The Alchemists: Cinta Abadi

Awas, Tidak Boleh Berubah Pikiran!



Awas, Tidak Boleh Berubah Pikiran!

0"Aku tidak akan berdiri sampai kau menjawab lamaranku." London masih bersikeras di tempatnya. Ia tersenyum melihat wajah bingung L yang sama sekali tidak mengira akan kembali dilamar dengan begitu tiba-tiba seperti ini. "Aku sudah bilang... ini yang terakhir. Jadi pikirkan jawabanmu baik-baik..."     

L menatap London dengan sepasang mata yang perlahan-lahan dipenuhi air bening. Tanpa sadar ia menjatuhkan diri dan membenamkan kepalanya ke bahu London.     

"Aku ini tidak berpendidikan... Aku hanya bisa menyanyi, tidak banyak yang aku bisa. Aku juga keras kepala..." Gadis itu menangis sesenggukan. "Apa kau yakin mau menghabiskan seumur hidupmu bersamaku...? Kau tidak boleh berubah pikiran di tengah jalan... Itu tidak adil bagiku..."     

London menerima L yang menghambur ke pelukannya dan mengusap-usap rambut gadis itu dengan penuh pengertian.     

"Aku berjanji tidak akan berubah pikiran... Kupikir waktu setahun kita bersama sudah cukup untuk membuat kita saling mengenal dan mengerti apa yang kita inginkan..." bisiknya. "Kau juga tidak boleh berubah pikiran di tengah jalan. Itu tidak adil bagiku... Aku pun sama, tidak banyak yang kubisa. Aku hanya bisa menyuruh-nyuruh orang melakukan ini itu. Aku juga sering membuatmu kesal. Kuharap kau mau bersabar denganku..."     

Suaranya terdengar sangat sungguh-sungguh dan tulus, hingga membuat L menjadi semakin terharu. Ia mencintai pria ini, tetapi selama setahun terakhir, kehidupan yang mereka jalani berdua terasa bagaikan roller coaster emosi yang sangat melelahkan.     

Ia sadar bahwa usianya yang masih sangat muda membuatnya terkadang bersikap gegabah dan egois. Walaupun ia berusaha untuk menjadi dewasa, tidak dapat dipungkiri usia dan pengalamannya dalam kehidupan belum banyak.     

L mengangkat wajahnya dari bahu London yang kini sudah basah kuyup oleh air matanya.     

"Sayang..." Untuk pertama kalinya L memanggil London dengan panggilan 'sayang' membuat pria itu terkesima. Jantungnya serasa mau loncat dari dadanya karena ia merasa sangat senang. Ia tidak mengira, satu kata itu saja bisa membuatnya begitu bahagia.     

"Ya, Sayang?" Senyuman lebar menghiasi wajah pria itu saat ia membingkai wajah L dengan kedua tangannya.     

L menatap pria itu dengan mata basah yang berkilauan, dan pelan-pelan bibirnya membentuk senyum tipis, saat ia akhirnya dengan malu-malu mengangguk. "Aku bersedia. Karena ini lamaran yang terakhir, maka jawabanku yang terakhir adalah, aku bersedia menikah denganmu."     

Walaupun London sudah menduga L akhirnya akan menjawab ya, tetap saja mendengar sendiri kata-kata itu terucap dari  bibirnya membuat pria ini senang luar biasa. Ia menarik wajah L dengan lembut ke arahnya dan mendaratkan ciuman panas ke bibir wanita itu.     

Astaga.. sudah hampir seminggu yang lalu, saat terakhir ia mencium bibir merah jambu mungil yang seksi ini, dan ia sudah lupa rasanya. Di kepalanya, rasa manis bibir L seperti sudah berabad-abad yang lalu ia cecap dengan bibirnya dan kini ia ingin membalas waktu yang hilang itu lengkap dengan bunganya.     

L memejamkan mata dan membalas ketika bibir London melumat bibirnya dengan antusias dan lidahnya dengan lincah segera menerobos bibir L yang setengah terbuka dan menjelajah mulutnya. Dengan penuh gairah, lidahnya membelit lidah L dan mengisapnya, membuat gadis itu hampir kehabisan napas.     

London mengendurkan pelukannya sedikit untuk memberi waktu bagi mereka berdua meredakan napas sebelum kemudian kembali mencium L dengan penuh sukacita. Mereka berdua bangkit dari lantai dapur dan berpagutan dengan ciuman-ciuman panas.     

Ketika tangan pria itu mulai nakal menyusup ke balik pakaian L, gadis itu segera tersadar dari buaian dan dengan halus menarik tangannya.     

"Aku masih tidak enak badan..." keluhnya dengan suara serak. London menjadi kasihan mendengar suara L yang benar-benar terdengar sakit. Dengan penuh kasih ia mengangkat tubuh gadis itu dan mendudukkannya di kursi meja makan.     

"Kalau begitu kau beristirahat saja di sini. Aku akan menyelesaikan membuat makan malam kita, setelah itu kita bisa makan dan menikah."     

"Eh.. apa katamu?" tanya L yang keheranan. Ia menurut saja dan tidak menolak ketika tubuhnya diangkat ke kursi dan disuruh beristirahat. Sebentar.. tadi dia tidak salah dengar kan?     

Menikah?     

Kapan?     

"Sudah kubilang, ini lamaran yang terakhir dan aku tidak mau gagal lagi. Jadi setelah makan malam kita akan langsung menikah," jawab London tegas. Ia tersenyum tipis lalu mencium pipi L dan kembali mengurusi bahan-bahan makanannya sambil bersiul-siul.     

