The Alchemists: Cinta Abadi

Suasana Yang Tegang



Suasana Yang Tegang

0Altair menjadi keheranan dan pelan-pelan dirayapi rasa cemas ketika melihat belasan mobil polisi memenuhi area sekitar Menara Eiffel. Ia turun dari taksi dan segera menghubungi telepon adiknya.     

Tidak diangkat.     

Ia terus mencoba berkali-kali tetapi tidak ada jawaban. Ia berlari mendekat tetapi dihalangi garis polisi dan beberapa petugas yang menghalau orang-orang yang berkerumun.     

"Ada apa?" tanyanya cemas.     

Orang-orang yang ada di sekitarnya hanya menggeleng.     

"Entahlah. Ada yang bilang terjadi pembunuhan.. tetapi kami tidak tahu pasti."     

Helikopter berita dan mobil-mobil media segera masuk ke lokasi dan ia melihat para reporter dan kamerawan mereka menyiapkan diri untuk melaporkan langsung dari tempat kejadian.     

Altair segera membuka internet untuk mencari tahu apa yang terjadi dan wajahnya seketika menjadi pucat pasi. Tubuhnya terhuyung dan ia harus berpegangan pada orang di sebelahnya agar tidak jatuh.     

TEROR DI MENARA EIFFEL     

Terjadi serangan oleh teroris yang belum diketahui identitasnya. 12 orang tewas dan puluhan luka-luka. Ini adalah serangan teror terburuk dalam sejarah Prancis selama sepuluh tahun terakhir.     

Astaga.. Vega, pikir Altair panik. Ia mendapat SMS dari adiknya bahwa ia pergi makan malam dengan Mischa beberapa jam yang lalu. Ia mengira semuanya berjalan baik-baik saja. Tetapi kemudian jam 10 kurang, Vega memintanya untuk datang menjemputnya ke Menara Eiffel, tempat restorannya berada.     

Itu berarti, terjadi sesuatu antara Vega dan Mischa, sehingga Vega memutuskan pulang sendiri dan meminta Altair yang menjemputnya. Tadinya Altair berpikir, Mischa pasti akan mengantar Vega karena ia memang selama ini selalu mengawasi dan menjaga dirinya dan adiknya.     

Apakah.. jangan-jangan terjadi sesuatu pada Mischa? Apakah ia terluka...? Atau...     

Keringat dingin menetesi pelipisnya. Oh, Tuhan... jangan biarkan terjadi apa pun pada adikku...     

"Adikku ada di dalam...!! Biarkan aku masuk!!" Ia berusaha menerobos garis polisi dan berteriak-teriak memanggil nama Vega. "Vegaaa..!! Vega.. kau di mana??"     

"Maaf, tidak ada yang boleh masuk. Adik silakan tunggu di sana." Seorang petugas yang masih muda berusaha menahan Altair dan menariknya ke arah sebuah mobil polisi. "Kau tunggu di sini. Rekanku akan mencatat pernyataanmu."     

Altair merasa tubuhnya sangat lemas. Air mata tak henti-hentinya mengalir saat ia mengambil ponselnya dan menghubungi ayahnya di New York.     

"Ayah... terjadi sesuatu dengan Vega. Aku tak bisa menghubunginya..." kata Altair terbata-bata. "Ada teror di Menara Eiffel.. Tadi Vega ke sini untuk makan malam dengan Kak Mischa.."     

Alaric yang sedang duduk di ruangannya sambil membaca sesuatu segera terhenyak kaget. Ia bangkit dari kursinya dan mengepalkan tangannya dengan kuat.     

"Apa? Di mana John, Leon, dan yang lainnya?" Suaranya terdengar tenang tetapi Altair bisa merasakan bahwa ayahnya juga sangat kuatir.     

"Aku tidak tahu. Aku juga tak bisa menghubungi mereka..." Altair menangis sesenggukan. Di sini kacau sekali. Aku tak bisa masuk, para polisi menghalangiku. Katanya aku harus tunggu di sini untuk memberi pernyataan."     

"Kau tenang dulu di sana," kata Alaric kemudian. "Ayah akan segera datang."     

Aleksis yang mendengar suara Alaric bicara di telepon tampak keheranan. Ia mendekati suaminya dan menyentuh lengannya. "Ada apa? Itu Altair?"     

Sepasang mata ungu suaminya tampak dipenuhi kedukaan dan rasa cemas, membuat Aleksis tanpa sadar mundur selangkah.     

Ia tak pernah melihat ekspresi ini ada di wajah suaminya. Apakah terjadi sesuatu yang buruk?     

"Sayang.. kita harus segera pergi ke Prancis. Aku akan menyiapkan semuanya." Alaric menepuk bahu Aleksis pelan dan kemudian menghubungi Terry.     

"Hei... ada apa?" tanya Terry yang sedang berolahraga di ruang fitness penthouse-nya yang menghadap jendela besar yang memberikan pemandangan ke seluruh penjuru kota New York.     

"Tolong jaga Ireland dan Scotland sebentar. Ada keadaan darurat dan kami harus segera ke Paris," kata Alaric pendek.     

"Eh.. apa?" Pertanyaan Terry tidak dijawab karena Alaric telah memutuskan hubungan. Terry mengerutkan keningnya keheranan. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya, tetapi ia tahu Alaric tidak mungkin bercanda masalah anak-anaknya.     

