The Alchemists: Cinta Abadi

Terry dan Nicolae di New York



Terry dan Nicolae di New York

2Setelah seminggu menghabiskan waktu di Paris akhirnya keluarga kecil London Schneider pulang kembali ke Berlin. L sengaja mengambil waktu istirahat selama 2 minggu sesudahnya untuk menenangkan diri. Sungguh, ada begitu banyak hal yang sudah terjadi selama beberapa bulan terakhir, dan ia mengalami kelelahan bukan hanya fisik tetapi juga mental.     

"Gosip di luaran sana tentangku masih beredar," keluh gadis itu pada suatu hari.      

"Apakah kau mau mengadakan konferensi pers?" tanya suaminya pagi itu sebelum ia berangkat ke kantor, ketika mendengar keluhan L.     

Wajah L terlihat murung. "Rasanya aku tidak punya pilihan."     

"Kau tahu, kau tidak boleh berlama-lama merasa sedih, nanti kualitas ASI akan terpengaruh. Kau tidak ingin Lily mendapatkan ASI yang kualitasnya tidak bagus, kan? tanya London.     

L mengangguk.     

"Aku akan mengadakan konferensi pers seperti saranmu. Sudah waktunya untuk memadamkan gosip yang tidak benar di luar sana," kata gadis itu akhirnya.     

"Baiklah. Apakah kau butuh bantuanku?" tanya London dengan penuh perhatian.     

L menggeleng. "Tidak usah. Rasanya aku bisa mengatasi ini sendiri bersama Pammy. Lagipula Brilliant Mind Media juga akan membantuku. Sebaiknya kau jangan terlibat, supaya tidak menjadi bahan omongan."     

"Baiklah, kalau begitu. Semoga berhasil," kata London sambil mencium kening L dan kemudian berangkat ke kantor.     

Beberapa hari lagi konferensi medis yang mereka siapkan akan berlangsung dan London sudah tidak sabar ingin segera bertemu langsung dengan John Wendell dan menghadapkannya kepada L untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.     

London baru saja hendak menanyakan perkembangannya kepada Jan ketika tiba-tiba masuk SMS dari Caroline ke ponselnya.     

Ah, ia ingat pernah memberikan nomor ponsel pribadinya kepada gadis itu untuk membuatnya merasa bahwa London Schneider tertarik kepadanya.     

[Selamat pagi, Tuan Schneider. Ini aku Caroline. Rombongan dokter dari London sudah tiba tadi malam untuk menghadiri konferensi.  Aku hendak menagih janjimu untuk mengajakku berkeliling Berlin. Apakah tawaran itu masih berlaku?]     

London meneliti isi SMS tersebut dan ia tersenyum tipis saat membacanya. Dengan santai ia menulis balasan untuk Caroline.     

[Tentu saja. Aku sibuk seharian ini. Apakah kau punya waktu untuk makan malam besok?]     

Lima menit kemudian masuk balasan SMS dari Caroline.     

[Tentu saja, dengan senang hati. Sebutkan saja tempat dan waktunya aku akan menemuimu di sana.]     

[Sebentar, akan kutanyakan kepada asistenku, di mana tempat terbaik untuk makan malam.] London menulis balasannya.     

Ia kemudian memanggil Jan untuk datang ke kantornya untuk membahas tentang John Wendell dan putrinya.     

"Jan, mereka sudah masuk perangkap. Aku akan menghubungi Mischa untuk membantuku membawakan kelompok pembunuh itu kemari. John Wendell akan membayar dosa-dosanya," kata London dengan wajah serius kepada Jan setelah asistennya itu tiba di ruangannya.  "Sementara itu, tolong siapkan acara makan malam di tempat yang bagus untukku dan Caroline besok malam."     

"Baik, Tuan. Rasanya tempat kemarin di restoran Rockstar bisa kita gunakan."     

"Itu juga boleh," kata London sambil mengangguk setuju. "Oh, ya, tolong cek dengan Brilliant Mind Media apakah mereka akan mengadakan konferensi pers untuk L."     

Jan mengangguk. "Aku barusan mendapat berita penting. Briliiant Mind Media harus segera mengadakan konferensi pers karena pihak Danny Swann menyebarkan gosip tidak bertanggung jawab."     

London mengerutkan keningnya keheranan. "Dia melakukan apa?"     

"Ahem... dia menyebarkan berita lewat pengacaranya, bahwa ia dan Nona L adalah tunangan sejak kecil dan mereka telah menikah diam-diam. Bayi Nona L diakui sebagai miliknya."     

"Apa katamu??" Kata-kata Jan barusan seketika membuat London murka. "Si brengsek itu bilang apa?? Berani-beraninya dia mengakui istri dan anakku."     

"Sepertinya ia bersikeras tidak akan membagi harta warisannya kepada Nona L," kata Jan. "Dia lebih memilih memalsukan pernikahannya dengan Nona L."     

London mengerutkan bibirnya dengan marah. Bagi sebagian orang, harta ternyata lebih penting daripada harga diri dan kejujuran. Orang seperti Danny Swann sampai rela menipu demi mempertahankan setengah warisannya, yang sebenarnya juga bukan haknya.     