L hanya bisa mengerutkan kening menyaksikan pria itu melanjutkan memasak seolah ia barusan tidak mengatakan bahwa mereka akan menikah setelah makan malam.     

Astaga...     

Begitu banyak pikiran berkecamuk dalam benak L saat ia menyaksikan London dengan cekatan membuat salad, memanggang daging dan menyiapkan kentang tumbuk untuk mereka. Dalam waktu tidak terlalu lama semua hidangan yang dibuatnya selesai dan segera disajikan di meja makan.     

"Selamat makan," kata London sambil menyendokkan salad ke piring L dan menaruh segelas wine di depannya. "Maaf, tadi lamarannya tidak romantis, aku melakukannya secara spontan. Tapi aku senang kau menerimanya. Nah.. makan yang banyak, setelah ini kita akan menikah."     

L masih tidak dapat berkata-kata. Semua ini terasa begitu mengejutkan. Ia hanya bisa makan pelan-pelan sambil tak henti-hentinya mengerling ke arah calon suaminya, ayah dari anaknya.     

Ah... bagaimana ia bisa demikian beruntung mendapatkan pria yang begini sempurna? Pria yang jatuh cinta setengah mati kepadanya dan tidak mementingkan apa-apa yang superfisial seperti kebanyakan pria lainnya...     

Bahkan L sendiri dulu adalah orang yang superfisial. Ia masih ingat, hingga setahun yang lalu ia masih bertekad untuk mencari suami yang sangat kaya dan berkuasa untuk membantunya membalas dendam.     

Sekarang... saat ia menemukan suami seperti itu, L justru menyadari bahwa kekayaan dan kekuasaan tidaklah penting baginya. Terbukti dari hangatnya kebersamaan mereka hari ini. Baik mereka ada di apartemen sederhana maupun di penthouse mewah... ternyata rasanya sama saja. Asalkan bersama dengan orang yang dicintai. Ternyata itu sudah cukup.     

Karena merasa terharu, L tiba-tiba menaruh sendoknya ke pinggir piring, mengusap air matanya, lalu mencium pipi London dengan penuh cinta. Ia lalu tersenyum sedikit dan kembali meneruskan makannya.     

London yang tidak mengira akan dicium tiba-tiba, hanya bisa memegangi pipinya dengan ekspresi kaget sekaligus senang. Ia merasa bahagia melihat L mengambil inisiatif dan menciumnya duluan.     

Ini artinya.. L memang sudah merasa nyaman dengan hubungan mereka dan tidak lagi berpikiran negatif.     

Ahh.. apalagi mengingat semakin hari sikap gadis itu semakin dewasa, rasanya pernikahan mereka akan berjalan dengan baik. Ia tidak sabar menghabiskan seluruh hidupnya bersama gadis ini. Ia ingin L menjadi orang yang pertama kali dilihatnya saat membuka mata setiap pagi, dan menjadi orang terakhir yang dilihatnya sebelum ia memejamkan mata di malam hari. Ia ingin selalu memeluk gadis itu saat mereka tidur bersama, dan ia dapat mendengarkan suara nyanyiannya setiap pagi...     

***     

Mereka selesai makan pada pukul 6 sore dan sebagai seorang gentleman, London menepati janjinya untuk tidak berubah pikiran, dengan segera menikahi L.      

"Jan, kau sudah di bawah? Kami sudah selesai makan, kau naiklah ke atas sekarang." London menelepon Jan begitu mereka selesai makan. Ketika ia baru menutup telepon, ia melihat L hendak membereskan peralatan makan mereka dan buru-buru mencegahnya. "Tidak usah. Di sini ada robot pelayan yang membereskan semuanya. Tempat ini serba otomatis."     

Ia memencet tombol di  konter dapur dan tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan robot yang memberi hormat kepada keduanya dan mulai bergerak membereskan piring-piring dengan sigap.     

"Oh... canggih sekali," komentar L. "Oh, ya.. kau menyuruh Jan ke sini? Untuk apa?"     

London tersenyum senang dan memeluk pinggang L. "Aku tadi menyuruh Jan datang dengan petugas catatan sipil. Ia dan Pammy akan menjadi saksi pernikahan kita. Bagaimana? Aku tidak sabar kalau harus menunggu pernikahan di Stuttgart.. Aku takut nanti gagal lagi.. hahahaha..."     

L terkesima mendengar penjelasan London. Astaga.. pria ini benar-benar serius? Ini benar-benar akan terjadi?     

Ya Tuhan...     

"Aku akan menikah dengan penampilan seperti ini?" L seketika menjadi panik. Dalam bayangannya setiap pengantin perempuan akan menikah dengan penampilan terbaik mereka, seperti ratu sehari. Tetapi ia hanya memakai kemeja tipis dengan rok kulit dan sepatu sandal biasa. Rambutnya bahkan tidak ditata sama sekali.     

"Kau cantik sekali," puji London. "Kau tidak perlu dandanan superfisial untuk terlihat cantik. Aku menyukaimu apa adanya."     

L menatap London dengan ekspresi penuh terima kasih dan kemudian menunduk. "Terima kasih..."     

Ia sudah belajar untuk menerima pujian dan tidak membantah.     

London mengecup keningnya dan menarik L ke dalam pelukannya. "Akhirnya kau akan menjadi istriku. Awas..  tidak boleh berubah pikiran setelah ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.