The Alchemists: Cinta Abadi

Pulang Ke Berlin



Pulang Ke Berlin

0Permintaan L memang tidak terlalu mengherankan, tetapi tetap saja London merasa terkejut karena mendengar L meminta bantuannya secara tiba-tiba seperti ini.     

Sebenarnya ia tidak ingin melibatkan L karena kuatir gadis itu akan merasa tertekan, dan lebih parahnya akan kembali menjadi incaran orang jahat.     

Tetapi ah... bukankah akan lebih mudah menjaganya kalau L tahu bahaya apa yang mengancamnya?      

Karena pertimbangan ini akhirnya London mengangguk, walaupun ia tahu L tidak dapat melihatnya.     

"Baiklah.. aku pasti akan membantumu. Kita bisa membicarakannya setelah kau pulang ke Grunewald," jawab pria itu. "Kau jadi pulang besok?"     

"Jadi. Urusanku di sini sudah selesai," kata L.     

"Bagaimana hasilnya?"      

"Yah... belum tahu. Tim pengacara di sini sudah berhasil menemukan salinan surat wasiat kakek George Swann dan mereka juga sudah mengumpulkan daftar aset keluarga itu. Aku akan mempelajarinya dan nanti berkoordinasi dengan mereka untuk meminta pembagian harta yang adil..." L menerangkan sedikit tentang situasinya. Ia menduga London pasti sedikit banyak mengetahui apa yang terjadi. Maka tidak ada gunanya ia menutupi maksud kepergiannya ke Inggris minggu ini.     

"Kau benar-benar menginginkan hartanya?" tanya London. "Apakah hartaku saja tidak cukup? Rasanya nilai kekayaan keluarga Schneider puluhan kali lipat dari apa yang dimiliki keluarga kecil miskin itu..."     

Nada suaranya tidak dapat menyembunyikan sedikit rasa kesal. London tidak ingin istrinya menerima pemberian dari lelaki mana pun.     

L memijat keningnya mendengar pernyataan London. "Kau jangan bicara terlalu ringan seperti itu. Aku bukan istrimu, maka tentu aku tidak berhak atas uangmu. Apa kata istrimu nanti kalau kau sudah menikah dan dia tahu kau pernah menggombaliku dengan uangmu..."     

London merasa keheranan mendengar kata-kata L. Tidak biasanya gadis itu seperti ini.     

Apakah L cemburu? Mengapa ia terus-menerus membawa-bawa perempuan lain?     

"Makanya biar aku tidak terkena masalah dengan istriku kalau aku memberikan hartaku kepadamu, kau saja yang menjadi istriku ya? Jadi kita berdua sama-sama enak," kata London dengan santai. "Terus terang aku capek menunggu sampai bulan depan. Kau pikir aku ini pengangguran yang punya waktu luang begitu banyak untuk bisa kencan dengan banyak wanita?"     

"Eh..?" L merasa  keheranan mendengar kata-kata pria itu.     

Bisa-bisanya dia mengaku sibuk, padahal minggu ini dia pergi ke London begitu saja untuk bertemu seorang dokter cantik... L hanya bisa mengomel dalam hati. Ia tidak punya waktu untuk bertengkar lagi.     

"Aku tentu akan membantumu mencari orang yang bertanggung jawab atas kematian keluargamu. Bagaimana pun mereka adalah keluargaku juga." Suara London berubah serius. "Aku akan menjemputmu di bandara dan besok kita bisa berbicara tentang hal itu."     

L tertegun mendengar kata-kata London. Setelah beberapa lama akhirnya ia menarik napas panjang.     

"Baiklah. Sampai jumpa besok," katanya kemudian.     

"Sampai jumpa. Aku sudah tidak sabar memeluk Lily dan kau."     

L tidak menjawab. Ia hanya mematikan panggilan telepon dan menyimpan ponselnya kembali ke tas. Baiklah... ia akan pulang besok pagi ke Jerman. Ada begitu banyak hal yang harus ia bereskan.     

Ia harus mencari tahu pembunuh orang tua dan adiknya, lalu membalaskan dendamnya, dan kemudian mengurus pembagian harta warisan George Swann yang menjadi bagiannya. Lalu... ia juga harus melakukan sesuatu untuk memulihkan reputasinya yang sudah rusak akibat gosip yang beredar sepanjang minggu ini.     

***     

Pukul sembilan pagi, terdengar ketukan dua kali di pintu Suite. Pammy dan L saling pandang. Mereka tidak merasa menunggu tamu sama sekali.     

"Bukankah seharusnya kalau ada tamu yang mau naik ke sini, kita akan ditelepon oleh resepsionis?" tanya Pammy keheranan.     

