The Alchemists: Cinta Abadi

Janji Makan Malam Vega Dan Mischa



Janji Makan Malam Vega Dan Mischa

1Sedari dulu, hubungan Nicolae dan keluarga Schneider sangat baik. Caspar dan Finland sudah menganggapnya seperti anak mereka sendiri dan mereka sangat ingin melihatnya bahagia. Karena itu, kabar yang dibawa Nicolae hari ini, bahwa ia telah kembali menemukan Marie dan anak mereka,  membuat pasangan itu menjadi sangat senang.     

Finland bahkan menekap bibirnya dengan takjub dan mata berkaca-kaca karena terharu. Ia dan Caspar bertukar pandang dan keduanya tampak senang sekali.     

"Marie, Sayang... kemarilah," kata Nicolae memanggil Marie yang berdiri di balik pintu bersama Summer. Ia ingin menunjukkan istri dan anaknya kepada Caspar dan Finland. Gadis itu berjalan mendekat dan duduk di samping Nicolae sambil memangku Summer.     

Saat ia melihat wajah Caspar Schneider dan Finland Schneider, seketika Marie menahan desahan kaget. Ia membulatkan matanya besar sekali karena tidak mengira kedua orang itu tampak demikian muda.     

"Astaga..." Ia menoleh ke arah Nicolae. "Apakah mereka...?"     

Nicolae mengangguk. "Benar. Ini Paman Caspar dan Bibi Finland. Uhm.. memang mulanya agak aneh memanggil mereka Paman dan Bibi  karena usia kami terlihat sebaya. Aku juga harus membiasakan diri cukup lama. Kau tahu, aku dulu tidak mengerti bahwa aku adalah seorang Alchemist. Aku hidup seperti manusia biasa. Hal-hal seperti ini awalnya juga sangat mengejutkan buatku."     

"Hai, Marie.. Kami sangat senang bertemu denganmu," kata Finland dengan ramah. "Wahh.. kalian tampak serasi sekali. Dan, oh.. Summer, anak kalian begitu lucu dan menggemaskan."     

Summer tersenyum malu-malu mendengar kedua orang rupawan di depannya memujinya. Ia meremas tangan ibunya. Marie tampak senang sekali melihat betapa pasangan Schneider ternyata sangat ramah kepadanya. Sikapnya yang semula canggung, pelan-pelan berubah menjadi semakin relaks.     

"Nicolae sudah seperti anak kami sendiri," kata Caspar sambil tersenyum. "Kami ikut bahagia melihatnya bahagia."     

Marie dan Nicolae bertukar pandang dan mengangguk. Wajah keduanya dipenuhi senyuman.     

"Aku juga bahagia," Marie mengaku. "Nic dan aku saling mencintai dan kami ingin bersama selamanya."     

"Ahh... anak muda," gumam Caspar sambil mencuil bahu istrinya. "Mengingatkanku akan kita dulu."     

"Uhm.. aku juga masih muda," bantah Finland sambil tertawa kecil. "Kau yang sudah tidak muda lagi."     

Caspar mencubit istrinya dan menariknya ke pangkuannya. "Kau bilang aku sudah tua?"     

Marie bisa merasakan wajahnya memerah melihat kemesraan pasangan di depan mereka. Tanpa sadar ia batuk-batuk dan melengos. Nicolae hanya tersenyum dan menggenggam tangannya dengan mesra.     

Ia dan banyak orang telah terbiasa dengan perlakuan mesra Caspar kepada istrinya. Ia mengerti kalau Marie masih terkejut dan belum biasa dengan hal-hal dan orang-orang yang ditemuinya dari klan Alchemist.     

"Paman, kalau Paman tidak berkeberatan, kami berharap Paman bisa meresmikan pernikahan kami di tanggal 1 Agustus nanti," kata Nicolae kemudian. "Marie dan aku memutuskan untuk menikah kembali di Grosseto. Kami rasa pernikahan musim panas adalah kesempatan yang baik."     

"Ah, aku sangat senang mendengarnya. Tentu saja. Kami akan mempersiapkan semuanya," kata Caspar. "Aku juga akan meminta Aldebar untuk menyiapkan ramuan keabadian untuk Marie dan Summer."     

"Terima kasih banyak, Paman," kata Nicolae.     

"Tentu saja," Caspar tersenyum lebar dan menatap Marie dan Summer bergantian. "Selamat datang dalam keluarga kami."     

***     

Sepanjang perjalanan kembali ke Paris, Vega tampak sangat ceria. Ia banyak melamun dan beberapa kali tidak mendengarkan saat Altair maupun Tatiana mengajaknya bicara.     

"Kau ini kenapa, sih? Apa yang kau pikirkan sedari tadi?" tanya Tatiana keheranan.     

Vega menoleh ke arah sahabatnya dan mengerjap-ngerjapkan matanya. "Aku? Kau bicara padaku?"     

