The Alchemists: Cinta Abadi

Sangat Lelah



Sangat Lelah

0Pemuda itu masih kesal kepada L sehingga ia memutuskan tidak membalas panggilan telepon gadis itu.     

"Uhm.. Tuan, ada missed call ke ponselku dari Nona L." Tiba-tiba Jan mengangkat ponselnya sendiri dan memperlihatkannya kepada London.     

Ah, ya... tentu saja. L pasti akan menghubungi Jan dulu sebelum ia menghubungi London. Pria itu sudah mengatakan kepadanya untuk menelepon Jan kalau ada perlu apa-apa.     

"Lalu?" tanya London. "Kenapa kau tidak telepon dia balik?"     

"Nona L minta berbicara kepada Tuan."     

London memutar matanya dan hendak mengabaikan permintaan Jan ketika tiba-tiba terdengar suara tangis Lily meledak.     

"Ehh... ada apa? Kenapa kau menangis, Sayang?" tanya London kebingungan. Ia malah tidak tahu Lily sudah bangun dari tidurnya.     

Lily tidak peduli, ia menangis semakin keras dengan suara yang mengguncang langit.     

Bayi mungil itu sangat jarang menangis, sehingga setiap kali ia sungguh mencucurkan air mata dan menjerit dengan suara yang demikian keras, ayahnya akan segera menjadi kelabakan.     

"Sssshh... kau kenapa? Apakah..." London bertukar pandang dengan Jan dan keduanya mengerutkan kening keheranan.     

Tidak mungkin kan Lily menangis karena London tidak mau menelepon ibunya?     

Akhirnya London mendekati Lily dan mengeluarkan ponselnya, hendak bereksperimen apakah Lily akan berhenti menangis jika ia menelepon L... atau tidak.     

TUT     

TUT     

Baru dua deringan saja, L telah mengangkat panggilan telepon dari London.     

"KAU BAWA KEMANA ANAKKU???" Terdengar suara jeritan dari ujung telepon yang tidak kalah kencangnya dengan suara tangisan Lily.     

London terpaksa harus menjauhkan telepon dari telinganya dan memijat keningnya yang tiba-tiba terasa nyeri.     

Anehnya suara tangis Lily kini sudah menghilang. Seolah tidak terjadi apa-apa, kini bayi mungil itu sedang asyik mempermainkan jempolnya dan kemudian berusaha keras meraih ujung sepatunya untuk digigit.     

London dan Jan kembali bertukar pandang dan ekspresi di wajah mereka sekarang tampak dipenuhi kebingungan.     

Tidak mungkin kan Lily sengaja menangis barusan agar ayahnya mau menelepon ibunya? Ini pasti kebetulan, akhirnya keduanya mengambil kesimpulan yang sama.     

"Sshh... tidak boleh," London menahan kaki Lily dengan tangan kirinya agar bayinya tidak melahap ujung sepatunya, sementara tangan kanan kembali menaruh telepon ke telinganya. "Tidak usah berteriak-teriak.. Kau kan pasti tahu aku di mana?"     

Suara L terdengar sangat panik.     

"Aku ke rumahmu untuk mengambil Lily, tetapi semua pelayan tidak ada yang mau memberitahuku kau membawanya ke mana... Aku berusaha menelepon Jan tetapi ia tidak mau mengangkat panggilan telepon dariku, kau juga mendiamkanku. Apakah kau sengaja mendiamkanku karena kau masih marah kepadaku??? Sungguh kekanan-kanakan!"     

London hanya mendengarkan L terus marah-marah di telepon sambil memberi tanda kepada Jan untuk membereskan berkas-berkasnya sementara ia mengangkat keranjang Lily dari kursi dan berjalan keluar ruang rapat.     

"Sekadar koreksi ya, yang marah-marah itu kau. Aku baik-baik saja. Tadi pagi aku berkali-kali meneleponmu tetapi kau yang tidak mau mengangkat panggilan teleponku, jadi aku membawa Lily ke kantor." London berjalan melintasi koridor menuju ruangannya sambil menenteng keranjang Lily di tangan kirinya dan telepon di tangan kanannya yang menempel di telinga. "Kami sebentar lagi pulang."     

Para karyawan yang melihat bos mereka lewat dengan membawa Lily, satu demi satu mengangkat kepala mereka dan memperhatikan pemandangan indah itu sampai London dan Lily menghilang di balik pintu.     

"Astaga... bos kita kebapakan sekali. Sungguh suami idaman..."     

"Aku penasaran siapa istrinya."     

"Ahh.. aku sungguh patah hati...."     

Demikian terdengar ucapan para karyawan di sana-sini. Jan yang lewat kemudian sambil membawa beberapa berkas di tangannya, menyusul langkah London, memperingatkan para staff dengan delikan matanya, dan seketika suasana kembali menjadi hening.     

