The Alchemists: Cinta Abadi

Lily di Kantor



Lily di Kantor

0Keesokan harinya London membawa Lily ke kantor bersamanya. Ia kesal kepada L karena gadis itu masih menolak bicara kepadanya akibat peristiwa tadi malam. London sudah berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak sengaja dan tidak bermaksud mengucapkan kata-kata tersebut, tetapi L masih tidak mau memaafkannya.     

"Mengapa kau egois sekali?" omel London sambil membanting ponselnya. Setelah deringan kedua puluh L tidak juga mau mengangkat panggilan teleponnya. "Kalau kau yang menyakiti hatiku, aku harus memaafkanmu, tetapi kalau aku yang TIDAK SENGAJA menyakiti hatimu, aku tidak dimaafkan. Ini tidak adil..."     

Lily yang melihat ayahnya mengomel-ngomel mengerutkan bibirnya seolah protes karena London memarahi ibunya.     

"Aku tahu ibumu masih muda, tapi ia tidak boleh egois terus..." London menoleh kepada Lily, lalu bersimpuh ke keranjang bayinya dan menepuk pipi anak perempuannya dengan lembut. "Kau nanti jangan menjadi perempuan yang egois, ya..."     

Lily dengan sigap mengambil jari telunjuk ayahnya yang tadi menepuk pipinya dan memasukkan ke mulutnya, lalu dengan santai berusaha mengunyahnya.     

"Ugh... jangan sembarangan memasukkan barang ke mulutmu, Sayang..." London melepaskan jarinya perlahan-lahan dari mulut Lily dan sebelum bayi mungil itu sempat protes, ia telah menggantinya dengan mainan khusus untuk digigit bayi.     

Lily puas dengan mainan penggantinya dan tidak protes. Hanya terdengar suara-suara celoteh tidak jelas dari bibirnya saat ia menggigiti mainannya sambil memperhatikan ayahnya berganti pakaian dan bersiap ke kantor.     

"Lily ikut dengan ayah, ya... Kalau ibumu masih ngambek, biarkan saja." London mematut dirinya di cermin sebentar dan mengambil mantel musim gugur dan mengenakannya di luar jasnya, lalu menyelimuti Lily yang sudah berdandan cantik dengan jaket tebal berwarna biru muda. "Nahh.. kau bisa ikut ke kantor dan lihat ayah bekerja."     

Marc tampak keheranan melihat London keluar rumah dengan menenteng keranjang bayi tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia membantu menaruh keranjang Lily di car seat dan memasang semua seatbeltnya lalu masuk ke bangku pengemudi. Dave yang duduk di sebelahnya juga tidak berkata apa-apa.     

London hanya memejamkan matanya di sepanjang perjalanan, berusaha menenangkan pikirannya agar tidak lagi diisi kekesalan akibat pertengkarannya dengan L. Lily yang melihat ayahnya seolah bermeditasi kemudian meniru perbuatan ayahnya dan juga memejamkan mata.     

Bayi mungil itu sudah tertidur pulas ketika mobil berhenti di ruang parkir bawah tanah Schneider Tower. London hanya tertawa sendiri melihat anaknya tertidur dengan bibir separuh terbuka dan tangannya masih menggenggam kuat mainannya yang sudah dipenuhi liur.     

"Astaga.. kenapa bisa ada bayi yang begitu menggemaskan seperti anakku ini..." gumam London sambil memuji diri sendiri. "Pasti aku juga menggemaskan seperti ini waktu masih bayi."     

Ia menggotong keranjang Lily dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri masuk ke saku dan ia berjalan dengan sikap keren menuju lift. Marc dan Dave mengikutinya, masing-masing membawa tas kerja London dan tas perlengkapan bayi.     

Beberapa karyawan yang melihatnya berjalan menuju lift tampak tertegun di tempat. Mereka kaget karena selama ini mereka belum pernah melihat bos besar mereka membawa-bawa keranjang bayi.     

Apakah keranjang itu isinya bayi betulan?     

Bayi siapa?     

Mengapa Tuan Schneider membawanya?     

Astaga...     

Sayangnya mereka tidak bisa melihat lebih dekat karena London menggunakan lift pribadinya, sehingga mereka tidak dapat mencuri lihat. Namun demikian berita tentang London Schneider datang ke kantor dengan membawa bayi segera menyebar ke seisi gedung bagaikan kebakaran hutan, sehingga ketika pintu lift-nya terbuka di lantai 50, banyak karyawan yang sudah bersiap untuk menelengkan kepala mereka dan mencuri lihat seperti apa gerangan bayi yang dibawa tuan besar mereka ke kantor pagi ini.     

"Eh...?" Jan yang baru keluar dari ruangannya dan hendak turun ke lobi tampak membelalakkan matanya besar sekali melihat London berjalan dengan langkah-langkah elegan menuju ruangannya yang besar di ujung koridor. "Tumben Tuan membawa Nona Kecil."     

"Aku mau mengajari Lily sejak kecil biar nanti dia tumbuh menjadi pebisnis yang sukses..." jawab London asal-asalan. Ia tidak memperhatikan telinga orang-orangnya yang bekerja di lantai itu tampak terangkat dan berusaha mendengarkan kata-katanya.     

Astaga...? Nona Kecil? Apakah ini anak perempuan Tuan Schneider?     

Namanya Nona Lily?     

Kapan Tuan Schneider menikah? Siapa ibunya???     

Selain orang-orang yang penasaran, ada juga gadis-gadis yang merasa patah hati karena ternyata bos mereka yang tampan telah menikah dan mempunyai anak.     

Jan hanya tertawa kecil mendengar kata-kata London. Ia mendekat dan melihat bahwa Lily sedang tertidur pulas.     

