The Alchemists: Cinta Abadi

Khayalan Caroline



Khayalan Caroline

1Sementara itu di sebuah suite mewah di hotel tengah kota Caroline Wendell menutup teleponnya dan kemudian menyimpan ponsel itu di dalam tasnya. Wajahnya menyunggingkan senyum tipis.     

"Ini adalah perkembangan yang sangat bagus," pikir Caroline dalam hati. Senyum tipis di wajah cantiknya perlahan-lahan semakin berkembang menjadi senyum lebar dan matanya berkilat-kilat dipenuhi kepuasan.     

"Itu telepon dari siapa?" tanya sebuah suara dan muncullah seorang lelaki yang keluar dari dalam kamar. Caroline menoleh ke arah pria itu dan mengangkat bahu. Danny Swann tampak baru bangun dan wajahnya masih mengantuk. Pria itu bersikeras ikut dengannya ke Berlin walaupun Caroline sudah berusaha mencari alasan agar ia tidak usah datang.     

Tadi malam ia juga tidak berhasil membuat Danny pergi dan mereka menghabiskan malam bersama. Danny bangun kesiangan dan suasana hatinya terlihat tidak terlalu baik.     

"Bukan siapa-siapa. Aku hanya buat janji dengan temanku di Berlin." Akhirnya Caroline menjawab dengan nada biasa.     

"Temanmu? Temanmu yang mana?" tanya Danny dengan nada suara menyelidik.     

Caroline menatapnya dengan pandangan tajam. "Tidak semua temanku harus kau kenal, kan?"     

"Kenapa nada suaramu menjadi ketus begini?" Danny mengerutkan keningnya keheranan. "Tentu saja aku bertanya karena kita teman dari masa kecil. Semua temanmu pasti aku kenal. Kalau tiba-tiba kau ingin bertemu dengan orang lain di sini, maka wajar saja jika aku akan bertanya-tanya."     

Pria  itu mulai tampak tersinggung. Caroline lalu melambaikan tangannya untuk meredakan suasana. Ia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk bertengkar dengan kekasihnya ini.  Ia mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut.     

"Sayang, ini hanyalah urusan perempuan. Kau tidak perlu tahu. Aku juga harus bertemu dengan ayahku untuk mengurus presentasinya besok di acara konferensi." Ia menghampiri Danny Swann dan memeluk lehernya untuk menenangkan pria itu. "Bukankah kau juga hendak bertemu dengan pengacara untuk mengurusi surat wasiat kakekmu itu?"     

Danny menatap Caroline dengan ekspresi sebal dan akhirnya ia hanya mengangguk.     

"Benar," jawabnya dengan suara tidak bersemangat.     

"Kau tahu apa pendapat ayahku, kan? Dia tidak akan merestui hubungan kita kalau kau tidak berhasil mengamankan warisanmu. Jangan salahkan aku kalau Ayah tidak mau menemuimu."     

Mendengar kata-kata Caroline, Danny mengerutkan keningnya karena kesal, tetapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Akhirnya setelah menarik napas panjang, ia pun mengangguk.     

"Aku akan membereskan itu sekarang."     

Caroline menatap Danny Swann dengan mata menyipit. Ia bisa melihat kilatan berbahaya di sepasang mata pria itu.     

Caroline tahu selama beberapa minggu terakhir ini, Danny telah melakukan begitu banyak cara untuk memperoleh 100% harta warisan dari kakeknya. Ia sudah mengerahkan semua pengacara keluarganya, dan bahkan tidak segan-segan menggunakan cara kotor dengan memfitnah dan menyebarkan kabar bohong di media bahwa ia telah menikah dengan L.     

Satu-satunya cara yang belum dicoba oleh Danny adalah membunuh. Namun Caroline cukup mengenal pria itu. Ia tidak yakin Danny akan cukup kuat untuk bisa membunuh L demi mengamankan warisannya.     

"Baiklah, Sayang. Kau lakukan apa yang perlu kau lakukan. Nanti aku akan meneleponmu," kata Caroline sebelum kemudian mencium bibir Danny dan melepaskannya. "Aku akan bersiap-siap dulu."     

Gadis itu lalu masuk ke kamar mandi dan Danny Swann terpaksa mempersilakan dirinya sendiri meninggalkan tempat itu karena tuan rumah sudah memberinya isyarat tidak langsung untuk pergi.     

Setelah memastikan Danny Swann pergi dari suite-nya, Caroline segera bersiap-siap untuk menemui London. Ia ingin tampil istimewa dalam pertemuannya dengan pria terkaya di Eropa itu. Ia menduga London Schneider tertarik kepadanya hingga mengundangnya untuk datang langsung ke penthouse tempat tinggalnya di Berlin, bukan hanya sekadar makan malam di restoran.     