"Entahlah.. coba kau buka saja dulu. Mungkin itu petugas hotel," kata L. Pammy akhirnya menurut dan berjalan ke pintu untuk membukanya. Sebelumnya ia mengintip dulu untuk memastikan yang datang itu bukan orang jahat.     

Di depan pintu, dilihatnya ada seorang pria tinggi besar bertubuh gagah dan memakai jas rapi  serba hitam. Penampilannya tampak sangat mengesankan. Pammy lalu membukakan pintu.     

"Selamat pagi, kau mencari siapa?" tanya Pammy keheranan. Dave tersenyum dan menyentuh keningnya sedikit, memberi tanda hormat kepada L dan Pammy sebelum menjawab.     

"Selamat pagi, Nyonya. Aku Dave, pengawal yang ditugaskan Tuan untuk menjaga Anda dan Nona kecil. Timku sudah menunggu di bawah dengan mobil. Kami akan menemani Nyonya ke bandara dan terbang ke Berlin dengan pesawat Tuan."     

L terkesima melihat salah satu pengawal pribadi London dari jarak dekat seperti ini. Ia paling sering melihat Marc mengitari London setiap kali mereka bertemu, tetapi ia baru beberapa kali melihat Dave, dan itu pun dari jauh.     

"Ah, kami baru selesai sarapan dan akan berangkat setengah jam lagi. Kalian tidak keberatan menunggu?" tanya L dengan ramah.     

Dalam hati ia merasa sangat lega. Tadi malam ia sempat dilanda ketakutan bahwa Danny Swann akan melakukan hal drastis untuk mencegahnya mendapatkan setengah harta warisannya. L takut dibunuh.     

Tetapi kini, ia menjadi tenang. Dave yang terlihat mengintimidasi itu akan menjaganya dari jarak dekat. Apalagi pria itu juga membawa tim. Tentu kami akan aman, pikir L.     

"Tentu saja kami akan menunggu," jawab Dave sambil tersenyum hormat. "Silakan makan dengan tenang, Nyonya..."     

L dan Pammy menyelesaikan sarapan mereka lalu membereskan barang-barang mereka untuk terakhir kalinya. Empat puluh menit kemudian mereka sudah berada di dalam limousine besar yang mengarah ke bandara.     

Pammy tak putus-putusnya mendesah kagum melihat interior limo yang mewah dan betapa mulusnya perjalanan mereka. L pun seperti itu. Walaupun ia adalah seorang artis terkenal, ia pun belum pernah masuk ke mobil semewah ini.     

Decak kagum Pammy semakin menjadi-jadi ketika tiba di bandara, mobil bergerak masuk ke runway dan mereka langsung turun dari mobil untuk naik ke pesawat pribadi London Schneider. Mereka sama sekali tidak perlu melewati jalur seperti penumpang komersial.     

"L... kuharap kau akan menikah dengan Tuan Schneider..." bisik Pammy saat ia menghenyakkan pantatnya di kursi sofa empuk di samping L. "Ini sungguh luar biasa!"     

L hanya memutar matanya mendengar kata-kata Pammy.     

Ia memang ingin menikah dengan London Schneider, tetapi bukan karena hartanya.     

Ah, mengapa Pammy tidak mengerti itu?     

Lagipula, L sendiri tidak tahu apakah perasaan London kepadanya memang benar cinta. Saat ini, lebih daripada semua harta di dunia, L hanya menginginkan kepastian. Ia tidak akan sanggup menikah dengan seseorang hanya demi hartanya, tanpa mendapat keyakinan bahwa pernikahan mereka memang dilandasi oleh cinta.     

L yang sekarang bukan L yang dulu, yang tidak mempedulikan siapa pria yang akan dinikahinya, asalkan pria itu sangat kaya dan berkuasa.     

Sungguh ada begitu banyak perubahan yang terjadi selama setahun belakangan ini, pikirnya.     

Mereka mendarat di Berlin pukul 2 siang. L membiarkan Dave dan anak buahnya membawakan barang-barangnya, sementara ia menggendong Lily turun dari pesawat.     

Ah, tadi malam London bilang akan menjemput mereka di bandara. Apakah ia benar-benar akan datang? L bertanya dalam hati.     

"Sayang.. kau sudah pulang?"     

Rupanya L tidak perlu bertanya lama-lama. Suara hangat yang khas itu menyambutnya begitu kaki L menjejak anak tangga pertama. Saat ia menuruni tangga pesawat, pandangannya segera tertumbuk pada seorang pria jangkung dan tampan yang berdiri tenang di landasan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku mantel abu-abunya yang tampak hangat.     

Saat itu, rasanya L ingin sekali bergegas menuruni tangga dengan cepat dan menghambur ke balik mantelnya yang hangat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.