The Alchemists: Cinta Abadi

Jarak



Jarak

3Caspar dan Finland beserta Lauriel memutuskan tinggal lebih lama di Targu Mures karena mereka ingin menikmati waktu lebih lama dengan cucu mereka. Kedua pria itu banyak menghabiskan waktu berdua menjelajah bersama ditemani Altair dan Vega, sementara Finland membantu Aleksis dengan Ireland dan Scotland.     

Finland sangat menyayangi kedua cucunya yang paling kecil itu karena untuk pertama kalinya ia merasa memiliki anggota keluarga yang mirip dirinya.  Caspar dan anak-anaknya memiliki penampilan Eropa yang kental, sementara Finland setengah Asia.     

Itu juga yang membuat Finland sangat menyukai L, gadis itu memiliki darah Jepang dari ibunya dan terlihat mirip Finland. Sayangnya kisah cinta London dan L tidak berjalan mulus sehingga Finland tidak bisa mengharapkan memiliki menantu yang ia sukai itu.     

Kini, dengan adanya Ireland dan Scotland yang mewarisi sebagian penampilannya, sepasang mata dan rambut cokelat dengan wajah separuh Asia, Finland merasa sangat senang. Ia tidak keberatan kalau sampai orang-orang mengira kedua bayi itu adalah anaknya sendiri.     

Ahh.. mengingat suaminya berkali-kali menggodanya untuk punya anak lagi, Finland menjadi tersipu. Ia sama sekali tidak berminat melahirkan untuk keempat kalinya. Biarlah anak-anak dari ketiga anaknya yang kelak mengisi hidupnya dan Caspar bersama. Dari Aleksis saja mereka sudah mendapatkan empat orang cucu dan satu orang dari London.     

Dalam hati ia berharap Rune tidak akan terlalu cepat menemukan tambatan hati apalagi melakukan kesalahan seperti London yang mengakibatkan lahirnya seorang anak yang tidak direncanakan dan kini harus mengalami hidup yang rumit karena orang tuanya tidak menikah.     

***     

Begitu London tiba kembali di Grunewald, L telah menunggunya di ruang tamu rumah keluarganya. Wajah gadis itu tampak lelah, tetapi sepasang matanya segera bersinar gembira begitu melihat Lily.     

"Ahh.. Lily!! Ibu rindu sekali..." serunya sambil bangkit berdiri dan menyambut London yang membawa Lily di keranjang bayi.     

"Kau tahu dari mana aku tiba jam segini?" tanya London keheranan.      

"Jan Van Der Ven," jawab L sambil mengambil keranjang bayi dari tangan pria itu. "Aku bawa Lily pulang ya?"     

Ugh.. London ingin sekali mengajukan keberatan karena ia masih ingin bersama Lily, tetapi melihat pandangan L yang sangat merindukan anaknya, akhirnya ia mengalah.     

"Biar kuantar," katanya kemudian. Ia berjalan keluar dan mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Walaupun rumah mereka berdekatan, ia tahu tidak baik jika L berjalan dari sini ke rumahnya karena orang lain bisa melihat dan mengenalinya. Bagi orang kaya dan bagi selebriti, privasi adalah harta yang sangat berharga.     

Hmm... apakah sebaiknya ia membeli beberapa rumah yang menghubungkan rumah mereka dan membuat koridor pribadi agar ia dan L dapat berjalan pulang pergi ke rumah masing-masing tanpa harus takut dilihat orang?     

Bisa juga, pikirnya.     

L tidak menolak tawaran London. Ia menaruh keranjang bayi di carseat dan mengikatnya dengan baik lalu duduk di kursi depan. Tidak sampai 5 menit keduanya telah mengeluarkan carseat itu di halaman rumah L.     

"Ini... tidak  praktis," gumam L pelan.     

"Apa katamu?" tanya London yang sempat mendengar ucapan gadis itu.     

L buru-buru menggeleng. "Tidak apa-apa..."     

"Aku punya telinga dan tadi jelas-jelas kau mengatakan sesuatu," kata London. "Aku penasaran apa yang tadi kau katakan."     

"Tidak penting. Itu bukan apa-apa..." L membawa car seat berisi Lily dan membawanya masuk. Ia menoleh ke arah London yang masih berdiri di samping mobilnya dan baru saja hendak mengeluarkan barang-barang Lily. "Kau sudah makan malam?"     

London menggeleng. Pasti ada makanan di rumah, walaupun ayahnya masih di Targu Mures, karena kulkas mereka selalu berisi makanan. Baginya makan malam tidak terlalu penting. London tidak suka makan sendiri. Rune tadi mengatakan hendak langsung ke tempat Paman Aldebar dan baru akan pulang besok.     

"Kau mau makan malam di sini?" tanya L. "Aku tadi belajar memasak."     

London tertegun mendengar tawaran ini. Ia tahu L tidak suka memasak. Ia lebih memilih kelaparan daripada memasak sendiri, karena itulah London dulu memaksanya tinggal bersamanya agar ia bisa mengawasi pola makan gadis itu saat ia sedang mengandung Lily.     

