The Alchemists: Cinta Abadi

Kemana L?



Kemana L?

3London paling tidak tahan melihat L menangis, tetapi apa pun yang dilakukannya tidak dapat menghentikan tangis gadis itu. L menangis terisak-isak sedih sekali dan ini membuat London bingung dan sedih pada saat yang sama. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.     

"L... kalau kau mau marah, marahilah aku. Kau boleh memukulku.. Aku yang bersalah karena menipumu. Semua berawal dari ketidaksengajaan, tetapi kemudian menjadi sangat sulit bagiku untuk mengatakan yang sebenarnya kepadamu." London berjalan mendekati L yang masih berdiri di depan pintu dengan air mata berlinang.     

Gadis itu menatapnya dengan pandangan canggung. Terlihat di matanya bahwa L sedang mengalami konflik batin. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada pria yang selama ini dikiranya sebagai pemuda miskin yang kebetulan menjadi ayah dari anaknya, dan malam ini baru diketahuinya ternyata sebenarnya merupakan seorang pria paling kaya dan berkuasa di Jerman, bahkan mungkin di seluruh daratan Eropa.     

"Aku... tidak tahu bagaimana harus bersikap," bisik gadis itu akhirnya. "Aku perlu waktu berpikir."     

London mengangguk. "Aku tidak terburu-buru. Kau harus beristirahat. Kita bisa bicara besok pagi."     

Ia membukakan pintu dan mempersilakan L masuk. Gadis itu menurutinya dan segera melangkah menuju kamarnya. London hanya memandang hingga gadis itu menghilang di balik pintu kamar, baru ia menuju kamarnya sendiri dan duduk di tempat tidurnya.     

Malam ini sungguh melelahkan. Ia merasa kalut melihat sikap L, tetapi pada saat yang sama ia juga lega. Akhirnya tumpukan kebohongan demi kebohongan yang sudah membebaninya selama ini berhasil dikeluarkannya.     

Sekarang tinggal menunggu pagi, dan meyakinkan L untuk menerimanya apa adanya.      

Ia lalu melepaskan sepatunya dan membuka pakaiannya, membersihkan wajah, lalu naik ke tempat tidur dan berusaha memejamkan mata. Waktu sudah menunjukkan pukul 2.30 pagi dan tubuhnya sudah sangat lelah.     

***     

Ketika ia bangun, matahari sudah tinggi. London membuka matanya dan mengerjap-kerjapkan sepasang matanya sambil berusaha mengumpulkan ingatannya. Hmm... Ia merasa ada yang hilang karena pagi ini ia tidak mendengar suara nyanyian L membangunkannya.     

Astaga! Elle!     

Ia seketika teringat apa yang terjadi tadi malam. Ia telah memberi tahu L identitasnya yang sebenarnya dan membuat gadis itu shock. L pingsan dan kemudian menangis sedih sekali saat mereka tiba kembali di rumah.     

London buru-buru bangkit dari tempat tidur dan dengan hanya mengenakan jubah kamar ia berlari keluar mencari L. Ia harus tahu mengapa L tidak latihan menyanyi pagi ini seperti biasanya.     

"Kalian lihat Nyonya?" tanyanya kepada dua orang perawat yang sedang bekerja di kamar Lily. Keduanya menggeleng.     

Jawaban dua wanita itu membuat perasaan London menjadi tidak karuan. Ia segera berlari kembali ke kamarnya dan menelepon ponsel L.     

Satu deringan.     

Dua deringan.     

Dua belas deringan.     

L tidak juga mengangkat teleponnya.     

Sial! pikir London gemas. Ia seharusnya tidak membiarkan L sendirian tadi malam. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu kini.     

Ia lalu menelpon Marc. Pengawalnya itu selalu mengawasi rumahnya siang malam dan pasti bisa memberitahunya kemana L pergi.     

"Ya, Tuan. Selamat pagi." Terdengar suara Marc yang ceria di ujung sana.     

"L menghilang. Kau harus cari tahu dia pergi kemana!" cetus London buru-buru.     

"Nona L..."     

"Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus bawa dia kembali kemari." Dengan tidak sabar London langsung menutup teleponnya tanpa memberi kesempatan pada Marc untuk bertanya  macam-macam. Pengawalnya itu sudah lama ikut dengannya kan? Seharusnya ia sudah tahu apa yang mesti dikerjakan.     

Dengan resah ia memijat kepalanya. Oh, L... mengapa kau harus pergi? pikirnya sedih.     

Ia memutuskan menunggu kabar dari Marc sambil minum kopi di teras rumah mereka. Setelah cangkir espresso ketiga, jantungnya sudah berdetak semakin cepat dan ia menjadi semakin uring-uringan.     

Heran, lama sekali Marc meneleponnya balik. Bukankah ia hanya perlu melihat rekaman CCTV dan mencari tahu kapan L pergi dan ke arah mana. Lalu selanjutnya ia bisa memeriksa semua kamera lalu lintas di seluruh Berlin dan melacak lokasi L sekarang?     

Sesusah apa sih melakukan hal gampang begitu? Minimal ia seharusnya bisa memberi tahu majikannya kabar terbaru, di mana L sekarang berada sebelum berusaha mencarinya langsung.     

London baru saja hendak masuk ke dalam rumah dan mengambil kopi berikutnya ketika pintu gerbang rumah mereka membuka secara otomatis dan Marc masuk menggendong seorang wanita yang meronta-ronta di bahunya sambil menarik tali seekor anjing beagle.     

"Lepaskan aku!! Brengsek kau!! Heiiiii... Lepaaaasss!!!"     

