The Alchemists: Cinta Abadi

Marion Menyelidiki



Marion Menyelidiki

0"Seperti apa orangnya?" tanya Marion penasaran. Kalaupun London sudah mengatakan bahwa orang itu bukan penjahat, tetap saja ia merasa ingin tahu. Bagaimanapun anaknya akan tinggal di Hotel ini selama sebulan, hingga urusan pekerjaannya selesai. Ia tidak mau mengambil risiko.     

Vega lalu mengulangi deskripsinya kepada London tadi. Marion memperhatikan baik-baik dengan kening berkerut. Ia akhirnya mengangguk dan menepuk bahu JM sebelum ia beranjak keluar.     

"Mama pergi keluar sebentar. Kalian mengobrol saja bertiga ya," katanya sebelum membuka pintu suite dan keluar.     

Setelah ia menghilang di balik pintu, ketiga remaja itu saling pandang. JM hanya mengangkat bahu saat melihat wajah penasaran kedua temannya.     

"Mama pasti hanya penasaran, tidak usah dipikirkan," kata gadis itu.     

Mereka akhirnya melupakan insiden dengan pria misterius itu di lift dan mengobrol tentang macam-macam hal hingga malam. Altair dan Vega sama sekali tidak kuatir besok bangun kesiangan karena acara jalan-jalan akan dimulai pukul sepuluh pagi.     

***     

Sementara itu Marion yang masih penasaran memutuskan untuk menyusup ke ruangan pengawasan keamanan dan membongkar masuk untuk melihat hasil pantauan CCTV di lift tadi untuk melihat sosok orang yang dimaksudkan Vega. Dengan cepat ia berhasil menemukan sosok  yang dicarinya.     

Lelaki itu keluar di Lantai 30 dan masuk ke sebuah Suite di lantai tersebut. Marion lalu mempercepat gambar CCTV untuk memastikan pria itu masih di dalam kamarnya sebelum ia datang hendak menyusup ke sana. Tetapi rupanya Marion tidak perlu melakukan hal itu karena ternyata tidak lama kemudian pria itu keluar kamar dan berjalan kembali ke lift.     

Marion mengikuti jejak pria itu lewat CCTV dan menemukan ia keluar di lantai 20 dan berjalan menuju Restoran. Rupanya ia masih di sana.     

"Hmm... sepertinya aku pernah melihat orang itu. Tapi di mana, ya?" Marion bergumam sendiri. Ia berusaha mengumpulkan ingatannya tetapi tidak juga dapat mengingat siapa laki-laki itu. Rasanya mereka belum pernah bertemu secara langsung.     

Ah, karena anaknya dan si kembar sedang asyik mengobrol, Marion merasa tidak ada gunanya ia sebagai orang tua ikut campur dan mengganggu kesenangan mereka. Lagipula ia juga butuh minum sedikit.     

Dengan pemikiran seperti itu, ia lalu memutuskan untuk naik ke restoran di lantai 20 dan mengintai pria tadi.      

Tidak lama kemudian Marion telah tiba di restoran dan seorang pelayan dengan penuh hormat datang menyambutnya. Ia mempersilakan Marion masuk dan memberikan meja yang cukup strategis untuknya.     

"Terima kasih," kata Marion sambil duduk di kursinya. Ia lalu membuka wine list dan memesan segelas red wine. Pandangannya tampak acuh tak acuh melihat ke sekeliling, padahal ia memperhatikan dengan baik. Sepasang mata kucingnya sangatlah tajam.     

Ah, dapat kau!     

Ia menemukan laki-laki yang dicarinya duduk di salah satu meja di sudut. Wajahnya yang tampan tampak dipenuhi keresahan. Ia duduk dengan menyilangkan kakinya dan segelas red wine di tangan. Matanya berkali-kali dilayangkan ke arah pintu, seolah sedang menunggu seseorang.     

Saat ia memicingkan mata dan mengamati pria itu secara diam-diam, barulah Marion ingat di mana ia pernah melihat pria itu. Pantas saja. Ia beberapa kali melihatnya di TV dan di internet. Tetapi mengapa pria ini ada di Paris? Bukankah ia selama ini tinggal di negara lain? Dan siapa yang sedang ditunggunya?     

Marion tersenyum sendiri. Lelaki itu memang bukan orang jahat, seperti kata London Schneider. Bisa dibilang, mereka adalah orang sendiri. Marion hampir memutuskan untuk menyapa lelaki itu dan memperkenalkan diri, ketika tiba-tiba pria itu berdiri dan wajahnya berubah menjadi cerah.     

Marion melihat ke arah pandangan pria itu dan menyadari orang yang ditunggu-tunggunya telah tiba. Seorang gadis sangat cantik dengan rambut hitam pendek bergaya bob dan tubuh jangkung langsing bak supermodel telah melangkah masuk ke dalam restoran.     

Ia mengenakan gaun terusan yang pas di badan berwarna putih, sepatu hak tinggi yang seksi, dan tangannya membawa tas tangan bermerek paling mahal saat ini. Wajahnya yang cantik diliputi ekspresi sedih yang tampak berusaha keras disembunyikannya di balik sikap dingin.     

Pria itu hendak memeluk si wanita, tetapi wanita itu menolak dengan halus dan memilih duduk di seberangnya. Keduanya lalu duduk berhadapan tanpa berkata apa-apa dengan wajah yang tidak bisa ditebak.     

Apakah mereka pasangan kekasih? Sepertinya hubungan keduanya sedang tidak baik, pikir Marion.     

