The Alchemists: Cinta Abadi

Aku Akan Bekerja Dan Menabung Untuk Ke Monaco



Aku Akan Bekerja Dan Menabung Untuk Ke Monaco

3Lima menit kemudian terdengar ketukan di pintu penthouse. Ren segera membukanya dan melihat istrinya berdiri di depan pintu. Pemuda itu mempersilakan Fee masuk dan kemudian menutup pintu di belakangnya.     

"Mau minum?" tanya Ren sambil mengangkat poci teh.     

Fee mengangguk. "Terima kasih."     

"Tunggu sebentar. Silakan duduk," kata Ren. Ia berjalan masuk ke dalam, sebelumnya memberi tanda agar Fee duduk di ruang tamunya yang megah.     

Fee menurut dan duduk di salah satu sofa tunggal sambil mengamati sekelilingnya. Sambil menunggu Ren membuatkan teh untuk mereka, ia mengagumi ruang tamu yang demikian mewah. Ini adalah tempat paling mewah yang pernah dilihatnya, bahkan jauh lebih mewah daripada rumah pribadi Ren dan resort di Salzsee.     

Ah, Fee ingat, rumah pribadi Ren adalah warisan dari ibunya. Sehingga desainnya tidak semodern penthouse ini yang kemungkinan merupakan kediaman pilihan Ren sendiri.     

Dalam hati ia bertanya-tanya apa saja sebenarnya aset yang dimiliki suaminya. Mengapa Ren tidak pernah membawanya kemari walaupun mereka telah menikah lebih dari setahun?     

Apakah Ren masih takut membuka semuanya kepada Fee sebelum pernikahan mereka berlangsung aman selama lima tahun?     

Mungkin Ren masih belum dapat mempercayai Fee sepenuhnya. Kalau sampai ia membuka semua rahasia dan asetnya, dan tiba-tiba Fee hendak meminta berpisah dan mengancam untuk membuka rahasia pernikahan mereka, mungkin Ren takut ia akan kehilangan hartanya.     

Fee mendesah sedih. Kalau memang benar itu yang terjadi, ia merasa sangat sedih. Ren ternyata tidak mempercayainya.     

Fee sama sekali bukan gadis materialistis. Ia tidak menikahi Ren karena kedudukan dan kekayaannya. Fee bahkan mendukung apa pun yang diinginkan suaminya. Ren mengatakan ia ingin mundur dari kedudukannya, maka tentu saja Fee akan menerima apa pun yang ia ingin lakukan. Fee menikahinya bukan karena ia pangeran, juga bukan karena dia sangat kaya.     

Fee tahu bahwa baginya semua itu tidak penting.     

Ah.. seandainya saja suaminya bisa mengerti isi hatinya dan mempercayainya.     

Ketidakpercayaan Ren pada Fee.. pasti itulah masalah sebenarnya, sehingga Ren tidak mau terbuka dan bahkan tidak mengizinkan Fee mengandung.     

Kalau dipikir-pikir, tidak ada salahnya Fee melahirkan anak dari pernikahan mereka. Toh, sampai kapan pun ia akan selalu ada di balik layar dan tidak akan menggangu Ren dan tugas-tugasnya.     

Seperti yang Ren katakan sendiri, empat tahun lagi setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya, mereka dapat menyepi dan hidup tenang. Tidak perlu terlibat dengan urusan politik dan dunia.     

Bukankah, pada saat itu tiba, mereka tinggal melanjutkan kehidupan rumah tangga mereka dan hidup berbahagia dengan anak mereka?     

Pemikiran-pemikiran inilah yang membuat Fee merasa sangat terganggu. Ia tidak tahu mengapa, tetapi berdasarkan semua penilaiannya, Fee menjadi yakin bahwa Ren memilliki alasan lain.     

Fee sudah tahu bahwa Ren tidak mencintainya. Apakah itu alasan sebenarnya mengapa Ren tidak mau memiliki anak darinya?     

Apakah Ren takut ia juga tidak akan dapat mencintai anak mereka?     

Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang.      

"Maaf sudah membuatmu menunggu," kata Ren yang muncul dengan sebuah nampan berisi poci teh keramik yang elegan dan dua buah cangkir kecil.     

Ia duduk dengan anggun di seberang Fee dan menuangkan teh ke masing-masing cangkir mereka. Ia menyerahkan satu cangkir kepada Fee yang diterima gadis itu dengan tangan gemetaran. Ren memperhatikan sikap Fee seperti itu hanya mengerutkan keningnya, ia tidak bertanya apa-apa.     

"Terima kasih," kata Fee.     

Fee menyesap tehnya dan kemudian menaruh cangkirnya di meja. Ia lalu duduk sambil menaruh kedua tangan di pangkuannya dan mengamati Ren. Pria itu masih menyesap tehnya dengan tenang.     

"Ren... aku sudah mengambil keputusan," kata Fee beberapa saat kemudian. Walaupun tangannya gemetaran, suaranya terdengar tenang.     

Ren menaruh cangkirnya dan mengamati Fee baik-baik. Ia menghitung, sudah tiga minggu sejak peristiwa itu terjadi. Fee seharusnya sekarang sudah mengetahui apakah ia hamil atau tidak.     

"Apa keputusanmu itu?" tanya Ren dengan ketenangan yang sama.     

