The Alchemists: Cinta Abadi

Rencana Sophia



Rencana Sophia

0Sophia mengerling dan senyumnya membuat wajahnya terlihat semakin cantik. Ia memutar-mutar gelas wine-nya dan sepasang matanya yang indah tampak memandang kanal di depan kedainya. Kapal-kapal kecil berseliweran membuat suasana terlihat sangat sibuk.     

Matanya menatap jauh, melampaui kanal dan kapal-kapal. Sophia sedang melihat kenangan masa lalu yang membuat wajahnya terlihat begitu bahagia.     

"Semua ini tidak akan berhasil tanpa persiapan yang matang... Aku sudah cukup bersabar dan aku melakukan bagianku dengan baik. Lima tahun bukan waktu yang sebentar," gumam gadis itu dengan suara rendah.      

"Nona sangat sabar," komentar pelayannya.     

"Ah... kesabaranku tidak ada apa-apanya dengan kesabaran tuanmu. Ia telah menunggu 25 tahun dan mempersiapkan segala sesuatunya secara mendetail. Aku banyak belajar darinya," komentar Sophia sambil menoleh kepada pelayannya. Sepasang matanya tampak berkelip gembira. Ia teringat pada pria yang menemuinya lima tahun lalu ketika ia begitu putus asa dan hampir mengakhiri hidupnya.     

Pria itu mengajaknya bicara dengan penuh perhatian dan meyakinkannya bahwa ia masih memiliki harapan untuk membalas dendam. Ia menceritakan dendamnya sendiri kepada Alaric Rhionen dan betapa ia sudah menyiapkan rencana balas dendam yang sempurna.     

Pada hari itu, semangat hidup Sophia kembali. Ia memiliki tujuan hidup. Ia dapat bertahan dan bersabar. Hingga akhirnya... hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba.     

"Bayangkan... orang-orang paling berkuasa di dunia... tidak mampu melakukan apa pun..." Sophia tertawa kecil. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangannya saat ia tertawa, persis seperti seorang gadis bangsawan.      

Walaupun ia kini telah jatuh miskin, Sophia tetap seorang putri bangsawan yang memiliki kelas dan keanggunan. Bahkan penampilannya, walaupun sederhana, tetap terlihat anggun dan mempesona.     

"Rencana Tuan sudah dipikirkan matang-matang. Mereka tentu mengira Vega benar-benar berada di Swiss karena fotonya bersama Alexei dan mayat Alexei kemudian ditemukan di sana... Padahal kita hanya menggunakan tipuan kamera biasa... tss... sungguh memalukan. Saat mereka mengira Vega ada di Swiss, orang-orang kita masih menahannya di Paris.     

Aku yakin mereka juga memeriksa semua video yang diambil anak SMA itu, aku mendengar dia dipanggil untuk bertemu Alaric di Hotel Nobel. Haha.. walaupun mereka bisa menemukan orang-orang kita yang membuntuti Vega selama sepuluh hari, mereka tak akan menemukan datanya di mana pun karena mereka semua menyamar... Bukan hanya orangnya Lauriel yang bisa menyamar kan?"     

"Benar. Walaupun Wolf dan Goose ada di pihak mereka, tidak ada gunanya," balas Sophia. Ia mengangkat gelasnya dan memberi tanda kepada pelayannya agar kembali mengisinya. Dengan cekatan si pelayan mengambil botol wine dan menuangkannya ke gelas Sophia. "Kita punya Skia. Ia jauh lebih berbahaya karena ia tidak pernah mencari nama. Tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya.. hahaha."     

"Musuh yang tidak kelihatan jauh lebih berbahaya daripada musuh yang kelihatan. Itu benar sekali," komentar pelayannya sambil mengangguk setuju. "Kita beruntung, rencana yang sudah disusun matang mendapatkan momentum yang tepat. Begitu Wolf mengumumkan sayembaranya di Darknet tentang hadiah uang dua kali lipat bagi siapa saja yang mencari informasi tentang orang yang mengejar Goose, Skia langsung mengetahui bahwa ada hubungan di antara keduanya."     

Sophia tertawa dan mengangguk. "Cinta memang membuat orang menjadi bodoh, ya? Aku tak mengira sepupuku akan mengumumkan identitasnya dengan cara seperti itu."     

"Ahh.. tapi kebodohannya adalah keuntungan kita, Nona. Tidak perlu waktu lama bagi Skia untuk mengetahui bahwa mafia kecil Prancis itu yang merencanakan penculikan anak Goose yang gagal. Dengan mengikutinya kita bisa menemukan Goose dan Wolf secara bersamaan."     

"Ah... betul juga. Kasihan sekali sepupuku, dia masih belum tahu bahwa sebenarnya Larkin adalah dalang penculikan anaknya. Ia malah mengerahkan kelompok mafia kacangan itu untuk mencari informasi.. ck ck..." Sophia pura-pura memasang wajah prihatin. "Apakah kita perlu memberitahunya?"     

"Mungkin sebaiknya kita simpan informasi itu untuk masa depan, Nona. Siapa tahu nanti kita perlu memeras Larkin," kata pelayannya sambil mengangkat bahu. "Kalau kita beri tahu sekarang, tidak ada untungnya bagi kita."     

