The Alchemists: Cinta Abadi

Tawaran Ren



Tawaran Ren

0"Gadis seperti apa maksudmu?" tanya Ren keheranan. Ia menduga Fee berpikir macam-macam kalau melihat dari sikapnya seperti ini. Ia menyentuh wajah Fee dan mendekatkannya ke wajahnya sendiri. Mereka saling bertatapan dan Ren dapat segera melihat apa yang menjadi kekuatiran Fee,     

"Tuan orang yang sangat pandai. Pasti mengerti apa yang kurasakan," kata gadis itu dengan berterus-terang.     

Ren mengangguk. "Aku mengerti sekarang."     

"Benar. Jadi aku tidak bisa ikut ke ibukota denganmu." Gadis itu tertunduk.     

"Kau akan membuatku patah hati, Fee," kata Ren pelan.     

Fee mengangkat wajahnya dan kembali menatap Ren. Kali ini ekspresi wajahnya tampak keheranan. Ia tidak mengerti apa maksud perkataan Ren barusan.     

Apakah..      

Apakah pemuda itu juga menyukainya?     

"Kenapa Tuan berkata seperti itu?" tanya Fee sambil mengerutkan keningnya.     

"Karena aku menyukaimu, tetapi sepertinya kau tidak ingin memberiku kesempatan," jawab Ren.     

"Tuan menyukaiku?" tanya Fee lagi.     

Ia tak percaya pada pendengarannya sendiri.     

"Hmm.. bisakah kau berhenti memanggilku Tuan? Kau sudah bukan pelayan pribadiku di villa." kata Ren. "Rasanya risih mendengar panggilan itu dari bibirmu setelah apa yang kita lakukan semalam."     

Wajah Fee kembali memerah bagaikan tomat. Ia terlihat begitu menggemaskan hingga Ren harus berusaha keras menahan diri untuk tidak menciumnya.     

"Maafkan aku.. Aku terlanjur terbiasa memanggil Tuan," kata Fee.     

"Fee..." Ren tampak berpikir sejenak sebelum ia melanjutkan bicaranya. "Aku belum pernah melakukan ini kepada siapa pun. Aku tidak memiliki kekasih atau pun wanita yang kuajak ikut denganku ke ibukota. Aku terlalu sibuk dan aku tidak punya kesabaran untuk menjalani hubungan yang serius sebelumnya karena aku kesulitan untuk tidur. Jadi kalau itu yang membuatmu merasa berat, aku ingin mengklarifikasi sebelumnya bahwa dugaanmu itu salah. Aku tidak punya wanita-wanita di ibukota yang menjadi simpananku."     

Fee menekap bibirnya. Ia terkejut mendengar penjelasan Ren. Apakah kata-katanya benar? Dapatkah ia mempercayai Ren?     

Dari apa yang didengarnya, Pangeran Renald Hanenberg memang memiliki reputasi sebagai orang yang angkuh, pemarah, dan ketus, karena ia sibuk dan memiliki masalah insomnia parah. Mungkin benar bahwa tidak banyak wanita yang tahan dengannya karena sikapnya yang ketus itu.     

"Oh.." Hanya itu yang dapat diucapkan Fee. Keraguannya yang tadi sangat besar menguasai kepalanya, pelan-pelan menghilang. Kalau Ren memang menyukainya dan tulus ingin menjalin hubungan dengannya, maka Fee pun ingin mencoba.     

"Kau boleh memikirkannya dulu. Nanti kau beri tahu aku apa yang kau inginkan." Ren mengeluarkan sebuah kartu dari saku kemejanya dan menaruhnya di tangan Fee. "Ini nomor kontak pribadiku. Aku akan menunggu telepon darimu."     

Fee menerima kartu itu sambil mengangguk. Ia lalu melepaskan diri dari pangkuan Ren dan kembali ke kursinya. "Terima kasih, Tuan. Aku akan memikirkannya baik-baik."     

"Kumohon, panggil saja aku Ren," kata Ren dengan nada suara sangat bersungguh-sungguh.     

Fee mengangguk. Rasanya akan sulit untuk mengganti panggilannya kepada Ren, tetapi ia setuju. Kalau mereka akan menjalin hubungan di luar pekerjaannya, maka akan canggung jika ia terus memanggil Ren dengan panggilan Tuan.     

Setelah selesai sarapan, Ren menawarkan diri mengantar Fee pulang. Ternyata ia telah meminta resort menyediakan sepeda untuknya dan tidak lama kemudian sebuah sepeda telah diantar ke depan villa no. 4.     

Fee tertegun saat melihat sepeda itu. Ia tidak mengira Ren benar-benar akan mengantarnya.     

"Aku sudah lama tidak bersepeda mengitari danau," kata Ren sambil mengangkat bahu. Lagipula sepedamu kan masih rusak. Kalau kau pindah ke ibukota, kau tidak akan membutuhkan sepeda."     

Fee masih memikirkan apakah ia akan menerima tawaran Ren untuk ikut dirinya ke ibukota atau tidak. Ia tidak membalas kata-kata Ren. Akhirnya dengan ragu-ragu ia berjalan mengiringi langkah Ren yang menuntun sepedanya turun ke arah danau.     

"Ayo naik," kata Ren setelah mereka tiba di jalan kecil di pinggir danau. Ia memberi tanda agar Fee naik ke boncengan. Setelah Fee duduk dengan baik, pria itu lalu menaiki sepedanya dan mulai mengayuh. "Kau tunjukkan arahnya ya."     

