The Alchemists: Cinta Abadi

Melepas Rindu



Melepas Rindu

0Sebelum L dapat berpikir lebih lanjut, pria itu telah berjalan maju dan menunggunya di bawah tangga, mengembangkan tangannya dan memberi tanda agar L turun langsung ke haribaannya.     

Wajah gadis itu seketika berubah menjadi kemerahan. Ia tidak mengira London akan bersikap begitu mesra di depan orang-orangnya. Begitu ia menapak anak tangga terakhir dan turun ke landasan, L segera menyerahkan Lily ke gendongan London.     

Pria itu menyambutnya dengan senyuman dan menciumi Lily yang kegelian dan tiba-tiba tertawa.     

L dan London seketika saling pandang. Lily sudah mulai sering tersenyum, tetapi ia belum pernah tertawa selepas itu di depan mereka.     

"Astaga... rupanya kau senang sekali bertemu ayah," komentar London dengan gembira. Ia menciumi Lily lagi dan menempelkan hidungnya pada hidung bayi itu. "Kau menggemaskan sekali, kau tahu itu kan?"     

L hanya tersenyum melihat interaksi ayah dan anak itu. Ia tak dapat menyangkal perasaan bahagia di hatinya saat pulang kembali ke Berlin. Entah kenapa ia sudah merasa punya rumah di sini.     

"Apakah Lily merindukan ayah?" London berkali-kali menggoda Lily yang ada di gendongannya. "Ayah sangat merindukanmu."     

"Sepertinya dia merindukanmu," komentar L. "Lihat, dia gembira sekali bertemu denganmu."     

London tersenyum jahil saat menoleh ke arah L. "Aku memang menggemaskan dan membuat rindu, tentu saja Lily merindukanku. Bagaimana denganmu?"     

L hanya memutar matanya dan berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. London segera mengikutinya. Sebelum ia masuk ke mobil ia memanggil Pammy agar datang mendekat.     

"Pammy, kau bisa pulang sendiri, kan? Supirku akan mengantarmu langsung ke rumah." London menunjuk ke sebuah mobil BMW hitam yang ada di samping mobil Mercedesnya. "Namanya Ben."     

Pammy mengangguk hormat. "Tentu saja, Tuan. Aku akan langsung pulang ke apartemenku. Kalian hati-hati di jalan, selamat beristirahat."     

Ia mengangguk ke arah Ben dan masuk ke dalam mobil yang akan digunakan untuk mengantarnya. London mengikuti L yang sudah masuk ke dalam mobil mereka dan duduk di samping gadis itu. Dave, Marc, dan tim pengamanannya mengikuti mereka dengan beberapa mobil yang lain.     

Ini adalah pertama kalinya L satu mobil dengan London dalam suasana resmi setelah ia membuka jati dirinya sebagai London Schneider. Ternyata begini rasanya. Gadis itu mengamati beberapa mobil di sekitar mereka yang berisi tim pengamanan London.     

Saat itu ia merasa sangat aman. Kekuatiran yang sempat menggayuti pikirannya semalaman karena memikirkan ancaman dari pihak Danny Swann seketika hilang.      

"Terima kasih sudah menjemput kami," gumam L hampir tanpa suara. "Aku tahu kau sangat sibuk."     

London hanya mengangkat bahu. "Aku tidak pernah sibuk untukmu dan Lily."     

L menoleh saat mendengar kata-kata itu. Ia menatap London seolah ingin mempercayai ucapannya tetapi sulit.     

"Kenapa? Kau tidak percaya kepadaku?" tanya London dengan nada tersinggung. "Coba minta apa saja kepadaku, aku pasti akan mengabulkannya."     

L menggigit bibirnya mendengar kata-kata itu. "Ugh.. kau masih mau menjadi sinterklasku..."     

London seketika ingat protes L waktu itu dan ia akhirnya menghela napas. "Ah.. sebenarnya bukan itu maksudku. Aku hanya akan melakukan sesuatu untukmu kalau kau meminta. Kau tidak tahu betapa senangnya aku tadi malam waktu kau akhirnya meminta sesuatu dariku. Lelaki itu sangat senang kalau merasa dibutuhkan, kau tahu itu?"     

L menggeleng. "Aku tidak tahu. Yang jelas aku tidak suka merepotkan orang lain."     

London menatap L lekat-lekat. "Aku bukan orang lain."     

L tidak dapat membantah kata-kata pria itu. Lagipula ia tidak punya energi untuk bertengkar. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk. "Baiklah."     