"Hmm... kau masak apa?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.     

"Aku akan memasak steak karena gampang..." kata L dengan nada ragu, seolah ia sendiri tidak yakin akan masakannya.     

"Oh.. kau belum memasak?" tanya London. Steak bukanlah makanan yang bisa dimasak lalu dinikmati belakangan. Steak harus segera dihidangkan segera setelah dimasak dan dimakan panas-panas.     

L menggeleng. "Aku tadi mau menunggu kalian pulang dulu."     

Akhirnya London mengangkat bahu. "Baiklah. Aku bisa makan malam di sini. Aku bisa melihat Lily lebih lama."     

Ia akhirnya mengeluarkan barang-barang Lily dan membawanya masuk ke dalam rumah, mengikuti L. Dua orang staf yang dipekerjakannya untuk membantu L menyapanya dari dalam rumah. Mereka kemudian mengundurkan diri ke paviliun masing-masing dan memberi mereka privasi.     

"Aku akan memandikan Lily dan menyusuinya, lalu memasak makan malam," kata L sambil membawa keranjang berisi Lily ke kamarnya.     

London hanya mengangguk. Ia masuk ke dapur dan melihat-lihat isi kulkas. Hmm.. sistem automasi dari RMI berjalan sangat baik, pikirnya. Semua bahan makanan yang ada tersimpan rapi dan ada catatan apa saja isinya dan kapan sistem itu akan memesan bahan makanan berikutnya.     

Ia merindukan dapur ini karena di sini ia banyak mengalami momen hangat bersama L dan Lily selama tiga bulan mereka tinggal bersama. Ia menyukai penataan dapurnya yang mengarah ke taman serta berdampingan dengan meja makan yang ukurannya tidak besar sehingga menimbulkan kesan akrab.     

Ia memperhatikan bahwa L sama sekali tidak mengubah penataan di rumah ini setelah London pindah. Hal itu membuatnya agak senang. Suasana hati pria itu menjadi sangat bagus hingga ia dengan sukarela membuka kulkas dan mengeluarkan bahan makanan dari dalamnya.     

Hmm... ada kentang, berbagai sayuran dan bahan membuat salad. Astaga.. katanya dia mau memasak steak, tapi kenapa dagingnya masih beku? omel London dalam hati.     

Ia mengeluarkan dua potong daging sapi premium dari pembeku dan menaruhnya di microwave untuk mencairkan daging tersebut. Dalam waktu tidak terlalu lama London sudah memotong-motong sayuran dan merebus kentang.     

L sangat terkejut ketika ia masuk ke dapur setengah jam kemudian dan menemukan London sedang membuat mashed potato (kentang tumbuk) dan sudah siap dengan salad di mangkuk besar, lalu dua potong daging yang sudah lunak di atas talenan siap dimasukkan ke wajan untuk dipanggang.     

"Eh.. kau sedang apa?" tanya gadis itu keheranan.     

"Aku sedang memasak makan malam," kata London. Ia buru-buru menambahkan alasan. "Aku sudah kelaparan dan tidak sabar menunggumu."     

"Ta... tapi seharusnya aku yang memasak untukmu, kau baru pulang bepergian dan kau pasti capek mengurusi Lily selama akhir pekan ini." L benar-benar tampak tidak enak karena lagi-lagi merepotkan pria ini untuk memasak bagi mereka.     

London Schneider adalah pemilik Schneider Group yang demikian besar dan setiap detik waktunya sangat berharga.. tetapi laki-laki ini sudah menghabiskan lebih dari setengah jam di dapur untuk membuat makanan. Entah apa kata orang-orang kalau sampai mereka tahu...     

"Kalau kau benar-benar merasa bersalah, kau bisa memasak makan malam untukku besok," kata London dengan acuh tak acuh. "Sekarang sudah terlanjur."     

L tidak dapat berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan. "Ada yang bisa kubantu?"     

"Tidak ada. Ini sudah hampir selesai. Kau duduk saja dan atur mashed potato serta saladnya. Aku akan membawa steaknya tiga menit lagi," kata London sambil menunjuk mangkuk berisi salad.     

L mengangguk. Ia membawa barang-barang yang dimaksud oleh London dan menata meja makan untuk mereka makan malam bersama.     

Diam-diam ia teringat masa lalu ketika mereka masih tinggal di apartemen jelek di tengah kota saat London masih berpura-pura menjadi seorang fotografer miskin. Sungguh rasanya peristiwa itu sudah lama sekali.     

London sebenarnya juga memikirkan hal yang sama. Sungguh, ia merasa lebih bahagia saat itu di apartemen sederhananya, karena hubungannya dan L masih sangat baik. Kini mereka masing-masing tinggal di rumah yang sangat megah dan indah, tetapi jarak memisahkan mereka secara fisik dan hati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.