The Alchemists: Cinta Abadi

Keputusan L



Keputusan L

0L menatap London dengan bibir berkerut berusaha menahan tangis.     

"Aku sudah menduganya..." kata gadis itu perlahan.     

"Itulah sebabnya aku tidak mau kau menerima warisan itu..." kata London dengan lembut. Ia merapikan rambut L ke balik telinganya dan menatap gadis itu dengan pandangan serius. "Kalau kau mengambilnya, sama saja seperti mengambil uang darah. Bukankah kekayaanku sudah cukup untukmu? Buat apa kau menerima recehan dari luar?"     

L menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak! Aku tidak rela Danny Swann membunuh keluargaku dan tidak mendapatkan akibatnya. Kalau aku tidak bisa membunuhnya, aku akan membuatnya miskin dan masuk penjara..."     

"Uhm.. bukan Danny Swann pelakunya..." kata London. Ia menggenggam tangan L dan menaruhnya di pangkuannya. "Tetapi dugaanmu tidak terlalu salah."     

"Bukan Danny Swann? Lalu... siapa?"     

"Orang yang akan mendapatkan keuntungan jika Danny memperoleh seluruh warisannya..." London tidak mau berlama-lama membuat L bingung, karena itu ia kemudian menceritakan tentang John Wendell dan kelompok pembunuh yang disewanya, serta Caroline Wendell, anaknya yang diharapkan akan memperoleh harta kekayaan keluarga Swann setelah menikah dengan Danny. "Aku mendapatkan informasi ini dari sumber tepercaya."     

"Sebentar..." L menatap London dengan pandangan nanar. "Berarti... waktu kau makan siang itu... bukan dengan wanita yang dijodohkan oleh Jan?"     

London menggeleng. "Bukan. Dia itu adalah Caroline Wendell, anak perempuan John Wendell yang seharusnya menikah dengan Danny Swann saat dia mendapatkan seluruh warisannya."     

L menggigit bibirnya sambil berpikir keras. Ia ingat Danny beberapa kali mengatakan ia terpaksa putus dengan kekasihnya karena ia ingin memenuhi janjinya kepada kakeknya untuk menikahi L.     

"Brengsek!" L menjadi sangat marah. "Bisa-bisanya dia mengatakan dia berkorban meninggalkan gadis yang dicintainya demi memenuhi janji kepada Kakek George untuk menikahi dan menjagaku..."     

Sekarang L bisa melihat rencana Danny untuk mengambil seluruh harta warisan kakeknya, dengan membujuk L menikah, lalu entah nanti ia akan menceraikan L dengan satu dan lain alasan, bisa jadi malah ia akan membunuh L supaya tidak akan ada penghalang lagi baginya untuk menikah dengan Caroline.     

"Orang-orang keji..." desis L penuh kemarahan. "Aku sangat benci kepada mereka..."     

"Benar. Mereka harus diberi hukuman. Aku sedang memikirkan hukuman yang tepat. Saat ini, aku ingin memancing mereka datang, agar kau bisa bertemu langsung dengan mereka dan menghukum semua yang terlibat. Aku sedang mencoba mencari tahu apakah Caroline dan Danny ikut terlibat..."     

Kata-kata London membuat L mengerutkan keningnya.      

"Kau memancing mereka ke mana? Ke Berlin?"      

"Benar. Aku meminta Jan menyelenggarakan konferensi medis di Berlin dan mengundang banyak perwakilan rumah sakit di Eropa, salah satunya rumah sakit milik keluarga Swann yang dikelola John Wendell. Aku sengaja menemui Caroline saat aku ke London untuk mengikutimu, karena kupikir ada baiknya aku mendekati anaknya itu untuk membalaskan dendammu..."     

L terpaku mendengar perkataan London barusan. Ia baru mengerti bahwa memang London pergi ke ibu kota Inggris itu untuk mengikutinya, bukan untuk kencan dengan perempuan lain. Dan pertemuannya dengan Caroline waktu itu sebenarnya tidak direncanakan dari awal.     

Hal ini benar-benar membuatnya sangat terharu. "Aku tidak mengira kau benar-benar datang ke London untuk mengikutiku..."     

"Tentu saja.. untuk siapa lagi?" tanya London sambil tersenyum. "Hanya kau yang penting buatku."     

"Terima kasih..." bisik L sambil mengalungkan kedua lengannya ke leher suaminya dan mencium bibir London penuh terima kasih. "Aku merasa sangat disayangi. Aku sungguh beruntung memilikimu dalam hidupku..."     

London membalas ciuman istrinya dengan mesra.     

Mereka berpelukan selama beberapa menit. L merasa beban di dadanya berkurang sangat banyak. Ia sama sekali tidak mengira selama ini London telah melakukan banyak hal untuknya, mulai dari membeli dan merenovasi rumah orang tuanya sebagai hadiah untuk L, dan bahkan mencari tahu siapa pembunuh keluarga gadis itu dan merencanakan pembalasan.     

Sungguh ia merasa tidak lagi sendiri di dunia ini. Ia sudah bisa mempercayakan bebannya kepada pria ini, yang ternyata begitu dalam mencintainya.     

