The Alchemists: Cinta Abadi

Di Monte Carlo



Di Monte Carlo

0Mereka kembali bercinta malam itu sebelum keduanya tidur sambil berpelukan. Fee merasa begitu nyaman ada dalam dekapan Ren sepanjang malam. Ia juga merasa bahagia melihat Ren begitu relax setelah mereka berhubungan seksual dan bisa tidur dengan pulas.     

Sejak mereka kenal, ia belum pernah melihat Ren tidak dapat tidur. Padahal selama ini, Ren memiliki reputasi sebagai satu-satunya tamu di resort yang sangat sulit untuk tidur dan selalu bersikap ketus akibat suasana hatinya yang buruk.     

Sungguh... Fee sama sekali tidak dapat membayangkan versi lain dari Ren Hanenberg dari yang selama ini dikenalnya secara pribadi. Ia tak dapat membayangkan Ren yang ketus...     

Fee hanya pernah satu kali melihat Ren bersikap keras yaitu pada Pak Krause saat ia mengatakan bahwa permintaan Ren untuk menjadikan Fee sebagai pelayan pribadinya tidak dapat dipenuhi.     

Selain satu peristiwa itu, Fee tak pernah melihat Ren bersikap ketus atau bahkan menegur stafnya yang melakukan kesalahan. Maka ia tak dapat membayangkan Ren sebagai laki-laki yang dingin dan tak disukai orang luar.     

***     

"Kau sudah siap?" tanya Ren sambil membuka pintu untuk Fee. Gadis itu mendorong koper kecilnya dari kamar dan mengangguk.     

"Aku tidak sabar," kata Fee dengan gembira.     

"Biar Henri yang membawakan kopermu," kata Ren sambil mengangguk kepada supirnya yang dengan sigap segera mengambil koper Fee dari tangannya.      

"Terima kasih," kata Fee sambil tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan Ren segera menggandeng Fee keluar mansion. Di halaman, sudah menunggu mobil Rolls Royce mewah berwarna hitam yang biasa dipakainya.     

Henri dengan sigap membukakan pintu untuk majikannya dan Ren membantu Fee naik ke mobil. Ia lalu menyusul dan duduk di samping gadis itu. Tidak lama kemudian Henri telah mengemudikan mobil menuju ke bandara Almstad.     

Sebuah mobil hitam mengikuti di belakang mereka, berisi beberapa pengawal pribadi Ren. Perjalanan berlangsung lancara tanpa ada hambatan sama sekali. Ini adalah saat pertama kali Fee meninggalkan kediaman Ren dan ia melihat-lihat keluar jendela dengan ekspresi kagum.     

Selama seminggu terakhir ini, Fee memutuskan untuk berdiam di rumah sambil menunggu Ren yang sibuk bekerja. Ia menghabiskan waktunya berkonsultasi dengan desainer interior untuk menata ulang kamar Ren yang lebih besar dari kamarnya untuk menjadi kamar mereka bersama setelah pulang dari Monaco nanti.     

Karena Ren tidak peduli dengan kamar kediamannya, Fee memutuskan untuk mengambil tindakan proaktif dan menata kamar yang sesuai untuk mereka berdua. Kamarnya sekarang terlalu kecil dan feminin untuk Ren, sementara kamar Ren sendiri terlalu polos dan tidak menunjukkan pribadi penghuninya karena sudah lama Ren tidak menggunakannya sepenuhnya.     

Pria itu ternyata selama ini lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan atau ruang kerjanya daripada di kamar tidur pribadinya. Baru akhir-akhir ini saja ia mulai mengurangi tinggal di ruang kerjanya setelah kehadiran Fee.     

Kini, tidak ada satu malam pun yang berlalu tanpa Ren dapat beristirahat dengan baik. Selalu dengan Fee dalam pelukannya.     

Ia selalu mengatakan bahwa Fee selalu membuatnya merasa begitu nyaman dan bahagia, sehingga perasaannya menjadi cukup relaks untuk bisa tidur.     

"Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi," Ren mengaku pada suatu hari. "Sejak aku bersamamu... rasanya suasana hatiku selalu menjadi sangat baik. Kurasa... mendengar suaramu membuatku bahagia."     

"Oh ya?" Fee tersenyum lebar saat mendengar pengakuan Ren. Pria itu bukan seorang romantis yang biasa mengeluarkan kata-kata manis. Maka jika ia mengatakan sesuatu, ia selalu bersikap apa adanya.     

"Benar. Aku rasa kau memang wanita yang sangat istimewa," Ren menegaskan ucapannya. "Aku memperhatikan tanaman-tanaman yang ada di sekitar kamar juga tumbuh dengan lebih sehat. Tanaman aster dan dahlia di luar jendela sampai sekarang masih berbunga dengan indahnya, padahal ini sudah musim gugur."     

"Oh.. kau memperhatikannya juga?" tanya Fee dengan wajah gembira. "Aku tidak tahu apakah bunga-bunga itu memang menjadi bahagia karena mendengar suaraku, tetapi sedari dulu aku senang bernyanyi untuk tanaman-tanaman yang kupelihara."     

Ren mengangguk. "Itu yang aku rasakan. Suaramu selalu membuatku merasa senang dan bahagia. Kupikir tanaman juga tidak bisa berbohong."     

"Ah.. aku berharap itu benar. Aku senang melihatmu bisa tidur dengan baik," kata Fee.     

"Kau adalah sumber keberuntunganku," kata Ren sungguh-sungguh. "Aku sangat senang bertemu denganmu. Sejak ada kau dalam hidupku, aku merasa bahagia."     