"Iya, siapa lagi? Kecuali jendela bus bisa bicara, tentu aku bicara kepadamu.." desis Tatiana sebal. "Apa kau sedang memikirkan Om seksi yang waktu itu? Apa yang terjadi di antara kalian? Kau tidak pernah menceritakan kepadaku, padahal aku sahabatmu!"     

Vega mengangkat sebelah alisnya, pura-pura keheranan mendengar pertanyaan Tatiana. "Memangnya kenapa sih kau ini sangat ingin tahu?"     

"Aku penasaran saja. Soalnya kau terlihat sangat aneh belakangan ini,"  kata Tatiana dengan wajah cemberut. "Apa kau sedang jatuh cinta?"     

Vega yang sedang menyeruput jus dari tumblernya tiba-tiba menyemprotkan minumannya.     

"Astaga.. Tatia! Kau berlebihan sekali," omel gadis itu. "Sebenarnya... biar kuberi tahu ya..."     

"Ada apa?" tanya Tatiana penasaran.     

"Uhm... sebenarnya Om seksi itu adalah..." Vega mendeham pelan lalu menjawab dengan wajah geli. "Dia adalah kakak angkatku."     

"Ah,  tidak mungkin! Kau jangan bercanda. Dia kelihatan lebih tua dari ayahmu. Bagaimana bisa ia menjadi kakak angkatmu," tukas Tatiana. "Kalau bercanda jangan keterlaluan."     

Vega menatap Tatiana yang menggeleng-geleng sebal. Ia geli melihat Tatiana masih berkeras mengira bahwa Vega hanya bercanda.     

"Aku berkata yang sebenarnya," kata Vega."Jadi.. dia itu adalah anak angkat ayah kandungku. Kau tahu siapa ayah kandungku? Namanya adalah Elios Linden. Dia pemilik Rhionen-Meier Industries."     

Tatiana memutar matanya dan mendecak sebal. "Kau tidak pernah serius. Aku malas bicara denganmu."     

Vega hanya tertawa dalam hati melihat sikap sahabatnya. Karena ia melihat Tatiana tidak percaya bahwa Mischa adalah kakak angkatnya, ia sengaja menyebutkan tentang identitas ayahnya untuk menguji  apakah Tatiana masih akan menganggapnya bercanda atau tidak.     

Ternyata, benar saja, Tatiana menganggap Vega sama sekali tidak serius dengan ucapannya dan menjadi bertambah sebal.     

Tatiana tidak mau bicara kepada Vega lagi di sepanjang perjalanan hingga Vega bisa tidur dengan tenang di bus. Gadis itu tidak sabar ingin segera  sampai di hotel dan bersiap-siap. Ia akan mengajak Mischa makan malam untuk terakhir kalinya sebelum ia pulang ke New York.      

Mereka tiba di Hotel Amarylis Paris kembali pukul 2 siang dan segera makan siang yang terlambat sebelum semua beristirahat. Sebagian siswa menghabiskan waktu di hari terakhir mereka di Prancis dengan membeli souvenir.     

Vega yang sudah berkali-kali ke Prancis berusaha menolak berbelanja oleh-oleh ketika Tatiana mengajaknya, tetapi sahabatnya itu tidak mau mendengar penolakannya.     

"Aku sudah bosan ke Paris," kata Vega. "Aku tidak perlu oleh-oleh lagi."     

"Ugh.. kau ini bercanda terus. Kapan kau ke Paris? Pokoknya aku tidak mau dengar," kata Tatiana. "Aku masih mau membuat video terakhir kalinya mumpung kita di Paris. Ini video tentang belanja oleh-oleh. Para followerku sangat menyukaimu. Kau harus mau membantuku terakhir kali."     

Karena Tatiana terus berkeras, terpaksa Vega mengalah dan ikut sahabatnya berbelanja.     

"Ugh.. baiklah. Tapi jangan lama-lama. Aku harus kembali ke hotel jam 5. Aku ada janji makan malam dengan seseorang," kata Vega akhirnya.     

"Iyaaa.. aku janji," kata Tatiana.     

Vega buru-buru mengetik pesan kepada Mischa untuk memastikan acara makan malam mereka sebelum ia pergi bersama Tatiana.     

[Kak Mischa nanti jadi kan makan malam bersamaku? Aku sudah memesan meja di restoran di atas Menara Eiffel.]     

[Tentu saja. Jam berapa? Mau kujemput di hotel?]     

[Ah.. tidak usah. Aku bisa ke sana sendirian. Sampai jumpa di sana jam 8 yaaa..]     

Vega buru-buru membalas SMS Mischa. Ia tak ingin kehadiran Mischa dilihat teman-temannya atau Altair kalau pria itu datang menjemputnya ke hotel. Ia tak ingin mereka menyebarkan gosip tentangnya dan Mischa.     

Dengan hati gembira ia menemani Tatiana berbelanja souvenir dan tampil di video yang dibagikan Tatiana kepada jutaan followernya. Mereka bersenang-senang sore itu hingga akhirnya jam 5 pun tiba.     