Sebenarnya ia tidak ingin ikut campur urusan orang lain tetapi sialnya Marion adalah seorang pembaca bibir yang ahli. Dari posisi duduknya ia dapat melihat wajah sang pria dan ketika lelaki itu membuka mulutnya untuk bicara, Marion dapat mengetahui apa yang dikatakannya.     

"Aku tidak mau berpisah," kata si pria dengan tegas.     

Sepertinya sang wanita menjawab bahwa ia sudah tidak mau lagi melanjutkan hubungan mereka dan ia memohon agar sang pria berhenti mengejarnya.     

"Kita sudah bersama selama hampir delapan tahun. Mengapa kau tidak mau mempertimbangkan masa-masa kebersamaan kita?" Lelaki itu masih berusaha. Ia tidak mau menyerah begitu saja.     

Wanita itu menggigit bibirnya dengan resah dan menggeleng berkali-kali. "Aku tidak bisa... aku sudah memikirkannya selama sebulan terakhir ini. Aku merasa tidak mengenalmu sama sekali. Masa delapan tahun kebersamaan kita sekarang terasa seperti sebuah kebohongan..."     

"Lisa... Itu bukan kebohongan. Semuanya nyata. Perasaanku kepadamu, semua yang kulakukan untukmu adalah tulus. Kehidupanku yang dulu adalah masa lalu. Aku menceritakan semuanya kepadamu karena aku ingin kau mengetahui semuanya sebelum kita menikah." Suara pria itu mulai terdengar putus asa.     

"Tidak akan ada pernikahan... Maaf, aku tidak bisa."     

"Lisa... Kumohon, pikirkanlah kembali. Silakan mengambil waktu sebanyak mungkin. Aku akan menunggu. Aku tidak keberatan menunggumu sampai kapan pun. Aku hanya mencintaimu..."     

"Maaf..." Gadis itu mengusap matanya dan berusaha tampak tegar. Ia menyentuh tangan pria itu dan mencium pipinya, lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar restoran, tanpa menoleh lagi.     

Pria itu tidak dapat melihatnya, tetapi dari posisi Marion, ia dapat melihat air mata berlinangan di sepasang mata indah gadis itu saat ia melewati meja Marion dan beranjak keluar.     

Pria itu bangkit dan berjalan mengejar gadisnya, tetapi saat ia melewati meja Marion, tiba-tiba tangannya ditarik gadis itu. Dengan wajah terkejut ia berhenti dan menatap Marion keheranan.     

"Siapa kau?" tanyanya sambil menyipitkan mata.     

"Silakan duduk." Marion berdiri dan dengan ramah menekan bahu pria itu untuk duduk di sampingnya. "Jangan dikejar sekarang. Beri dia waktu untuk berpikir."     

Pria itu hendak menolak tetapi seketika ia terkejut karena menemukan bahwa bahunya ditekan dengan sangat kuat. Dari  luar Marion terlihat hanya menepuk bahunya dengan akrab, seolah kepada seorang teman, tetapi pria itu dapat merasakan tenaganya yang sangat besar.     

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya lagi.     

"Uff... cinta memang brengsek ya. Ia bisa membuat seorang pembunuh profesional yang tangguh menjadi laki-laki cengeng yang mengejar wanita," komentar Marion sambil tersenyum.     

Pria itu membulatkan matanya keheranan. Ia berusaha meneliti Marion dan menebak siapa gerangan wanita ini yang memiliki tenaga begitu kuat dan mengetahui identitasnya di masa lalu. Perempuan ini pasti bukan orang sembarangan.     

Setelah memastikan bahwa wanita di depannya ini tidak memiliki niat jahat kepadanya, pria itu akhirnya melemaskan bahunya dan duduk. Tanpa sadar ia menghela napas.     

"Aku mencintainya," katanya pelan. "Aku belum pernah mencintai seorang wanita seperti dirinya."     

Marion mengangguk. "Aku bisa menebak. Kalian menjalin hubungan cukup lama, dan saat kau ingin menikahinya dan menceritakan semuanya tentang dirimu, ia menjadi ketakutan dan terkejut. Ia merasa ditipu karena kau bukanlah seperti yang selama ini ia duga."     

"Kau menguping," cetus laki-laki itu dengan nada suara kesal. "Itu tidak sopan."     

"Hei, bukan salahku, ya. Aku jago membaca bibir. Kalau kau tidak ingin orang lain menguping, kenapa tidak bicara di kamar saja?" balas Marion tidak mau kalah.     

Pria itu menggeleng pelan. "Dia hanya mau bertemu denganku di tempat umum."     

"Ouch... separah itu. Dia pikir kau akan membunuhnya kalau kalian berduaan? Wah... itu sudah keterlaluan namanya. Lebih baik kau mencari wanita lain yang mau menerimamu apa adanya," komentar Marion. Ia memberi tanda kepada pelayan agar membawakan sebotol wine untuk mereka berdua. "Aku akan menemanimu minum untuk meredakan kesedihanmu. Kebetulan aku sedang bosan."     

Pria itu mengerutkan keningnya. "Kau masih belum bilang siapa dirimu."     

Marion tersenyum tipis dan kemudian menelengkan kepalanya dengan ekspresi kocak. "Aku? Aku Marion."     

"Kau tahu siapa aku?" tanya pria itu dengan penuh perhatian. Untuk sesaat perhatiannya memang teralihkan.     

Marion mengangguk, "Siapa tidak mengenal Mischa Rhionen, salah satu dari empat pimpinan RMI, dan mantan pembunuh paling ditakuti dari Rhionen Assassin yang sudah dibubarkan belasan tahun lalu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.