The Alchemists: Cinta Abadi

Ini Yang Terakhir



Ini Yang Terakhir

3"Kau tidak suka aku jadi pandai  merayu?" tanya pria itu dengan lagak sok polos. "Kalau begitu suruh saja aku berhenti mengikuti semua kencan yang sudah diatur Jan."     

L mengerutkan keningnya keheranan. Ia tidak mengira London akan mengucapkan kata-kata seperti itu.     

"Kau ini aneh," tukas L akhirnya.     

"Aneh kenapa?" tanya London. Ia melepaskan tangannya dari dagu L dan kini menyilangkan tangannya di dada, menuntut penjelasan. "Kau orang pertama yang bilang aku aneh."     

"Mungkin orang lain tidak berani mengatakan hal sebenarnya karena mereka takut menyinggung perasaanmu," kata L acuh tak acuh.     

"Kau masih belum menjawab kenapa kau mengatakan aku aneh. Jadi orang harus bisa mempertanggungjawabkan perkataanmu..." London menatap L lekat-lekat, menunggu penjelasan.     

L akhirnya menghela napas. "Laki-laki lain pasti senang bisa berkencan dengan banyak wanita, tapi dari tadi kau hanya mengeluh saja. Apa itu tidak aneh namanya?" tukas L sambil ikut menyilangkan dada.     

London menyipitkan matanya seolah berpikir keras dan akhirnya ia mengangguk. "Hmm... benar juga."     

L memutar matanya mendengar jawaban santai pria itu. "Sudah, lupakan saja kata-kataku tadi. Itu tidak penting."     

London mengangguk-angguk. "Baiklah. Aku akan melupakannya. Aku akan mengikuti apa yang kau mau."     

L benar-benar dibuat heran dengan sikap London hari ini. Pria itu bersikap sangat ringan dan serba mengiyakan semua kata-katanya. L menjadi  kehilangan kata-kata.     

Akhirnya ia hanya bisa diam. Melihat L tidak berkata apa-apa lagi, London hanya tersenyum tipis. Ia menarik tangan L agar mengikutinya ke dapur. Mereka telah selesai berkeliling penthouse yang luas itu dan ia senang melihat ekspresi kagum L pada tempat tinggalnya. Ia bisa melihat L sangat menyukai penthouse ini.     

"Kau mau makan malam lebih awal? Tadi di pesawat hanya diberikan makanan ringan, bukan?"  tanyanya setelah mereka tiba di dapur. "Mau panggil chef ke sini, atau kau mau masak makan malam bersamaku?"     

L tampak ragu-ragu. Ia sama sekali tidak lapar karena pikirannya penuh dengan masalah, tetapi ia tahu kalau ia tidak makan tentu tubuhnya akan menjadi lemah dan rentan terhadap penyakit.     

"Uhm... aku tidak lapar. Jadi terserahmu saja..." jawab gadis itu.     

"Hmm.. baiklah. Kalau kau meminta aku yang memutuskan, aku akan menyarankan agar kita masak makan malam berdua. Itu lebih romantis daripada minta dibuatkan oleh chef." London tampak senang sekali. Ia melepaskan tangan L dan sambil bersiul-siul ia mengeluarkan bahan-bahan makanan dari kulkas. "Kenapa kau diam saja di situ? Ayo bantu aku mencuci sayuran."     

L terkesima melihat sikap London yang dengan santai saja menyerahkan setumpuk sayuran ke tangan L lalu mendorong pinggangnya ke wastafel. Apa-apaan ini? pikirnya heran. London benar-benar bersikap seolah mereka adalah pasangan kekasih yang sedang merencanakan makan malam romantis bersama.     

Eh, kita ini bukan kekasih ya... L menggerutu dalam hati, tetapi ia tetap saja mencuci sayuran seperti yang diperintahkan kepadanya.     

"Ah, bagus sekali. Sekarang tolong diiris kecil-kecil semuanya, aku mau bikin salad sederhana." London kembali memerintah L untuk melakukan ini itu sementara ia membumbui daging dan meracik bahan untuk sausnya.     

L tidak dapat protes karena tanpa sadar ia sebenarnya menikmati kegiatan masak bersama ini. Pikirannya melayang pada masa berbulan-bulan yang lalu saat ia dan London masih tinggal bersama di apartemen sederhana mereka di tengah kota. Dulu juga mereka sering bekerja sama membuat sarapan atau makan malam.     

Suasananya sama-sama hangat seperti sekarang. Bedanya hanyalah dulu tempat tinggal mereka cukup sederhana, sementara sekarang mereka ada di penthouse yang sangat mewah. Sambil mengiris wortel L mengerling ke samping dan mengamati London yang sedang mencampur beberapa bumbu dengan wajah ceria.     