Saat itu juga L berjanji dalam hatinya untuk mengabdikan hidupnya bagi keluarga kecilnya, mencintai dan melakukan apa pun untuk suami dan anaknya.     

Setelah perasaan L menjadi tenang, mereka lalu duduk mengobrol tentang rencana-rencana mereka ke depan. Setelah London menghukum John Wendell dan Danny Swann, maka L harus dapat melupakan masa lalunya yang kelam dan mulai fokus untuk menata masa depan mereka bersama. L tetap ingin mengambil separuh harta keluarga Swann untuk menghukum Danny. Namun, ia mendengarkan London dan tidak akan menerima bagian dari warisan itu untuk dirinya sendiri.     

"Aku akan menyumbangkan bagian warisanku kepada yayasan yang mengurusi anak-anak terlantar. Dengan begitu Danny tidak bisa seenaknya menikmati harta yang bukan haknya.. dan kau tidak perlu kesal karena aku menerima harta dari keluarga lain..." Akhirnya L mengambil keputusan. "Bagiku harta keluarga Swann tidak penting, tetapi aku hanya ingin menghukum mereka..."     

"Ide bagus. Aku setuju..." London mengangguk.     

"Aku ingin tinggal di sini beberapa hari, apakah boleh?" tanya L kemudian. Ia telah mengelilingi apartemen orang tuanya dan mengamati setiap isinya. Kerinduannya kepada ayah dan ibu serta adiknya menjadi semakin besar, dan rasanya ia ingin sekali mengenang mereka dengan menginap di apartemen itu selama beberapa hari.     

London mengangguk. "Tentu saja boleh. Aku akan menyuruh Marc untuk membawakan barang-barang yang kita butuhkan kemari. Bagaimanapun ini adalah rumahmu, aku senang kau menyukainya dan mau tinggal di sini selama beberapa hari."     

"Terima kasih..." L tampak berpikir sejenak. Kemudian ia mengambil tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari situ. Ia menarik tangan London dan menggenggamnya erat. Ekspresinya menjadi khimad saat ia mengucapkan kata-kata berikutnya. "Sayang.. aku sudah berpikir, dan aku memutuskan untuk meminum ramuan abadi yang kau berikan kepadaku waktu itu... Aku tidak akan sanggup berpisah darimu dan Lily.. Maka aku ingin hidup abadi bersama kalian."     

London tertegun mendengar kata-kata L. Ia menatap gadis itu dengan pandangan keheranan sekaligus penuh sukacita.     

Akhirnya.. hari yang telah lama ditunggunya tiba juga. L sudah mengambil keputusan dan mau mengikutinya menjadi seorang Alchemist dengan meminum ramuan keabadian yang diberikan Aldebar waktu itu...     

Ini berarti, mulai sekarang L akan sehat sepenuhnya, ia juga akan awet muda sama seperti London. Anak mereka.. atau anak-anak mereka akan dapat menikmati kebersamaan dengan kedua orang tua mereka untuk waktu yang lama.     

Dan.. kalau mereka memutuskan punya anak lagi... London tak perlu kuatir akan kesehatan L saat ia melahirkan nanti. Ia sangat takut saat mengingat-ingat peristiwa ketika L dulu melahirkan Lily.     

Kini kekuatirannya tidak perlu terjadi. Oh.. Tuhan! Sungguh ini adalah hari yang sangat membahagiakan...     

"Sayang... kau sungguh-sungguh?" London menatap L dengan penuh keharuan. Ia sungguh terharu. Melihat L mengangguk dan mengeluarkan botol kecil pemberian Aldebar di telapak tangannya, pria itu akhirnya menjadi yakin. Ia tersenyum dan mengangguk. "Syukurlah. Aku sangat senang."     

L balas tersenyum. Ia membuka tutup botol itu dan pelan-pelan meminum isinya. Rasanya tidak enak, dan seketika wajahnya mengernyit. London buru-buru berlari ke kulkas dan mengambil jus kotak dari dalamnya dan menuangnya ke gelas, lalu memberikannya kepada L.     

"Ini, minumlah.." katanya sambil tersenyum geli.     

"Terima kasih." L meneguk habis jus apel di gelasnya dan menaruhnya di meja. "Rasanya memang tidak enak."     

"Haha.. yah, namanya juga obat ramuan. Yang penting adalah khasiatnya..."     

London benar-benar sangat senang dan ia tidak dapat menahan diri lagi, segera menarik L ke dalam gendongannya dan membawa gadis itu berkeliling ruang tamu.     

"Ini sungguh hari yang membahagiakan! Kau sekarang sudah sehat sepenuhnya, dan kita bisa hidup bahagia bersama selamanya! Aku sudah tidak sabar..."     

Ketika ia akhirnya meletakkan L kembali ke lantai, gadis itu berjingkat dan mencium bibirnya dengan mesra.     

"Terima kasih..." bisik gadis itu sambil memejamkan matanya. London yang melihat L kesulitan karena harus berjingkat terus saat menciumnya kemudian memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya agar menjadi lebih tinggi, dan mereka bisa tetap berciuman dengan mesra.     

Ah.. London tidak akan pernah mengeluh memiliki istri pendek seperti L. Ciuman manis dari bibir merah jambunya ini sangat sepadan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.