The Alchemists: Cinta Abadi

Keributan di Lapangan



Keributan di Lapangan

0"Aku bisa memaafkanmu kalau aku bisa memukulmu tiga kali... di lapangan," kata Charles.     

Gila! Tiga kali... Sepasang mata Altair segera tampak menyala-nyala. Ini sama sekali tidak adil, apalagi dia merasa tidak bersalah.     

"Enak saja," kata remaja itu buru-buru. "Aku bisa menerima dipukul satu kali olehmu untuk menyelesaikan ini. Tapi tidak lebih!"     

"Eh?" Nicolae membulatkan matanya mendengar kata-kata Altair. Anak itu bersedia dipukul satu kali agar masalah ini menghilang? Astaga...     

"Kalau tiga kali, nanti bekas pukulannya kelihatan. Ayah bisa curiga," Altair berbisik kepada Nicolae. "Sekali sih, aku tidak apa-apa."     

Barulah Nicolae mengerti apa maksud Altair. Pemuda itu tidak ingin memperpanjang masalahnya dengan Charles, tetapi ia juga tidak mau menerima pukulan yang akan meninggalkan bekas dan membuat ayahnya curiga.     

"Kau... tidak apa-apa, begitu?" tanya Nicolae sambil memegang tangan Altair, berusaha memastikan anaknya tidak kenapa-kenapa.     

"Ah.. Papa, laki-laki kan biasa kalau hanya menerima pukulan satu dua kali. Asalkan tidak meninggalkan bekas di wajahku yang tampan ini," jawab Altair seenaknya.     

"Kau!" Charles sangat sewot mendengarnya. Ia merasa Altair sama sekali memandangnya remeh. "Kau sombong sekali ya?"     

"Hei.. aku hanya memberimu kesempatan satu kali. Terserah kau mau ambil atau tidak," cetus Altair.     

Charles menoleh kepada ayahnya. "Ayah.. tolong telepon polisi saja."     

Dengan mendengus, Ron Gilbert segera mengeluarkan ponselnya hendak menelpon kantor polisi. Altair mendesah panjang dan wajahnya tampak menjadi sangat kesal.     

"Ugh! Baiklah. DUA kali. Itu saja. Awas kalau lebih. Kalau kau sampai memperpanjang masalah ini, kau sendiri yang akan menyesal." Altair segera mengangkat tangan dan memberi tanda bahwa ia bersedia mengalah.     

Charles tampak menimbang-nimbang pilihannya. Sebenarnya, asalkan ia bisa memukul Altair di lapangan di depan banyak orang, dia sudah puas. Nama baiknya akan pulih, karena teman-temannya yang kemarin menghinanya karena kalah berkelahi dari anak kelas dua bisa melihat bahwa ia mendapatkan pembalasannya.     

Kalau Altair dimasukkan ke penjara, kemungkinan teman-temannya akan menganggapnya pengecut karena mengandalkan pengaruh ayahnya untuk menyingkirkan Altair.     

Lagipula... ia toh masih bisa memasukkan anak brengsek ini ke penjara kapan saja. Ia bisa melakukannya nanti. Yang penting sekarang ia akan mendapat kepuasan dengan memukul Altair. Ha. Dua kali juga tidak apa-apa. Ia akan memukul sekuat tenaga.     

"Baiklah. Aku setuju," Charles menepis hidungnya dan mendengus lagi. Ia lalu menoleh kepada ayahnya. "Ayah... kita kasih mereka keringanan kali ini. Nanti kalau dia macam-macam lagi, kita bisa memasukkannya ke penjara."     

"TIDAK akan ada lain kali," tukas Altair. "Mulai hari ini, kalau kau melihatku, kau harus bersikap seolah kita tidak saling kenal. Kalau sampai terjadi hal seperti kemarin, KAU-lah yang akan menyesal."     

Altair mengatakan hal yang sesungguhnya. Kalau sampai Charles mengganggunya lagi, ia tidak akan tinggal diam dan mau tidak mau Alaric pasti akan tahu. Kalau itu sampai terjadi.. maka bisa dipastikan keluarga Gilbert akan mengerti apa yang dimaksud dengan penyesalan.     

"Banyak bicara, kau. Ayo sekarang kita ke lapangan," kata Charles dengan tidak sabar.     

"Aduh... kekerasan bukanlah solusinya, Anak-anak. Kenapa kalian tidak bisa berdamai saja?" tanya Miss Haney dengan resah.     

Nicolae tersenyum sedikit dan berusaha menenangkan beliau. "Tidak apa-apa, Miss. Ini masalah di antara dua anak lelaki, biarkan mereka yang menyelesaikan dengan caranya sendiri. Yang penting, Altair sudah memastikan bahwa masalahnya selesai sampai di sini. Aku harap Charles juga akan seperti itu dan menghormati kesepakatan hari ini."     