London tersenyum melihat L tidak lagi protes dan membantah kata-katanya. Ia memang merasa L akhir-akhir ini banyak berubah. Mungkin memang pembicaraan mereka dari hati ke hati waktu itu berhasil mengubah buruknya komunikasi mereka dulu.     

Ia hendak mengatakan sesuatu tetapi tiba-tiba saja Lily menangis pelan dan menggapai-gapai.     

"Uhm... dia lapar, aku harus menyusuinya dulu," kata L. Ia mengulurkan tangannya dan mengambil Lily dari  pangkuan London. Pria itu mengalah dan menyerahkan bayinya kepada L yang segera membuka kancing pakaian atasnya dan menyusui Lily.     

L tidak pernah sungkan menyusui di depan London. Mungkin karena ia tahu pria itu telah melihatnya dalam berbagai keadaan, termasuk keadaan paling rentan dan tidak menarik dalam hidup: yaitu saat ia melahirkan bayi mereka.     

London sendiri yang sering memiliki pikiran mesum saat memandang tubuh L, entah kenapa setiap L mengeluarkan payudaranya untuk memberi ASI pada Lily, tidak pernah menjadi mesum saat proses menyusui sedang berlangsung.     

Ia hanya dapat menatap kagum, kadang-kadang sedikit iri. Melihat kedekatan L dan Lily setiap kali mereka dalam posisi seperti itu, ia kadang berharap kaum lelaki juga diberikan anugerah untuk dapat menyusui bayi mereka.     

Kedekatan hubungan antara ayah dan anak saat sang ayah memberi susu kepada bayinya lewat botol, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan dekatnya hubungan batin antara ibu dan anak saat proses menyusui seperti ini.     

"L... Walaupun aku sangat menyayangi anak kita, nanti kalau kita menikah, kita tidak usah punya anak lagi," kata pria itu tiba-tiba. L yang kaget mendengar ucapan London yang keluar tanpa ada angin tanpa ada hujan ini, segera menoleh dengan kening berkerut.     

"Kenapa kau tiba-tiba bicara seperti itu? Aneh sekali..." gumamnya hampir tidak kedengaran. Nadanya lebih seperti omelan dan pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban.     

"Aku jadi ingat waktu kau dulu melahirkan Lily. Waktu itu situasinya sangat menakutkan... Aku takut setengah mati kalau terjadi apa-apa kepadamu." London mengaku. "Aku tidak mau kau mengalami hal mengerikan seperti itu lagi."     

L sebenarnya merasa terharu, tetapi entah kenapa secara otomatis ia malah memutar bola matanya. "Ah, kau ini... Melahirkan adalah peristiwa alam yang dialami semua mahluk perempuan. Bukan hanya manusia, hewan betina juga mengalami fase itu dan rata-rata mereka baik-baik saja."     

London tertegun mendengar kata-kata L. Ia menarik tangan kiri  gadis itu dan ditaruh di pangkuannya. Wajahnya menatap L dengan ekspresi penuh selidik.     

"Kau mau melahirkan lagi? Kita buat adik untuk Lily?" tanyanya dengan nada bersungguh-sungguh.     

Sekarang giliran L yang terkejut. Kenapa tiba-tiba mereka malah membicarakan soal kelahiran dan anak lagi? Heyy... fokus, dong. Masalah kita masih banyak dan belum selesai... gerutunya dalam hati.     

"Gila..." Akhirnya hanya itu yang keluar dari bibir L. Ia membuang muka ke luar jendela, memperhatikan jalan yang mereka lalui dalam perjalanan menuju ke rumah. Ia baru menyadari bahwa ia tidak  mengenali rute ini. "Eh, kita mau kemana? Bukannya pulang ke Grunewald?"     

"Oh... aku lupa bilang. Rumahmu sedang disetrilkan. Kemarin staf rumah menemukan seekor kutu hama di halaman, jadi aku menyuruh tim pembersih untuk mensterilkannya. Aku tak mau kenyamanan kalian terganggu." London menjelaskan. "Kau tidak keberatan, kan?"     

L hanya bisa menggeleng. Ia lebih senang kalau staf rumahnya melapor kepada dirinya agar ia dapat mengambil keputusan, tetapi ia kemudian ingat bahwa sebenarnya rumahnya di Grunewald itu adalah rumah London, dan keputusannya untuk mensterilkan rumah itu juga bukan keputusan buruk. L sudah belajar untuk tidak bertengkar karena hal-hal kecil.     

"Aku tidak keberatan," katanya. "Lalu kami akan tinggal di mana sampai rumahnya steril?"     

"Kau bisa lihat sendiri." London menjawab dengan nada penuh rahasia.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.