Dalam hati ia membenarkan bahwa baik mereka ada di apartemen sederhana, maupun di penthouse yang begini mewah.. perasaan yang hinggap di dadanya ternyata sama. Bukan penthouse ini yang membuat kegiatan memasak berdua yang mereka lakukan menjadi terasa hangat dan menyenangkan... melainkan orang yang ada di sana bersamanya.     

Tanpa terasa setetes air mata mengaliri ke pipi L saat ia meneruskan mengupas lobak dan mengirisi tomat. Ia sangat merindukan momen berdua mereka seperti ini. Kebahagiaannya ternyata sangat sederhana... Ia tidak membutuhkan rumah mewah dan uang yang banyak. Bisa bersama Lily dan London dan hidup damai rasanya sudah cukup baginya.     

Dengan tidak kentara, L menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya. Ia tidak ingin menarik perhatian London. Dengan tekun ia menyelesaikan tugasnya mengirisi sayuran dan menaruhnya di mangkuk-mangkuk berbeda.     

"Sayang... kau rindu momen kita bersama seperti ini tidak?" tanya London tiba-tiba. L yang baru selesai menaruh semua sayuran di mangkuk menjadi terkesiap. Pertanyaan itu sangat tiba-tiba dan ia tidak mengerti mengapa London menanyakan hal itu kepadanya.     

"Hmm.." L hanya menggumam tidak jelas.     

London menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah L. Sepasang mata birunya yang dalam menatap L dengan penuh kesungguhan.     

"Sayang... aku ini orang sibuk dan tidak punya waktu untuk basa-basi maupun berpura-pura. Aku sudah lelah dengan komunikasi kita yang buruk dan berbagai prasangka yang menghantui hubungan kita. Aku juga tidak punya waktu untuk berkencan dengan wanita-wanita berbeda. Aku sudah mendatangi kencan pertama yang diatur Jan dan sejujurnya aku merasa menghabiskan waktu dua jam yang sangat berharga secara sia-sia. Kau tahu apa yang kupikirkan saat aku bertemu wanita itu? Yang kupikirkan hanya kau..." Ia menyentuh bahu L dan meremasnya lembut. "Apa kau setega itu mau menyuruhku melalui siksaan seperti itu lagi?"     

Siksaan? Laki-laki aneh. Masa kencan dengan wanita cantik disebut siksaan, pikir L sebal.      

"Aku kan tidak memaksamu. Jan yang mengatur semua kencan itu untukmu, aku bahkan tidak terlibat. Aku hanya mengatakan bahwa aku setuju dengan pemikiran Jan dan mendukungmu untuk mencari pengalaman dengan wanita lain..." jawab L. "Tidak ada yang menodongkan pistol ke kepalamu dan memaksamu untuk melakukannya."     

London menggeleng. "Kau memang tidak menodongkan pistol kepadaku, tetapi caramu sama saja seperti menodongkan pistol. Kau bilang tidak mau menikah denganku kecuali aku berkencan dengan wanita-wanita itu selama sebulan ke depan. Kalau sudah begitu, bagaimana aku bisa menolak?"     

L balas menatap London dengan tatapan penuh selidik. Apakah laki-laki ini serius?     

"Kau melakukan itu semua untukku?" tanya L keheranan.     

London mengangguk. "Benar. Hanya demi kau. Aku tadinya menuruti keinginanmu itu karena aku ingin menebus kesalahanku yang menyakiti hatimu dengan membatalkan rencana pernikahan kita tiba-tiba karena aku cemburu. Tetapi sekarang aku tidak mau lagi..."     

"Ke.. kenapa?" L mulai menjadi emosional saat mendengar London membahas tentang pembatalan pernikahan waktu itu yang memang sangat menyakiti hatinya.     

London melangkah ke hadapan L dan memangkas jarak di antara mereka hingga menjadi nol.     

"Aku tahu kau menyuruhku berkencan dengan wanita-wanita lain agar aku bisa membandingkanmu dengan mereka dan mencari tahu apakah aku memang mengambil keputusan yang tepat dengan menikahimu. Sebenarnya bukan aku yang ragu, tetapi kau.     

Aku sudah tahu apa yang aku inginkan dan aku yakin dengan pilihanku, tetapi kau yang tidak yakin. Kau pikir aku ini laki-laki superfisial yang mementingkan penampilan fisik, kekayaan, dan pendidikan. Karena itulah kau selalu menghindar dan berusaha menyodorkanku kepada yang lain." Suara pria itu terdengar sangat serius dan entah kenapa, tiba-tiba saja dada L menjadi berdebar kencang. "Aku sudah tahu dan yakin akan apa yang kuinginkan. Aku ingin bersamamu..."     

"Kau..." L hendak mengatakan sesuatu tetapi lagi-lagi ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya. London menyentuh dagunya dan mengangkat wajah L yang tadi tertunduk agar menatap ke arahnya.     

