The Alchemists: Cinta Abadi

Cemburu



Cemburu

0L mengerutkan keningnya dan melongok ke kiri dan ke kanan ketika melihat mobil yang membawa mereka masuk ke area yang cukup dikenalnya. Ini adalah kawasan paling elit di Jerman tempat berbagai gedung perkantoran, kompleks apartemen dan perbelanjaan, serta pusat gaya hidup berada.     

Mobil masuk ke pelataran parkir Hotel St. Laurent Berlin dan kemudian berhenti. L menoleh ke arah London yang tampak acuh saja.     

"Kami akan tinggal di hotel?" tanya L keheranan.     

Pria yang duduk di sebelahnya itu hanya menggeleng. "Bukan hotel, tapi penthouse di lantai paling atas. Itu adalah tempat tinggal pribadiku."     

"Oh..." L masih terkesima mendengar kata 'penthouse'. Ia ingat betapa mewahnya Presidential Suite yang ia tinggali di London kemarin. Tentunya penthouse jauh lebih mewah lagi kan?     

"Lily sudah tidur, kemarikan dia, biar aku yang menggendongnya," kata London sambil menunjuk Lily yang sudah memejamkan mata dengan mulut terbuka lebar dan tampak sisa ASI menetes dari pinggiran bibirnya.     

L mengangguk. Ia menyerahkan Lily dengan sangat perlahan kepada London agar bayinya tidak terbangun. Ia lalu membereskan mengancingkan bajunya dan menutupkan syalnya ke ke leher dan dagunya agar menyembunyikan sebagian wajahnya. Tidak lupa ia juga mengenakan kacamata hitam. Sepintas lalu, orang-orang tidak akan mengenalinya sebagai L, sang penyanyi.     

Marc membukakan pintu untuk mereka dan keduanya segera keluar dari mobil.     

"Selamat datang, Tuan," sapa manajer on-duty yang menyambut kedatangan mereka. London hanya mengangguk dan meneruskan berjalan ke dalam gedung. L mengikuti langkahnya sambil menundukkan wajah. Ia berharap tidak ada orang yang mengenalinya di sini.     

Di dalam lift, London memencet tombol lantai 40 dan segera lift naik ke atas membawa mereka menuju penthouse.     

"Ada tiga kamar tidur di penthouse ini. Kau bisa pilih mau menggunakan kamar yang mana saja. Aku sudah lama tidak tinggal di sini, tetapi masih ada beberapa barangku di kamar utama." London menjelaskan.     

"Kenapa kau tidak tinggal di sini?" tanya L keheranan.     

London menatapnya dengan pandangan rumit. Entah L memang polos atau ia tiba-tiba menjadi bodoh? pikirnya keheranan.     

"Kan aku tinggal bersamamu?" London balik bertanya. "Kau lupa punya teman serumah tampan di apartemen sederhana kita selama tiga bulan hingga Lily lahir? Lalu di Grunewald selama beberapa bulan berikutnya?"     

L menekap bibirnya sambil menatap London dengan mata terbelalak. "Astaga.. benar juga."     

London tersenyum dan menepuk kening gadis itu pelan. "Kau pasti sedang banyak pikiran."     

L tertunduk. Ia memang sedang sangat banyak pikiran. Seharusnya ia sadar bahwa selama London tidak tinggal di penthouse-nya, pria itu tinggal bersamanya. Setidaknya hingga tiga minggu lalu ketika mereka resmi berpisah dan London membatalkan rencana pernikahan mereka.     

Memikirkan pembatalan pernikahan itu kembali membuat dadanya sesak. L berusaha mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Rasanya ia akan menangis kalau terus-menerus memikirkan hal buruk seperti itu.     

London memperhatikan ekspresi L yang mendung. Ia bisa menduga hal-hal apa saja yang membebani gadis itu. Ia berharap mereka akan segera dapat menyelesaikan masalah L dan ia bisa melihat gadis itu kembali bahagia.     

"Selamat datang." London membuka pintu dengan sidik jarinya dan mempersilakan L masuk ke dalam penthouse. "Aku akan mengambil sidik jarimu untuk membuka kunci pintu ini nantinya, jadi kau bisa datang dan pergi kapan saja kau mau."     

L tertegun melihat ada keranjang tempat tidur bayi di ruang tamu penthouse maha luas itu. Ia tidak tahu London sudah menyiapkan semuanya. Pandangan terkejut gadis itu tidak luput dari perhatian London. Pria itu hanya tertawa dan menghampiri keranjang bayi dan menaruh Lily pelan-pelan untuk melanjutkan tidurnya di sana.     