Akhirnya sang wali kelas tak dapat berbuat apa-apa. Altair permisi dan segera keluar dari ruangan kepala sekolah diikuti Charles dan ayahnya. Nicolae berjalan bersama Miss Haney mengikuti mereka ke lapangan olahraga yang terletak di depan gedung perpustakaan.     

Tampak murid-murid yang baru pulang sekolah ramai berkumpul di sana. Sebagian ada yang sedang bersiap pulang, ada juga yang sekadar nongkrong untuk ngobrol dengan teman-temannya. Begitu mereka melihat kedatangan Altair dan Charles, mereka semua segera ribut.     

Semua bertanya-tanya, apakah ini tandanya akan ada perkelahian lagi seperti kemarin? Wahh.. pasti seru sekali.     

Kemarin perkelahiannya tidak seimbang karena Altair jauh lebih kuat daripada Charles dan ia berhasil menghajar Charles tanpa ampun. Lihat saja, sekarang wajah pemuda itu sudah penuh lebam-lebam biru dan bibirnya masih bengkak.     

Eh... ada guru juga? Lalu ada beberapa orang dewasa? Apakah ini orang tua keduanya?     

Murid-murid yang tertarik dengan apa yang akan segera terjadi segera berkumpul melingkar dengan Altair dan Charles berada di tengah. Dengan antusias mereka memperhatikan apa yang akan segera terjadi.     

"Oke... kau bisa mulai," kata Altair dengan suara dingin. Ia sama sekali tidak mempedulikan murid-murid di sekelilingnya yang berteriak menyemangati atau mencemooh. Ada juga beberapa siswa perempuan yang tampak bergidik dan menangis ketika menyadari apa yang akan segera terjadi.     

"Vega... hei... ayo ke lapangan olah raga!" seru Tatiana kepada Vega yang sedang asyik menuliskan beberapa tugas di bukunya.     

"Ada apa?" tanya Vega tanpa mengangkat wajah dari bukunya.     

"Charles dan Altair sepertinya akan berkelahi lagi... Ayo cepaaaat!!" cetus Tatiana sambil mengguncang-guncang bahu gadis remaja itu.      

"Ya, sudah, biarkan saja. Altair tidak akan kenapa-kenapa, kok..." balas Vega tidak berminat. Ia masih sibuk menulis.     

"Tapi, kali ini sepertinya saudaramu tidak akan melawan. Aku mendengar gosip bahwa Charles akan memaksanya menerima tiga pukulan sebagai balasan kemarin, kalau tidak ayahnya yang pengacara terkenal akan memasukkan Altair ke penjara."     

"Eh? Benarkah?" Vega tampak terkejut. Ia buru-buru menutup bukunya lalu membereskan tasnya dan bergegas keluar kelas menuju lapangan.     

Setibanya mereka di sana, Altair baru menerima pukulan pertama. Murid-murid lain berteriak serempak saat tinju Charles menghajar pipi Altair sekuat tenaga. Altair meraba pipi kirinya dengan ekspresi yang berusaha dibuat agar tetap tenang. Ia tidak ingin terpancing kemarahan dan membalas pukulan Charles.     

"Hmmm... itu satu. Kau punya kesempatan satu kali," kata pemuda dengan tenang.     

"Ugh... kau masih saja bersikap sombong," cetus Charles sambil menyeringai. "Mari kita lihat apa kau masih bisa bicara sesudah pukulanku berikutnya ini..."     

Ia mengepalkan tinjunya dan bersiap menghajar Altair sekali lagi.     

CIYAAAATT     

Altair dapat melihat bahwa tinju Charles kali ini dikerahkan dengan segenap tekad dan kebencian dan terarah ke hidungnya. Walaupun ia dapat menahan sakitnya.. ia tiba-tiba kuatir jika tinju Charles kali ini akan membuat hidungnya patah.     

Ia tak akan dapat menyembunyikan hidung patah dari ayahnya. Aduhhh...     

"Heii!! Laki-laki brengsek!! Jangan kau pukul kakakku!!!" Tiba-tiba terdengar jeritan Vega dan di saat yang sama gadis itu telah menyerbu Charles dengan tendangan ke arah pinggangnya... tepat di saat tinju Charles hampir menyentuh hidung Altair.     

Dalam sekejap pemandangan berubah. Charles tahu-tahu terkapar di tanah dengan kaki kanan Vega menginjak pinggangnya dan Altair berdiri kaku di tempatnya, memejamkan mata, siap menerima tinju Charles pada hidungnya yang tidak kunjung tiba.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.