"Aku pikir, kita terlalu cepat menikah. Kurasa waktu itu aku sedang sangat sedih dan kesepian karena tidak memiliki siapa-siapa, sehingga aku menerima lamaranmu begitu saja. Aku merasa rapuh dan tidak berpikir jernih, sehingga aku menyetujui perjanjian yang ternyata tidak sanggup aku penuhi. Aku sudah berusaha sebaik mungkin menjadi istrimu yang baik dan selalu mendukungmu dengan apa pun yang kubisa. Tetapi, aku tidak mengira bahwa ternyata aku tidak sekuat yang kubayangkan," Fee menatap Ren berusaha mencari tahu bagaimana sikap Ren mendengar keputusannya. Sayang sekali, wajah Ren sama sekali tidak berubah.      

Fee menarik napas perlahan-lahan, untuk melonggarkan dadanya yang terasa sangat sesak. Ia melanjutkan kata-katanya dengan teratur dan tenang. "Aku minta maaf karena melanggar janji. Aku tidak tahan dengan hubungan kita seperti ini. Aku tidak tahan dengan keberadaan Amelia, dan aku merasa sangat kesepian. Aku takut jika kita melanjutkan pernikahan, aku hanya akan merepotkanmu lebih jauh. Karena itu aku ingin berpisah."     

Ren tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Ia sebenarnya ingin mendengar dari Fee tentang kondisi kesehatannya dan apakah ia mengandung atau tidak. Tetapi gadis itu sama sekali tidak membahasnya.     

Apakah itu berarti... Fee hamil? Ia memutuskan untuk berpisah karena ia tahu Ren tidak dapat menerima kehamilannya...?     

Ren menatap Fee dengan pandangan penuh selidik. Akhirnya ia pun bertanya terus terang.     

"Apakah kau hamil?" tanya pria itu.     

Fee menggeleng, berbohong. "Aku tidak hamil. Tetapi peristiwa itu membuatku sadar bahwa kita tidak menginginkan hal yang sama, dan aku tidak ingin hal itu terulang lagi di masa depan jika kita memaksa mempertahankan pernikahan ini."     

Dada Ren seolah diguyur air yang sangat dingin saat mendengar jawaban Fee.     

Ia merasa lega. Ia tidak mau melibatkan anak dalam situasi yang tidak menguntungkan ini.     

Ia dapat melonggarkan ikatannya pada Fee untuk sementara dan membiarkan gadis itu pergi mencari kebebasan dan menenangkan diri. Nanti ia akan dapat mencari cara untuk mendekatinya kembali dan membujuknya untuk rujuk.     

Benar.. ia akan memberi Fee ruang untuk berpikir dan menenangkan diri. Ia tidak akan mengganggunya.     

Asalkan Fee memang tidak hamil, hidup mereka akan baik-baik saja.     

"Aku mengerti," kata Ren. "Kau sedang perlu waktu untuk memikirkannya. Aku setuju kita berpisah sementara, tetapi aku tidak mau bercerai."     

"Ren... ini hanya akan merugikanmu ke depannya kalau kau mempertahankan pernikahan dengan orang yang tidak cocok denganmu. Kita tidak menginginkan hal yang sama. Lagipula kau tidak mencintaiku..." Fee tampak mulai putus asa. "Kau juga sebenarnya tidak membutuhkanku. Bukankah kau yang mengatakan bahwa hidupmu baik-baik saja selama tiga puluh tahun sebelum bertemu denganku? Kurasa, tidak ada gunanya lagi kita mengikat diri dalam pernikahan. Kita bisa bercerai dan menganggap semua itu tidak pernah terjadi."     

"Aku tahu kau perlu waktu untuk sendiri, aku juga. Aku telah pergi selama tiga minggu untuk memberi waktu bagi kita masing-masing untuk berpikir," tukas Ren. "Kau tahu kenapa aku pergi, Fee?"     

Fee menggeleng. Ia tidak tahu mengapa Ren meninggalkannya di rumah sendirian. Hal itu sangat menyakiti hatinya.     

"Aku tidak tahu," gadis itu menggigit bibirnya.     

"Aku pergi agar kita bisa berpikir. Kalau pasangan suami istri bertengkar, suamilah yang harus pergi. Aku tidak mungkin menyuruhmu yang pergi," kata pria itu sambil geleng-geleng. "Aku memberimu dan diriku waktu untuk menjauh dan berpikir. Namun, rupanya, setelah tiga minggu, kau masih perlu tambahan waktu. Aku menerima kalau kau ingin berpisah sementara agar kau dapat melakukan apa yang kau mau. Tetapi aku tidak mau bercerai."     

"Tapi..."     

Ren memotong ucapan Fee. "Kalau kau ingin bercerai, kau harus mengajukannya di Monaco. Aku tidak mau bercerai di Moravia. Mustahil kita bisa menyembunyikannya kalau kau mengajukan cerai di Moravia."     

Fee menelan ludah. Biaya perjalanan ke Monaco pasti mahal sekali. Ren dapat dengan mudah ke sana, tetapi Fee tidak memiliki uang sebanyak itu.     

"Aku akan bekerja dan menabung untuk mengurus perceraian ke Monaco." kata Fee akhirnya. "Aku tetap mau bercerai."     

Ren geleng-geleng melihat Fee. Dalam hati ia merasa kesal karena telah salah menilai gadis ini.     

"Kenapa kau keras kepala sekali, Fee?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.