"Aku menaruh semua perlengkapan bayi di tempat-tempat yang banyak aku datangi. Kau seharusnya lihat, di kantorku ada mesin pensteril botol bayi dan tempat tidur bayi," kata London dengan nada riang.     

"Benarkah?" tanya L keheranan. "Aku tidak tahu."     

"Aku tidak pernah bilang, lagipula kau juga tidak pernah bertanya," jawab London. Ia mencium pipi Lily dan membiarkannya beristirahat. "Mau kutunjukkan isi tempat ini?"     

Dengan ragu-ragu L mengangguk. London menggenggam tangannya dan menarik L berkeliling ke ruangan demi ruangan. L hampir tak dapat menahan decak kekagumannya saat ia memasuki kamar tidur demi kamar tidur yang begitu luas dan mewah, lalu ruang duduk, ruang kerja, dapur yang sangat modern dan luas, ruang menonton, balkon luas dengan taman yang rindang, kolam renang infinity...     

Tempat ini bahkan jauh lebih mewah daripada rumah-rumah orang kaya yang masuk dalam majalah gaya hidup. Untuk sesaat L terpesona dan tak dapat bersuara sama sekali. Sekali lagi dadanya menjadi sesak.     

Ia ingat betapa selama hampir tujuh bulan, pria ini, yang hidupnya selalu dilimpahi kemewahan, telah meninggalkan tempat tinggalnya yang indah dan nyaman untuk tinggal bersamanya. Rumah mereka di Grunewald memang termasuk besar dan mewah, tetapi tetap tidak dapat dibandingkan dengan penthouse ini. Apalagi apartemen mereka yang dulu...     

"Kenapa wajahmu begitu?" tanya London keheranan saat melihat ekspresi L yang tampak tertekan. "Kau tidak suka tempat ini?"     

L menggeleng. "Bukan begitu.. Aku..."     

"Ada apa? Kenapa kau terlihat sedih?" London berusaha mendesak L. "Ingat, L, aku tidak bisa membaca pikiran. Kalau kau tidak mengatakan isi hatimu, aku tidak tahu apa yang kau pikirkan. Kalau kau tidak suka tempat ini, tolong katakan yang sejujurnya. Kita kan sudah berjanji untuk memperbaiki komunikasi kita?"     

Ia memegang kedua bahu L dan menatap matanya dengan penuh selidik. Gadis itu hanya bisa tertunduk.     

"Aku... merasa terharu, karena..." Suaranya pelan sekali, hampir tidak terdengar, sehingga London harus menundukkan wajahnya agar dapat mendengar kata-kata L. Gadis itu bicara dengan terbata-bata. "Kau mau meninggalkan tempat semewah ini... untuk... tinggal bersamaku..."     

London hampir tak percaya pada pendengarannya sendiri. Benarkah L mengucapkan kalimat-kalimat itu? Ia terharu? Astaga...!     

L memang sudah benar-benar berubah, pikirnya.     

Satu yang masih sama adalah gadis itu masih tidak pandai mengungkapkan isi hatinya. Tetapi setidaknya ia sudah berusaha bicara, pikir London.     

"Kenapa tidak? Rumah adalah orang yang ada di dalamnya, bukan bangunannya." London tersenyum dan menyentuh dagu L dengan lembut. "Aku lebih suka tinggal bersamamu dan Lily di tempat sederhana daripada tinggal sendirian di tempat mewah sekalipun."     

L mengangkat wajahnya dan menatap London dengan agak bingung. Ia tidak menepis tangan pria itu yang menyentuh dagunya. Ia sebenarnya merasa berdebar-debar, tetapi pada saat yang sama ia juga tidak mengerti kenapa London memperlakukannya seperti ini.     

Bukankah mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa? Setidaknya selama sebulan ke depan mereka masih berstatus teman karena L dan London baru akan membahas kembali hubungan mereka setelah London bertemu dengan wanita-wanita lain dan keduanya selesai berpikir.     

"Kau sudah mulai jago merayu..." komentar L akhirnya. "Apakah ini hasil dari kencan yang diatur Jan itu?"     

Ia berusaha keras menjaga nadanya agar terdengar acuh, tetapi tetap saja suaranya terdengar seperti seorang gadis yang sedang cemburu. Hal ini tidak luput dari perhatian London. Pria itu hanya menganguk-angguk jahil.     

"Bisa dibilang begitu..."     

L mengerucutkan bibirnya dan membuang muka. London sekarang benar-benar yakin bahwa gadis itu memang cemburu dan ia merasa senang sekali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.