***     

London mampir di rumah L untuk mengantar Lily sebelum pulang ke rumahnya sendiri. Begitu pintu gerbang terbuka, ia melihat L yang berwajah sangat kuatir segera menyerbunya.     

"Oh Tuhan... Lily.. Ibu rindu sekali..." serunya dengan suara hampir menangis.     

London merasa keheranan. Menurutnya L bersikap berlebihan, seolah sudah berhari-hari tidak melihat anaknya.     

"Kalau kau sekuatir ini, kenapa tidak mengangkat panggilan teleponku tadi pagi?" tukas London sewot. L tidak menjawab pertanyaannya. Ia segera membuka semua seatbelt yang mengikat car seat Lily dan mengangkat anaknya dari dalam mobil.     

London merasa pelan-pelan dadanya terisi kemarahan. Ia tidak terima L masih tidak menghiraukannya, padahal ia sudah meminta maaf. Kenapa sulit sekali bagi L untuk memaafkannya? Tadi malam ia tidak bermaksud mengejek L yang meminta dinikahi sebagai bekas istri orang...     

"Kau sungguh keterlaluan, L! Kau benar-benar egois!" seru London dengan nada frustrasi. L bahkan tidak mau menoleh ke arahnya, ia  terus saja masuk ke dalam rumah dengan membawa Lily dalam gendongannya.     

Anne, salah satu dari dua staff yang dipekerjakannya di rumah itu tampak di ambang pintu dan buru-buru menghampiri London. Wajahnya terlihat agak cemas.     

"Uhm... Tuan, bukan salah nyonya kalau tadi nyonya tidak bisa mengangkat telepon. Penyakit nyonya kambuh dan ia pingsan sepagian. Kami menemukannya dan segera memanggil dokter kemari."     

London tertegun mendengar penjelasan Anne. Ia menatap wajah gadis itu dengan penuh selidik. Anne dan Violet adalah staff yang ia pekerjakan dan ia yang membayar gaji mereka, jadi tentu mereka ada di pihaknya. Mereka tidak mungkin mengarang cerita untuk membela L...     

"Kenapa.. kenapa dia tidak bilang kalau sakit?" tanya London keheranan. Ia ingat bahwa L memang memiliki penyakit jantung bawaan dan dulu mereka pernah ribut sehingga L terkena serangan jantung dan harus masuk rumah sakit dan terpaksa melahirkan Lily secara micro-prematur...     

Apakah L kembali sakit karena kata-kata London tadi malam?     

Pria itu tiba-tiba dihinggapi rasa bersalah yang teramat besar. Ia dapat membayangkan betapa paniknya L tadi saat gadis itu berusaha menghubungi dirinya dan Jan namun tidak mendapatkan jawaban. Mereka tidak dapat dihubungi karena sedang meeting penting, tetapi L tentu tidak mengetahui apa yang terjadi.     

Mungkin selama berjam-jam L bertambah panik karena mengira London sengaja mengambil Lily darinya dan memutuskan kontak sehingga tidak dapat dihubungi.     

Kepalanya seketika berdenyut-denyut mengingat 100 missed call yang diterimanya. Entah berapa ratus missed call yang masuk ke ponsel Jan.     

Tanpa terasa sepasang kakinya telah berjalan dengan langkah-langkah cepat masuk ke dalam rumah. Ia tidak menemukan L di ruang tamu dan di mana pun, sehingga London akhirnya memutuskan untuk mencari gadis itu di kamarnya.     

Benar saja, L sedang duduk di tempat tidurnya sambil memeluk Lily dengan wajah sepucat kapas.     

"Maaf... aku dan Jan tadi tidak bisa dihubungi.. kami sedang menghadiri meeting penting," katanya dengan suara lembut sambil mendekati L pelan-pelan.     

"Kau membuatku sangat ketakutan..." bisik L dengan suara bergetar. "Aku takut kau membawa Lily pergi dariku.."     

"Aku tidak akan pernah melakukan itu," balas London. Ia sudah tiba di depan L dan menatap gadis itu lekat-lekat. "Kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau kau sakit?"     

"Aku tidak mau merepotkan," jawab L datar. "Aku sudah cukup menyusahkanmu selama ini."     

"Kau itu ibu dari anakku.. tentu saja kau boleh menyusahkanku. Karena aku tidak tahu kau sakit, aku mengira kau sengaja tidak mau mengangkat telepon dariku tadi pagi, makanya aku membawa Lily ke kantor secara sepihak."     

L balas menatap London. Sepasang matanya yang hitam tampak lelah dan menderita.     

"Kita punya masalah komunikasi yang sangat parah..." kata L akhirnya. "Aku sangat lelah dengan semua ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.