Kalau sampai ia menitipkan si kembar bersamanya, itu berarti telah terjadi hal gawat yang membutuhkan perhatiannya dan ia tidak bisa membawa kedua anak laki-lakinya yang masih kecil bersamanya.     

Akhirnya pria itu menghentikan olahraganya dan segera berganti pakaian lalu melaju ke mansion keluarga Alaric. Ia tiba lima belas menit kemudian dan menemukan pasangan itu telah siap di depan pintu, hendak berangkat ke bandara.     

"Tolong titip anak-anak di sini. Kami akan menelepon setiap beberapa jam," kata Alaric tenang. Ia menggendong Ireland dan Scotland bergantian lalu menyalami Terry. "Terima kasih."     

Terry tidak berani bertanya macam-macam karena ia tahu Aleksis sedang shock. Adiknya tampak sangat terpukul dan berdiri terpaku di tempatnya. Saat Terry mengucap selamat tinggal, Aleksis hanya mengangguk lemah dan tidak menjawab.     

Perjalanan ke bandara terasa lama sekali. Ketika akhirnya pasangan suami istri itu sudah naik ke pesawat pribadi mereka, keduanya hanya duduk di kursi masing-masing tanpa suara. Kedua tangan mereka saling menggenggam.     

Hanya mereka berdua yang mengerti isi hati masing-masing. Baik Alaric maupun Aleksis tidak pernah membayangkan mereka akan mengalami mimpi buruk setiap orang tua: mendengar kabar bahwa anak mereka menghilang dan kemudian tewas.     

Berbagai berita tentang serangan teror di Menara Eiffel segera menghiasi media di seluruh dunia dan internet. Splitz dipenuhi oleh posting dukacita dan gambar-gambar peristiwa tersebut, juga foto para korban.     

Alaric segera menghubungi ketiga pengawal yang ditugaskannya untuk melindungi anak-anaknya di Prancis tetapi ia tidak dapat menjangkau mereka. Mischa juga tidak mengangkat teleponnya. Akhirnya ia menelepon Nicolae yang segera diliputi panik dan buru-buru menghubungi Marion yang masih ada di Prancis.     

Wanita itu segera menyusul ke Menara Eiffel dan menemukan Altair yang terpukul. Dengan penyamarannya sebagai seorang inspektur polisi, Marion segera berhasil masuk ke dalam perimeter dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.     

Ada 15 korban meninggal dan 22 korban terluka dalam serangan teror di restoran Menara Eiffel tersebut. Ia menemukan dua pengawal Vega tewas di sekitar lokasi dan satu orang di dalam restoran. Tidak ada jejak Vega maupun Mischa.     

Alaric segera menghubungi semua bekas anak buahnya di Rhionen Assassins dulu dan meminta mereka membantunya untuk mencari tahu keberadaan anaknya, Mischa, dan siapa pelaku teror yang berani cari mati dengan mengganggu keluarganya.     

Suasana terasa sangat tegang.     

Dengan gemetaran, Aleksis juga menghubungi ayahnya dan menceritakan apa yang terjadi. Tangisnya pecah saat mendengar suara kuatir ayahnya.     

"Kami.. kami sedang menuju ke Paris. Semoga tidak terjadi apa-apa kepada Vega..." isaknya.     

"Kami juga akan segera ke sana," kata Caspar cepat. "Kau tenanglah, Sayang.. kita akan menemukannya."     

Aleksis menjatuhkan ponselnya saat tangannya menjadi sangat lemas dan ia tak sanggup lagi memegang teleponnya. Dengan tersedu-sedu ia membenamkan kepalanya di antara kedua tangannya.     

Alaric hanya bisa menatap ke jendela pesawat dengan rahang mengeras. Ia berusaha sekuat tenaga menahan emosinya agar tidak meluap. Ia belum pernah semurka dan sesedih ini pada saat yang bersamaan.     

Lihat saja.. kalian akan membayar perbuatan kalian... Aku akan mencari kalian bahkan ke ujung bumi sekalipun...     

Perjalanan ke Paris berlangsung selama lima jam dan selama itu pula, pasangan suami istri ini tidak bergerak di tempatnya. Hanya kedua tangan mereka yang saling menggenggam dan isak tangis pelan Aleksis yang menandakan bahwa keduanya tidak tidur, melainkan dipenuhi pikiran-pikiran yang menyesakkan dada mereka.     

***     

Marion memaksa Altair untuk kembali ke hotel. Ia tak ingin remaja itu menjadi trauma dengan terus berada di lokasi serangan teror. Dengan sikap keibuan ia membantu Altair masuk ke dalam taksi lalu pergi ke Hotel Nobel. Menurutnya, pengamanan di sana jauh lebih baik daripada jika anak itu kembali ke Hotel Amarylis. Setelah tiba di hotel ia memapah pemuda itu untuk naik ke penthouse dan menyuruhnya untuk beristirahat.     

"Kau tunggu di sini, jangan kemana-mana. Bibi tidak bisa menjagamu kalau kau keluar. JM akan segera kemari dan menemanimu." Marion mengusap kepala Altair dan terus berusaha menenangkannya. "Ayah dan ibumu juga akan segera tiba sebelum subuh. Sebaiknya kau beristirahat sambil menunggu mereka."     

Altair hanya bisa mengangguk lemah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.