"Dia tidak tahu Nona L sudah menikah, dia pikir gosip itu benar... bahwa Nona L adalah artis yang bisa ditiduri bos-bos di dunia hiburan." Jan menambahkan. Ia tersenyum sendiri membayangkan bagaimana wajah Danny saat ia nanti mengetahui yang sebenarnya. "Yah.. yang jelas Nona L dan tim humas dari Brilliant Mind Media akan mengadakan konferensi pers nanti sore di gedung BMM. Mereka akan meluruskan beritanya."     

London berpikir sejenak lalu mengangguk setuju. "Baiklah. Kita bereskan satu-satu dulu. Konferensi pers L, kemudian John Wendell dan anaknya, lalu aku akan mengurus Danny Swann sendiri."     

"Aku setuju." Jan mengangguk. "Kalau begitu aku akan mengurusi konferensi medis akhir pekan ini. Tuan panggil saja aku kalau ada apa-apa."     

"Terima kasih, Jan." Sebelum Jan keluar dari ruangannya, tiba-tiba London teringat sesuatu dan ia memanggil asistennya itu. "Oh, ya... ada satu hal lagi..."     

Jan berbalik dan memandang bosnya keheranan. "Apakah ada yang terlupa, Tuan?"     

"Uhm.. gara-gara aku, liburanmu kembali menjadi  batal." London tampak merasa bersalah saat mengucapkan kata-katanya. "Aku berjanji, begitu masalah dengan keluarga Swann ini selesai, kau boleh berlibur selama sebulan. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau bisa ke Bali, atau kemana, terserahmu, untuk menghabiskan sisa musim dingin. Carilah kekasih, pergilah berlibur. Aku akan menanggung semua biayanya."     

Jan terkesima mendengar ketulusan bosnya. Ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Kita bereskan dulu semuanya, Tuan. Liburan bisa menyusul."     

"Baiklah." London lalu mempersilakannya pergi.      

Dalam hati pria itu merasa sangat bersyukur memiliki asisten sebaik Jan. Pria itu sangat bisa diandalkan, dan sudah mengenalnya lahir batin. Wajar saja Terry berkali-kali berusaha membujuk Jan untuk pindah ke New York dan menjadi asistennya.     

"Langkahi dulu, mayatku," gumamnya. Ia takkan menyerahkan Jan kepada kakaknya.     

***     

Di New York, Terry bersin-bersin dan mengomeli cuaca musim dingin yang buruk. Nicolae yang menyetir mobil mereka hanya tersenyum melihatnya.     

"Pasti ada yang sedang membicarakanmu," komentar pria itu. Terry hanya mengangkat bahu sambil tersenyum sombong.     

"Tentu saja, aku ini sering digosipkan oleh gadis-gadis kalangan atas. Ini sudah biasa," jawabnya seenaknya. "Bagaimana perasaanmu memulai hidup baru sebagai orang biasa? Kau senang atau bagaimana?"     

Nicolae mengerem mobilnya karena lampu merah dan tampak berpikir sejenak. "Lumayan. Aku rasa aku membutuhkan suasana baru. Mengajar di kampus adalah pilihan yang menarik. Aku bisa berinteraksi dengan banyak orang. Rasanya saat ini aku memang perlu itu."     

"Kau pernah menjadi  asisten dosen kan dulu? Siap-siap saja ditaksir mahasiswamu kembali.." kata Terry sambil tertawa. Ia lalu menepuk bahu Nicolae, memberi tanda agar ia melajukan kendaraannya kembali karena lampu lalu lintas sudah berwarna hijau. "Ayo maju."     

Nicolae mengangguk dan memajukan mobilnya, kembali melanjutkan perjalanan mereka.     

Selama sebulan terakhir Nicolae sudah mengganti identitasnya dan memutuskan untuk bekerja menjadi dosen di sebuah universitas untuk mendapatkan suasana baru. Ia masih tinggal di rumah Terry hingga ia dapat menemukan apartemen yang cocok untuknya di New York.     

Pagi ini mereka berdua sedang berjalan-jalan melihat beberapa unit apartemen yang dirasanya cocok untuk ia tinggali. Karena Terry sudah cukup lama tinggal di kota itu, ia sengaja mengambil waktu keluar kantor dan menemani Nicolae untuk memilih tempat tinggalnya yang baru.     

"Di daerah yang berikutnya ini, lingkungannya cukup bagus. Kalau anak-anakmu datang berkunjung mereka pasti akan suka. Dari situ ke Central Park bisa ditempuh dengan berjalan kaki," komentar Terry sambil mengamati rincian listing apartemen yang akan mereka datangi selanjutnya.     

"Bagus, kalau begitu." Nicolae senang mendengarnya. "Aku tidak butuh tempat yang mewah, tetapi pasti harus cocok untuk ditinggali anak-anak."     

Walaupun ia telah mengembalikan Altair dan Vega kepada orang tua mereka, Alaric dan Aleksis telah berjanji akan mengirim kedua anak itu untuk berlibur di tempat Nicolae sewaktu-waktu. Itulah sebabnya, pemuda itu masih selalu mempertimbangkan kedua anaknya dalam mencari tempat tinggal yang baru.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.