"Baik," jawab Fee.      

Sambil mengendarai sepeda, satu tangan Ren menarik tangan Fee agar memeluk pinggangnya. "Pegangan yang erat. Jangan sampai jatuh. Kakimu masih terluka akibat jatuh kemarin."     

Ren tidak melihat wajah Fee yang tampak begitu merah saat ia menarik tangan Fee dan mengarahkannya untuk memeluk pinggangnya. Gadis itu merasakan dadanya kembali berdebar-debar keras sekali.     

Mimpi apa ia? Siang ini Fee duduk di boncengan sepeda Ren melintasi pinggiran danau menuju ke rumahnya. Ia merasa dadanya begitu penuh oleh perasaan yang meluap-luap.     

Mereka tidak berbincang-bincang selama di perjalanan. Keduany hanya diam menikmati pemandangan dan kebersamaan mereka. Hanya sesekali Fee memberikan arahan jalan menuju ke rumahnya.     

Lima belas menit kemudian, mereka pun tiba di depan rumah gadis itu. Ren memarkir sepedanya di depan pagar dan ikut masuk ke halaman. Fee merasa tidak enak kalau tidak menawarinya minum, karena itu ia pun berbasa-basi mengundang Ren untuk mampir.     

"Apakah kau mau minum teh atau kopi?" tanya gadis itu dengan sopan.     

Lidahnya pelan-pelan sudah mulai terbiasa tidak lagi memanggil Ren dengan panggilan Tuan.     

"Boleh, terima kasih," Ren mengangguk.     

"Silakan duduk," Fee memberi tanda agar Ren duduk di teras sementara ia akan masuk ke rumah untuk menyiapkan minuman. "Aku akan memanggil nenek."     

Fee baru ingat bahwa ia sama sekali belum memberi kabar kepada neneknya. Beliau pasti kuatir karena Fee tidak pulang semalaman. Ahh.. mengapa ia bisa lupa?     

Gadis itu menggumam, "Ini pasti karena aku terlalu euforia bersama Ren..."     

Ia merasa malu karena tidak pulang ke rumah semalaman dan tidak memberi kabar. Dalam hati, Fee segera memikirkan alasan apa yang dapat ia sampaikan kepada neneknya.     

"Nenek... Nenek di mana? Aku membawa teman berkunjung," panggil Fee. Ia tidak melihat neneknya di ruang tamu, maupun dapur. Gadis itu segera mencari neneknya ke kamar tidur. "Maaf aku tadi malam tidak memberi kabar."     

Sementara itu Ren duduk tenang di kursi teras sambil mengamati halaman depan yang penuh berisi berbagai jenis tanaman yang semuanya tampak begitu sehat. Ia mengakui Fee sangat berbakat merawat tanaman. Pikirannya melayang pada rumah pribadinya yang juga memiliki taman cantik.     

Fee pasti akan senang berada di sana, pikirnya.     

Tiba-tiba saja wajahnya memerah. Apa barusan yang dipikirkannya? Mengapa ia memikirkan membawa Fee tinggal di rumah pribadinya? Bukankah tadi pagi yang ditawarkannya adalah membawa Fee ke ibukota dan menyediakan tempat tinggal untuk gadis itu dan neneknya?     

Rumah pribadi Ren adalah oasisnya dari semua pekerjaan dan kesibukannya yang padat. Tidak pernah ada wanita tinggal di situ sebelumnya. Rasanya konyol sekali kalau ia membawa Fee ke sana. Tempat itu hanya untuk wanita yang kelak menjadi istrinya.     

Astaga.. apakah ia sudah berpikir sejauh itu dengan Fee? Ren hanya bisa bertanya-tanya sendiri.     

"Aaahhh..!! Nenek!!"     

Tiba-tiba saja terdengar jeritan Fee dari dalam rumah, membuat Ren tergugah dari lamunannya. Pria itu cepat berlari ke arah asal suara. Ia menemukan Fee duduk menangis di dalam kamar sambil menjerit-jerit histeris. Ada seorang wanita tua yang berbaring di pangkuannya.     

Ren segera menduga bahwa wanita tua itu pasti nenek Fee. Ia dengan cepat memeriksa tubuh wanita itu dan menarik napas panjang.     

Nenek Fee telah meninggal. Dari kaku mayat, ia dapat memperkirakan wanita itu meninggal lebih dari 12 jam yang lalu.     

"Nenekk..... Maafkan aku kemarin tidak pulang... aku tidak tahu nenek meninggal..." Fee menangis sedih sekali. Ia merasa sangat bersalah karena membiarkan neneknya sendirian dan meninggal tanpa sempat menolongnya.     

Ren segera memeluk Fee dan mengusap-usap punggungnya.     

"Sshh... jangan berkata begitu. Nenekmu meninggal dalam tidurnya. Mungkin karena ia sudah tua. Tidak ada yang dapat kau lakukan," kata Ren membujuk Fee.      

"Tapi seharusnya kemarin aku pulang agar aku bisa lebih cepat bertemu nenek..." tangis Fee.     

"Tidak ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi, Fee. Jangan menyalakan dirimu sendiri.. Ini takdir," kata Ren berkali-kali. Namun demikian Fee tetap menangis dan menyalahkan dirinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.