"Hmm.. kau benar juga. Aku akan menunggu saat yang tepat dan membuka rahasia ini." Sophia mengangguk-angguk. "Aku harus berterima kasih pada mafia bodoh itu. Kedunguannyalah yang memberi kita kesempatan untuk menculik Vega. Kalau sepupuku tidak bertemu Goose, ia masih akan mengawasi anak-anak itu di Paris dan Bordeaux. Aku sempat kuatir saat mengetahui ada Marion juga di sana.. Gila! Berbahaya sekali."     

"Kita bernasib baik. Wolf pergi meninggalkan anaknya dalam pengawasan seorang pembunuh yang sedang patah hati.. Oh.. sungguh kesempatan yang sangat sempurna. Tuan langsung bergerak dan mempercepat rencana penculikan... Ia sungguh pandai membuat strategi dan beradaptasi..." kata si pelayan sambil kembali menuang wine ke dalam gelasnya. Ia juga menambahkan wine ke gelas Sophia yang hampir kosong. "Aku sempat kuatir Mischa tidak akan datang ke Provins. Kita tidak tahu pasti bagaimana perasaannya kepada wanita itu. Kalau ia sudah berhasil melupakannya, maka tentu rencana kita sia-sia."     

"Ahh.. benar. Di bagian itu kita memang seperti melakukan taruhan. Tapi, hei.. semuanya sudah terjadi dan berhasil. Kita memenangkan taruhan." Sophia menyipitkan matanya dengan ekspresi sangat serius. "Mischa datang ke Provins. Nicolae pergi bersama Goose. Anak-anak itu tidak memiliki pengamanan yang memadai. Mereka lalai, dan kini harus membayar akibatnya. Aku yakin saat ini mereka semua sedang saling menyalahkan, baik sesamanya maupun diri sendiri."     

"Tuan sama sekali tidak mau membunuh anak itu?" tanya si pelayan lagi sambil menatap Sophia dengan penuh perhatian. "Bukankah semakin lama ia akan menjadi beban? Kurasa kalau ia dibunuh dan mayatnya dikirim kepada orang tuanya, kita bisa membuat mereka trauma dan menderita berkepanjangan."     

Sophia mendesah mendengar pertanyaan itu. "Aku juga berpikir demikian. Tetapi Tuanmu memberiku alasan yang sangat logis. Katanya, ketidakpastian memberi penderitaan yang lebih berat daripada kematian itu sendiri. Selama Alaric tidak mengetahui bagaimana nasib anak perempuannya, maka ia akan menderita seumur hidupnya. Setiap hari, setiap malam, setiap jamnya... adalah siksaan.     

Kalau kita kehilangan kekasih atau anggota keluarga karena kematian, kita pasti akan berduka. Tetapi pelan-pelan duka itu akan hilang seiring dengan waktu dan kita akan belajar merelakan. Tetapi kalau kita tidak tahu apakah orang yang kita rindukan itu masih hidup atau sudah mati.. kita tidak akan dapat berduka dengan baik. Inilah yang ingin dicapai tuanmu."     

"Hmm... aku mengerti sekarang. Tuan memang bijak." Si pelayan menyesap wine-nya dan tersenyum sedikit. "Aku tak pernah mampu mengikuti pemikirannya."     

"Ahahaha.. tentu saja. Makanya kau menjadi pelayannya," komentar Sophia sambil tertawa. "Ahh.. aku menjadi rindu kepadanya."     

"Nona tidak bisa menemuinya dulu. Orang-orang Alaric masih mengawasi gerak-gerik Anda."     

"Ah, tentu saja aku tahu," jawab Sophia sewot. Ia hendak meminta pelayannya menuangkan wine lagi ketika tiba-tiba pintu kedai terbuka dan masuklah dua orang tamu yang mengambil duduk di meja paling sudut. Sophia mengangkat dagunya dan memberi tanda kepada pelayannya untuk bekerja. "Ada tamu. Kau layani mereka dulu. Nanti kita minum-minum lagi."     

Pelayan itu mengangguk hormat dan segera bangkit dari duduknya. "Tentu saja, Nona."     

Dengan cekatan ia lalu menghampiri tamu yang baru datang dan menanyakan pesanan mereka. Tamu yang baru masuk ini adalah pasangan kekasih. Mereka masing-masing memesan bir dan sparkling wine serta camilan.     

Si pelayan mencatat semua pesanan dengan baik lalu masuk ke balik meja bar dan menyiapkan pesanan mereka. Lima menit kemudian ia sudah keluar dengan nampan berisi segelas sparking wine, segelas bir Amstel, semangkuk kacang dan sepiring bitterballen.     

Sophia memperhatikan pelayannya bekerja melayani tamu dengan wajah tersenyum puas. Ia sudah dua tahun membuka kedai minuman di pinggir kanal ini. Kedainya tidak terlalu ramai karena ia memang tidak berusaha keras mencari tamu dan menjual banyak minuman.      

Ia hanya memerlukan kedai ini sebagai samaran untuk identitasnya yang baru. Sebagai pemilik kedai, ia tidak akan terlalu dicurigai jika ada orang-orang yang datang dan pergi menemuinya.     

Ia juga dapat menjadikannya tameng sebagai sumber penghasilan. Awalnya ia tidak menyukai kedai ini, tetapi sekarang, rasanya ia mulai terbiasa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.