"Aku tahu kau sebenarnya cemburu setengah mati saat kau mengira aku berkencan dengan seorang dokter di London. Aku pikir ini adalah tanda bagi kita berdua bahwa kau dan aku sebenarnya sama-sama saling menginginkan. Kenapa kita harus mempersulit diri kita sendiri dengan masalah yang tidak perlu?" tanya London lagi.     

"Eh...?" L sangat terkejut mendengar kata-kata London barusan. Pria ini tahu L sangat cemburu saat memergokinya kencan dengan wanita lain di London??     

"Da... dari mana kau tahu?" tanyanya kemudian, Wajahnya tidak dapat menyembunyikan isi hatinya. London hanya tertawa mendengaranya.     

"Itu rahasia," tukasnya. Ia tersenyum manis sekali melihat ekspresi L yang tampak terharu. "Jadi? Bagaimana? Kita sudahi saja kencan-kencan tidak berguna itu. Toh aku sudah tahu bahwa aku menginginkanmu dan kau juga menginginkanku... Aku capek dan sibuk, dan lagi pula aku tidak tega melihatmu mati karena cemburu... hahaha."     

"Apa kau bilang?" tanya L dengan nada tidak percaya. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba pembicaraan mereka di dapur menjadi seperti ini. Ada angin apa ini?     

London menarik napas panjang sebelum kemudian tiba-tiba bersimpuh dengan satu lututnya. Ia menarik tangan kanan L dan mendongak menatap wajah gadis itu yang terkejut setengah mati.     

"Sayang, menikahlah denganku. Aku berjanji ini akan menjadi lamaran yang terakhir. Aku tidak akan membatalkannya apa pun yang terjadi. Aku tidak bisa hidup tanpamu, dan aku tidak tahan bertemu wanita-wanita lain sementara yang ada di pikiranku hanyalah dirimu..."     

L menatap pria itu dengan bibir mengerut sedih. Tiba-tiba saja kembali terbayang dalam ingatannya betapa London tampak bahagia bertemu dengan dokter cantik itu di London.     

Heh.. sejak kapan pria ini menjadi sangat pandai berakting? Bisa-bisanya dia melamarku di sini, padahal baru dua hari lalu ia berkencan dengan wanita lain dengan ekspresi yang demikian senang?     

"Kau jangan bercanda tentang hal seperti ini, dong..." omel L sambil menarik bahu London agar bangun dari lantai. "Aku melihat sendiri betapa senangnya kau kencan dengan wanita lain yang lebih cantik dan lebih pintar dariku. Teganya kau hari ini tiba-tiba melamarku lagi... Perasaanku bukan mainan."     

London dengan keras kepala tetap di tempatnya. "Sudah kubilang, ini akan menjadi lamaran yang terakhir. Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu-dulu..."     

"Bangunlah... ini tidak lucu..." tukas L lagi, masih berusaha menarik bahu London agar berdiri. "Ayo..."     

"Aku tidak melucu," balas London. "Aku sungguh-sungguh. Aku tahu kau juga mencintaiku tetapi kau merasa tidak percaya diri. Kau tidak yakin aku memang mencintaimu sepenuhnya dan hanya ingin menikah denganmu. Kau merasa perlu menyodorkan semua wanita lain kepadaku agar aku bisa menguji hatiku.. padahal menurutku yang harus diuji itu adalah hatimu. Seperti yang kukatakan tadi, aku tahu apa yang kuinginkan. Kau yang masih berpura-pura tidak mau karena kau takut disakiti."     

L kehilangan kata-kata mendengar perkataan London yang diucapkannya dengan tegas.     

"Aku tahu kau sangat cemburu melihatku makan siang dengan dokter itu di London. Kau begitu cemburu sampai kau jatuh sakit. Kenapa tidak mengaku saja bahwa kau juga mencintaiku dan tidak bisa hidup tanpaku?" tanya London lagi.     

L menekap bibirnya dengan tangan saat London mengucapkan dua kalimat terakhirnya. London tahu ia melihatnya di restoran bersama Caroline waktu itu??     

"Kau tahu dari mana?" tanya gadis itu kebingungan.     

London mengangkat bahu. "Dave selalu mengawasimu untuk menjaga keselamatanmu. Ia melaporkan bahwa kau memergokiku sedang makan siang bersama Caroline. Pammy juga memberiku laporan setiap saat tentang keadaanmu. Tentu saja aku tahu semuanya tentangmu, L..."     

"Pammy??" L benar-benar terkejut. Ia tidak mengira Pammy, manajernya, melaporkan tentang dirinya kepada London.     

"Pammy sekarang bekerja untukku. Kau tidak tahu? Aku memberinya jabatan tinggi di agensi. Tentu saja ia harus melapor kepadaku," jawab London sambil tersenyum lebar. "Aku senang sekali waktu tahu kau sangat cemburu. Kau tidak bisa menyangkal lagi. Apa kau tidak lelah berpura-pura?"     

L terdiam mendengar kata-kata London.     

Pammy? Jadi selama ini Pammy bekerja untuk London Schneider?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.