Dalam hati, Caroline penasaran ingin tahu seberapa mewah tempat tinggal pria itu. Caroline bukan seorang gadis miskin. Keluarganya masih berdarah bangsawan dan mereka memiliki banyak kenalan orang-orang kalangan atas. Namun, tetap saja Caroline tahu bahwa keluarga Schneider berada di level yang sama sekali berbeda dari orang-orang yang selama ini pernah ditemuinya.     

Karena itulah, ia sangat ingin tahu seperti apa kekayaan dan kemewahan yang dimiliki keluarga itu. Pukul 6 sore, telepon di ruang tamu penthouse berbunyi dan petugas lobi memberi tahu London bahwa Caroline telah tiba.     

"Silakan antar saja dia ke atas. Katakan kepadanya aku menunggu di sini," kata London.     

"Baik Tuan. Tamu Anda akan segera saya antar," kata sang petugas lobi.     

Sepuluh menit kemudian, pintu penthouse sudah diketuk. London berjalan santai dan membuka pintu bagi tamunya.     

"Selamat datang, Caroline. Aku sudah menunggumu," sapa pemuda itu dengan suara ramah sambil mengembangkan lengan kanannya, memberi tanda agar Caroline masuk.     

Gadis itu tersenyum manis dan melangkah masuk ke dalam penthouse sambil melihat ke sekelilingnya. Gadis itu benar-benar terpukau melihat betapa luasnya tempat itu dan betapa mewah penataannya. Ia benar-benar belum pernah melihat tempat tinggal semewah ini.     

Dalam hati kecilnya Caroline berharap suatu hari nanti ia akan dapat menikmati kemewahan seperti ini dalam hidupnya. Ahh.. tentu akan sangat menyenangkan jika London Schneider memang menyukainya.     

Ia sama sekali tidak akan berpikir dua kali. Baginya, Danny Swann hanyalah teman masa kecil yang sempat menjadi kekasih di masa mudanya. Tetapi kekayaan keluarga Swann benar-benar tak dapat dibandingkan dengan kekayaan keluarga Schneider.     

"Kau mau melihat-lihat tempat ini?" London menawarkan. Sepasang mata Caroline tampak berbinar-binar mendengar tawaran itu.     

"Bolehkah? Tentu saja aku mau..." cetus gadis itu dengan penuh semangat.     

"Sebentar ya.." London memberi tanda agar Caroline menunggunya di ruang tamu. Ia memencet sebuah tombol dan sesaat kemudian masuklah seorang robot pelayan dengan membawa nampan berisi dua buah gelas dan sebotol wine yang sangat mahal. London mengambil botol wine dan menuang masing-masing segelas untuk mereka. "Kita bisa jalan-jalan keliling tempat ini sambil minum."     

"Ahh... ini sangat menyenangkan," komentar Caroline. Ia menerima segelas wine dari London dan menyesapnya dengan wajah berbinar-binar.     

Dalam hati ia menduga bahwa Tuan Rumah ingin melakukan lebih dari sekadar berkeliling penthouse dengan memberinya minuman beralkohol.     

Ah.. kalau sampai nanti mereka akan terlibat kegiatan panas, Caroline harus dapat menghindar dan berpura-pura jual mahal. Ia tidak boleh terlalu mudah didekati, agar pria ini menjadi penasaran dan semakin bernapsu mengejarnya.     

Pikiran-pikiran ini membuat Caroline merasa sangat senang dan seulas senyum kembali menghiasi wajahnya. Mereka lalu berjalan mengitari isi penthouse dengan wine di tangan. London menerangkan apa saja isi tempat tinggalnya dan Caroline berkali-kali harus menahan napas karena kagum.     

Bukan hanya berbagai ruangan besar dan mewah yang membuat penthouse ini sangat menarik, melainkan juga berbagai karya seni yang dipajang di dalamnya. Dalam hati Caroline hanya dapat mengira-ngira betapa besar nilai penthouse itu dan segala isinya.     

Tanpa sadar khayalannya melambung. Ia ingin sekali menjadi istri pria ini. Tentu akan sangat membanggakan bisa menjadi bagian dari keluarga Schneider yang sangat kaya ini.     

Mereka lalu berhenti di depan kolam renang infinity yang mewah dan menikmati wine di gelas mereka sampai habis. Matahari tenggelam yang terlihat dari balkon penthouse di puncak gedung terlihat sangat indah dan untuk sesaat keduanya berdiri terpesona memandangi langit.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.