Vega berhasil memaksa Tatiana menyudahi acara belanja dan kembali ke hotel mereka tepat waktu.     

Altair sendiri sedang keluar bersama teman-temannya menjelajahi kota Paris untuk terakhir kali, sehingga Vega tidak perlu merasa canggung berdandan di kamar mereka.     

Ia masih belum mau memberi tahu saudaranya bahwa ia akan makan malam bersama Mischa. Nanti saja kalau ia sudah berangkat ke restoran, agar ia tidak mendengar celotehan Altair yang menggodanya habis-habisan.     

Pukul 7.30 malam, gadis itu sudah tampil cantik mengenakan gaun musim panas berwarna biru muda dan mematut diri di depan cermin.     

Ahh..  ia sangat bersemangat.     

[Aku ada janji makan malam dengan Kak Mischa untuk mengucapkan selamat berpisah, karena besok kita sudah pulang ke New York. Tidak usah menungguku.]     

Ia mengirim SMS kepada saudaranya sambil menyunggingkan senyum tipis.     

Hihihi.. ia sudah tidak sabar!     

Vega tahu malam ini ia tampak cantik sekali. Ia sengaja menyanggul rambutnya yang indah di atas kepalanya, membuat dirinya terlihat lebih dewasa dari umurnya. Ia berharap Mischa bisa melihat bahwa Vega bisa terlihat agak dewasa kalau ia sedikit berusaha, sehingga pria itu tidak merasa malu makan malam bersama seorang gadis remaja.     

"Selamat datang, Nona Medici," sapa pelayan restoran yang menyambutnya masuk. "Meja Anda sudah kami siapkan."     

Vega mengangguk tersenyum dan berjalan mengikuti pelayan itu ke sebuah meja di sudut yang memiliki pemandangan ke  kota Paris dari sudut yang sangat cantik. Ia melihat jam tangannya. Baru jam delapan kurang lima menit.     

Mischa pasti orangnya tepat waktu. Aku saja yang datang terlalu awal, pikir gadis itu.     

Pelayan menuangkan minuman tidak  beralkohol untuknya dan roti sambil menunggu kedatangan Mischa, sebelum mereka dapat memesan makanan bersama. Vega meminum minumannya dan menikmati roti dengan perasaan sedikit berdebar-debar.     

Pukul delapan tepat, Mischa masih belum kelihatan.     

Uhm... mungkin dia terkena halangan dan terlambat, pikir Vega. Ia memutuskan untuk menunggu dan tidak menanyakan kabar Mischa. Ia tak mau pria itu menganggapnya tidak sabaran.     

Pukul 8.30, pria itu masih juga tidak terlihat batang hidungnya. Pelayan mulai mendatangi Vega dan menanyakan apakah ia baik-baik saja.     

"Uhm.. temanku orang sibuk. Mungkin ia masih di dalam perjalanan," kata Vega cepat. "Tunggu sebentar lagi ya..."     

"Ah.. atau Nona mau memesan makanan terlebih dulu sambil menunggu teman Nona? Aku yakin dia tidak akan keberatan. Itu lebih baik daripada Nona menahan lapar."     

Vega menatap ke arah pintu restoran dan menu di  tangan pelayan, bergantian. Ia kemudian menggeleng lemah. "Tidak apa-apa. Aku akan menunggunya."     

Pukul 9 malam, akhirnya Vega memutuskan untuk menelepon Mischa. Ia takut terjadi apa-apa pada pria itu sehingga ia datang terlambat dan tak bisa memberikan kabar.     

TUT     

TUT     

Hingga 12 kali deringan, Mischa tidak juga mengangkat teleponnya. Wajah Vega seketika menjadi suram. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa Mischa tidak datang dan mengapa ia tidak memberi kabar sama sekali?     

[Kakak di mana? Aku masih menunggu di restoran. Kalau kakak ada hal mendesak, tolong beri tahu aku ya. Aku tunggu kabar dari Kak Mischa.]     

Ia menaruh ponselnya di meja dengan wajah sedih. Karena restoran akan tutup pukul 10 malam, gadis itu memutuskan untuk memesan sesuatu agar kedatangannya tidak membuat restoran rugi. Ia memesan segelas wine dan appetizer.     

Pelayan restoran tidak mengetahui Vega masih di bawah umur, karena penampilannya kali ini sengaja dibuat lebih dewasa dengan gaun cantik yang terlihat anggun dan rambut yang disanggul di atas kepalanya. Mereka memberinya segelas red wine dan hidangan pembuka.     

Vega menikmati wine dan makanannya dengan sedih. Setelah wine di gelasnya habis, ia meminta satu gelas lagi.     

"Kakak keterlaluan," gumam Vega sedih sambil meneguk wine-nya. Ia masih melihat ke arah pintu dan ponselnya bergantian, tetapi ia tidak juga melihat sosok Mischa maupun pesan darinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.