyak mendengar kata-kata London. "Apa maksudmu? Kau akan membatalkan pernikahan?"     

"Aku tidak bisa begini terus, L," kata London sambil menggelengkan kepalanya dengan berat hati. "Aku tidak bisa menjadi suami simpananmu dan anak kita menjadi rahasia yang kausembunyikan karena kau menganggapnya aib. Aku mengerti bahwa sebagai artis kau perlu melindungi reputasimu. Aku mengerti kau adalah seorang putri hakim yang tidak bisa berkata bohong. Aku juga mengerti bahwa kau masih terlalu muda untuk menikah dan membangun keluarga. Karena itu... aku sekarang membebaskanmu dari semua desakanku. Aku tidak mau kau masuk ke dalam keluargaku karena terpaksa..."     

"Kau.. sungguh-sungguh membatalkan semuanya?" tanya L dengan kening berkerut.     

"Benar." London mengangguk mantap. Ia telah memikirkan ini cukup lama semalam, dengan kepala jernih. Ia tahu setiap kali L tampil dengan pria lain dan gadis itu masih menyembunyikan hubungan mereka, London akan terus merasa cemburu, dan ia tidak menginginkan situasi seperti itu. "Sampai kau bisa mencintaiku, menerimaku sepenuhnya, dan mengakuiku dan Lily secara terbuka aku tidak akan memintamu menikah denganku lagi. Aku tidak bisa terus-terusan harus menahan diri melihatmu dekat dan digosipkan dengan laki-laki lain sementara kau berkeras ingin terus merahasiakan hubungan kita."     

L menggigit bibirnya. "Lalu apa yang kauinginkan sekarang?"     

"Aku ingin kau bahagia. Aku ingin kau mengetahui dengan pasti apa yang kau inginkan dalam hidup ini. Apakah bersamaku, atau tidak." London menghela napas panjang. Baginya berat memutuskan semua ini, tetapi ia sadar, ia harus bersikap tegas. "Karena kau ibu dari anakku, aku akan tetap memberikan ramuan keabadian kepadamu sebagai hadiah. Kau tidak harus menikah denganku. Kau bisa tetap tinggal di rumah ini bersama Lily dan aku akan mempekerjakan beberapa staf manusia untuk membantumu. Aku akan tinggal di rumah keluargaku dan kita dapat berbagi hak asuh atas Lily. Aku akan membawanya setiap kali kau perlu sendiri."     

L menatap London dengan ekspresi datar. "Baiklah."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.