Fee sangat tersentuh mendengar kata-kata Ren. Ia menundukkan kepalanya dan menjadi tersipu mendengar ucapan pria itu. "Aku juga bahagia bersamamu. Aku senang kau datang ke Salzsee sehingga kita dapat bertemu."     

Ren hanya tersenyum kecil dan meremas tangan Fee dengan lembut. Mereka tidak berbicara apa-apa lagi di sepanjang perjalanan. Mobil mereka tiba di bandara setengah jam kemudian dan segera menuju ke runway. Pesawat pribadi Ren telah menunggu.     

Ren menoleh ke arah Fee saat mobil berhenti di dekat pesawatnya. Wajah pria itu tampak agak keheranan.     

"Kau tidak kaget kita langsung ke runway?" tanyanya kepada Fee.     

Gadis itu mengerutkan keningnya.     

"Kenapa mesti kaget?"     

Ren menatap Fee agak lama dan kemudian menggeleng. "Biasanya orang kalau naik pesawat harus melewati security check dan check in counter di terminal. Kau sama sekali tidak kaget melihat kita tidak melewati itu semua dan langsung menuju ke pesawat di runway. Seolah kau biasa naik pesawat pribadi."     

"Oh.. benarkah?" Fee menjadi keheranan mendengar kata-kata Ren. Ia baru memikirkan keanehan sikapnya sendiri.     

Benar juga. Ia tidak ingat kapan ia pernah naik pesawat dan ke mana. Mengapa ia bisa bersikap demikian natural saat Ren membawanya masuk ke pesawat pribadi seperti ini?     

"Uhm.. aku tidak ingat pernah naik pesawat," kata Fee agak malu-malu. "Mungkin aku memang tidak tahu mekanisme terbang itu seperti apa, jadi aku mengira semuanya sama saja. Jadi.. apakah kita akan naik pesawat pribadi?"     

"Benar," kata Ren. "Kau ini menyimpan banyak misteri, ya..."     

"Aku tidak tahu apa-apa... mungkin saja aku begini karena aku belum pernah naik pesawat sebelumnya, sehingga tidak mengerti bedanya."     

"Hmm... bisa jadi seperti itu." Ren akhirnya mengangguk-angguk. Rasanya memang sulit dipercaya gadis desa seperti Fee pernah naik pesawat pribadi sebelumnya.     

Mereka naik ke pesawat berkapasitas 20 penumpang itu dan segera duduk di dua buah kursi yang sangat nyaman. Perjalanan ke Monaco akan berlangsung selama dua jam dan mereka memutuskan untuk membicarakan tentang proses pernikahan mereka di Monaco nanti.     

"Biasanya, untuk menikah di Monaco, kedua pemohon atau salah satunya harus tinggal di Monaco selama minimal 30 hari." Ren menjelaskan. "Tetapi karena aku mengenal Pangeran Johann, salah seorang anggota keluarga kerajaan di sana, semuanya bisa dipermudah. Ia juga yang akan menjadi salah satu saksi kita nanti."     

"Apakah ia tidak akan membocorkan identitasmu dan pernikahan kita?" tanya Fee. "Maksudku.. sebagai seorang bangsawan, ia tentu kenal dengan anggota keluarga kerajaan Moravia yang lain. Apakah tidak mungkin suatu kali nanti ia keceplosan.. atau bagaimana? Aku tidak mengerti kenapa kau tidak menggunakan saksi orang biasa saja."     

"Ia tidak akan mengkhianatiku," kata Ren kalem. "Lagipula, menurutku lebih baik memiliki saksi dari kalangan bangsawan, supaya nanti saat kita perlu mengumumkan pernikahan, orang-orang tidak akan berpikiran negatif tentang alasan kita menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Johann bisa bertindak sebagai saksi yang mengonfirmasi pernikahan kita kepada publik nanti."     

"Oh... begitu ya?" Fee mengangguk-angguk.     

Gadis itu menuruti saja semua rencana Ren karena menurutnya Ren lebih mengerti keadaan mereka dibandingkan dirinya sendiri.     

Pesawat pribadi berukuran sedang itu mendarat di bandara Monte Carlo pukul 5 sore. Amelia telah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna. Beberapa mobil telah menjemput rombongan kecil itu di bandara dan segera membawa mereka ke Hotel De Paris Monte Carlo.     

Ini adalah hotel termewah di kerajaan Monaco yang serba mahal. Monaco sendiri merupakan salah satu negara terkecil di dunia yang sangat kaya. Menurut survei, 30% penduduknya adalah jutawan. Hotel De Paris yang terletak di pinggir laut merupakan tempat paling wajib dikunjungi oleh orang-orang kaya dunia yang datang ke Monaco.     

Kedatangan Ren dan Fee langsung disambut oleh GM hotel yang dengan penuh hormat mengantar sendiri pasangan ini ke penthouse Princess Grace yang terletak di puncak hotel. Fee tampak kagum melihat keindahan hotel mewah itu.     

Ia menyukai desain hotel dan penataan perabotannya yang anggun. Penthouse yang mereka tempati sungguh sangat mengesankan. Penthouse itu memiliki dua master bedroom mewah dan mengambil lokasi di dua lantai. Luas bagian outdoornya hingga 400 m2 dan menampilkan pemandangan cantik ke arah laut.     

"Ini cantik sekali..." gumam Fee sambil berjalan menyusuri ruang tamu menuju ke teras luar.     

"Benar. Cantik sekali..." kata Ren yang menatap Fee berjalan meninggalkannya. Ia lalu menoleh kepada GM yang sedang berdiri di sampingnya. "Bukankah istriku sangat cantik?"     

GM hotel tersenyum lebar dan mengangguk. "Tuan benar. Anda sangat beruntung."     

"Aku tahu," kata Ren sambil mengangguk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.