"Tuan membawa ASI dan perlengkapan lainnya?" tanya Jan kepada London.     

Bosnya mengangguk dan memberi tanda kepada Marc dan Dave untuk membawa barang-barangnya ke dalam ruangannya.     

"Tapi aku lupa membawa penghangat ASI. Bisa tolong kau belikan satu untuk ditaruh di ruanganku?" tanyanya.     

Jan tahu ini bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.     

Lucu sekali cara bosnya ini menyuruhnya melakukan ini itu seolah Jan bisa menjawab dengan kata 'tidak'. Tentu saja ia hanya bisa menjawab 'ya'.     

"Aku akan menyuruh Kim membelinya," kata Jan sambil mengangguk. Ia menoleh ke arah sekretarisnya yang sedang duduk mengetik di meja di depan ruangannya. Wanita berusia akhir tiga puluhan yang berkaca mata berbingkai tanduk itu segera mengangguk dan membuka marketplace.     

Jan yang efisien memiliki sekretaris yang sama efisiennya dengan dirinya.     

"Apakah Tuan mau membatalkan rapat koordinasi dengan divisi investasi nanti sore?" tanya Jan sebelum melanjutkan perjalanannya ke lobi.     

"Tentu saja tidak, aku akan bekerja seperti biasa." London melanjutkan berjalan dan masuk ke ruangannya.      

Setelah sang bos besar menghilang di balik pintu, semua staff di lantai 50 segera berbisik-bisik dan membicarakan kehebohan yang baru saja mereka saksikan. Banyak orang segera menyerbu Kim, sekretaris Jan yang pasti mengetahui apa yang sedang terjadi, tetapi wanita bertampang kaku itu hanya menggeleng-geleng dan fokus melanjutkan pekerjaannya.     

"Astaga, Kim... kau tidak boleh begitu. Kami kan ingin tahu apakah masih ada harapan bagi kami untuk mendapatkan cinta Tuan London Schneider..." bujuk beberapa gadis di sekitar Kim dengan wajah memelas.     

Kim hanya mengangkat bahunya dengan acuh. "Aku tidak digaji tinggi karena mulutku bocor."     

Hanya itu jawabannya. Para staf yang merubungnya hanya bisa mendesah kecewa.     

Sementara itu di dalam ruangannya, London menaruh keranjang Lily di sofa besar di samping meja kerjanya dengan hati-hati. Ia tidak ingin Lily terbangun karena merasa ada gerakan tiba-tiba pada tempat tidurnya.     

Setelah memastikan semua teratur dengan baik, London lalu kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya. Jan telah mengirim detail acara konferensi dan informasi  tambahan tentang keluarga Wendell.     

Setelah beres meneliti itu semua, ia lalu melanjutkan mempelajari beberapa laporan dari divisi investasi yang hari ini akan menjadi pembahasan rapat. Akhir tahun sebentar lagi tiba dan mereka harus menyiapkan forecast untuk investasi tahun depan berdasarkan kinerja dari investasi yang mereka lakukan di tahun 2050 ini.     

Saat ia tengah suntuk-suntuknya mempelajari berbagai laporan, pandangannya mengerling tidak sengaja ke arah keranjang Lily dan mendapati anaknya sedang menatapnya dengan sepasang mata bulatnya.     

"Uhm... kau mau melihat laporan yang sedang ayah pelajari?" tanyanya. Seolah mendapatkan persetujuan dari Lily, London lalu mengangkat bayinya lalu menaruhnya di pangkuannnya dengan posisi yang sangat nyaman dan memberikan beberapa lembar kertas tidak penting untuk anaknya pegang. "Kau bisa baca laporan yang ini. Tapi jangan dimakan."     

Lily memang anak terbaik di dunia, pikirnya. Tanpa rewel bayi mungil itu bermain dengan kertas-kertas di tangannya sementara London kembali fokus pada laporan di tangannya.      

TOK TOK     

"Masuk," perintah London tanpa mengangkat wajah.     

Jan membuka pintu dan masuk dengan membawa kotak besar berisi alat pensteril botol dan penghangat ASI. Ia lalu menaruh kotak tersebut di meja di samping kulkas di ruang duduk kantor London dan mengeluarkan isinya.     

"Ngomong-ngomong, aku sudah membuat  profil di situs kencan online untuk Tuan," katanya tiba-tiba.     

London dan Lily serentak menoleh ke arah Jan dengan wajah sama-sama kaget.     

London lalu menoleh ke arah anaknya dengan kening berkerut.     

"Kau mengerti ucapannya?" Ia menunjuk ke arah Jan. Ia menatap Lily dengan penuh pertanyaan. Sesaat kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala sendiri. "Ah.. mana mungkin kau mengerti. Kau kan masih bayi. Aku pasti sudah gila kalau mengira kau mengerti ucapan Paman Jan... hahaha..."     

"Tuan barusan bilang apa?" tanya Jan keheranan.     

"Uhmm.. tidak apa-apa. Ayo lanjutkan ucapanmu," jawab London buru-buru.     

"Oh, baiklah. Jadi  aku sudah selesai membuat profil Tuan di situs kencan online. Tuan bisa cek dulu dan berikan persetujuan, sebelum profil ini live." Jan menghampiri London dan membuka sebuah situs di komputernya dan memasukkan username dan password.     

London menyipitkan mata dan membaca profil yang dimaksud dan berkali-kali mendecak, "Hmm.. oke. Lumayan. Aku setuju."     

Jan tersenyum simpul mendengarnya. Ahhh... ia sudah tidak sabar mengatur beberapa kencan untuk bosnya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.