Cangkir kopi di tangan London segera terjatuh dan pecah berantakan di lantai saat pemuda itu melihat kedatangan Marc. Ia buru-buru menghambur dan memarahi pengawal setianya.     

"Ada apa  ini?" tanyanya kaget.     

Marc menurunkan L yang sedari tadi meronta-ronta dan memukuli punggung Marc dengan sekuat tenaga. "Aku membawa Nona L pulang sesuai perintah Tuan."     

Begitu L menjejakkan kakinya di tanah ia segera menghentakkan kakinya dengan marah.     

"Oh, jadi ini perintahmu, ya? Kau suruh orang menculikku, begitu????? Kau pikir mentang-mentang kau ini kaya dan berkuasa, kau bisa seenaknya? Begitu????!!!"     

Dengan berkacak pinggang ia melotot ke arah London sambil menunjuk-nunjuk.      

"Aku... " London masih shock karena ternyata L tidak pergi jauh, melainkan sedang membawa Yves jalan-jalan ke sekitar kompleks perumahan mereka, dan Marc barusan 'menculiknya' secara paksa untuk memenuhi perintah bosnya agar membawa Nona L pulang.     

"Kenapa diam saja? Lidahmu digigit kucing?" sergah L masih berkacak pinggang. "Kau bisa bayangkan betapa kaget dan takutnya aku saat raksasamu ini menculikku...!"     

London terkesima melihat L marah-marah kepadanya. Ia tahu ia yang salah. Sekarang dia ingat tadi Marc sempat hendak mengatakan sesuatu ketika ia meneleponnya, tetapi London buru-buru memutuskan hubungan.     

Pasti tadi Marc bermaksud mengatakan bahwa L hanya sedang keluar membawa Yves.. tetapi London sama sekali tidak memberinya kesempatan bicara.     

Dan sekarang L marah-marah karena sudah dipaksa pulang.     

"L sayang..." Seulas senyum lega terukir di bibir London saat ia menyerbu L dan memeluknya kuat-kuat. "Aku senang sekali mendengarmu marah-marah. Kau tidak tahu betapa aku merindukan omelan-omelanmu ini. Tolong kau marahi aku saja kalau aku berbuat kesalahan, jangan menangis. Aku tidak sanggup melihatnya kalau kau menangis..."     

L tertegun mendengar kata-kata yang diucapkan pria itu dengan sangat tulus. Untuk sesaat tubuhnya membeku dalam pelukan London. Tali leher Yves terlepas dari tangannya, dan anjing beagle lincah itu pasti sudah akan kabur keluar gerbang kalau Marc tidak buru-buru menangkapnya.     

Dengan tahu diri, Marc lalu berjingkat-jingkat sambil membawa Yves keluar gerbang, memberi privasi kepada majikannya.     

London yang tadi hendak memarahinya kemudian berubah pikiran. Memang dirinyalah yang bersalah karena salah memberikan perintah kepada Marc.     

Ah... yang penting sekarang L sudah kembali dalam pelukannya.     

Ia melonggarkan pelukannya pada L dan menatap L dalam-dalam. "Aku minta maaf. Tadi aku sangat kuatir kau pergi meninggalkanku akibat peristiwa tadi malam. Karena panik aku meminta Marc mencarimu dan membawamu pulang..."     

L memutar matanya dan mendengus. "Aku belum bilang kau boleh memelukku."     

London buru-buru melepaskan tangannya dari tubuh L dan mundur dua langkah. "Maaf.. aku terbawa suasana."     

L melengos dan berjalan melewatinya masuk ke dalam rumah. London buru-buru mengikuti langkahnya.     

"Kenapa kau  tidak latihan menyanyi pagi ini? Aku tidak mendengar suaramu sehingga aku bangun kesiangan, dan ketika aku mencarimu ke seisi penjuru rumah, aku tidak menemukanmu. Kau tidak tahu betapa paniknya aku..." London mengadu kepada L seperti seorang anak mengadu kepada ibunya tentang raportnya di sekolah yang buruk.     

"Aku tidak latihan menyanyi karena aku takut membangunkanmu. Kau baru tidur subuh, mana tega aku membuatmu kehilangan waktu istirahatmu," jawab L sambil berjalan masuk ke rumah, sama sekali tidak menoleh kepada London yang berjalan menjajarinya.     

"Oh.. lalu kenapa kau tidak mengangkat ponselmu? Aku menelepon belasan kali, tapi kau tidak mengangkatnya."     

"Ponselku jatuh di jalan saat sedang mengejar Yves. Dia menemukan lubang kelinci dan memutuskan untuk berburu," jawab L. Ia sudah tiba di depan pintu kamarnya dan membuka pintu.     

"Oh.. maafkan aku. Tadi kupikir kau sudah tidak mau bicara denganku lagi, makanya aku panik..." London masih mengikuti L seperti anak kecil mengikuti ibunya.     

Saat itu L akhirnya berbalik dan menahan dada pemuda itu dengan tangan kanannya. "Kau mau kemana? Ini kamarku."     

London celingak-celinguk dan menyadari bahwa gadis itu benar.     

"Ahh... iya, kita sudah tiba di kamarmu." Ia mengangguk-angguk.     

"Kau kan punya kamarmu sendiri, kenapa ikut aku ke sini?" tanya L sambil mengangkat sebelah alisnya.     

"Kau benar. Aku salah kamar..." London menggaruk-garuk kepalanya. "Kalau begitu aku mandi dulu. Kita bertemu di ruang makan untuk sarapan? Aku ingin bicara denganmu."     

L menghela napas panjang, dan akhirnya mengangguk.     

"Baiklah. Sampai jumpa nanti." London memeluk L dengan cepat sebelum gadis itu dapat menghindar, lalu bergegas menuju kamarnya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.