The Alchemists: Cinta Abadi

Aku Ada Di Lobby



Aku Ada Di Lobby

0Wajah Sophia dipenuhi kegembiraan. Ia duduk di samping pria yang dipanggilnya Tuan dan memberi tanda kepada pelayannya untuk menuangkan wine terbaik bagi mereka. Pelayan itu mengangguk hormat dan segera menutup pintu kafe dan menaruh tanda "TUTUP" di jendelanya.     

Tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa satu botol wine termahal yang mereka miliki dan tiga buah gelas. Dengan cekatan ia menuangkan wine ke masing-masing gelas.     

"Silakan Tuan dan Nona," katanya sambil tersenyum.     

"Terima kasih," Sophia mengangguk ke arah kedua tamunya dan mengangkat gelasnya. "Cheers!"     

Mereka minum tanpa bicara apa-apa selama beberapa saat. Hal ini membuat Sophia penasaran. Ia ingin tahu maksud kedatangan mereka ke tempatnya. Dan.. ia telah bertemu sang Tuan beberapa kali, tetapi ia belum pernah melihat pemuda yang bersamanya.     

Setelah diam cukup lama, akhirnya Sophia memberanikan diri untuk bertanya.     

"Bagaimana kabar keponakanku? Apakah ia baik-baik saja?" tanya Sophia dengan nada acuh tak acuh. "Dia tentu sekarang sudah dewasa."     

"Ia sudah dewasa dan sekarang baik-baik saja. Kau akan bertemu dengannya pada waktu yang tepat." Pria yang lebih tua melirik pemuda di sebelahnya dan tersenyum. "Keponakanku menjaganya dengan baik."     

Sophia memaksakan senyum kecil di bibirnya dan mengangguk. "Maaf aku memaksamu datang ke sini. Kau tahu sendiri aku takut diawasi dan tidak pandai menutupi jejak. Kurasa aku sudah sangat bersabar selama sepuluh tahun ini. Aku tidak tahu sampai berapa lama lagi aku bisa bertahan. Aku butuh kejelasan."     

"Kau tahu, Nona Meier, orang yang sabar akan mendapatkan imbalannya. Tetapi orang yang tergesa-gesa akan jatuh karena ceroboh. Kuharap kau tidak melupakan siapa yang kita hadapi. Orang-orang seperti mereka tidak akan dapat dikecoh tanpa persiapan yang demikian matang dan penuh dedikasi." Lelaki yang lebih tua mengetuk-ketukkan tangannya ke meja. Suaranya masih terdengar tenang seperti biasa, tetapi Sophia dapat menangkap sedikit ancaman di dalamnya. "Kalau kau menyerah dan ingin mundur sekarang, kami berharap kau tidak akan menyeberang ke pihak musuh."     

Sophia buru-buru melambaikan tangannya dan menggeleng. Wajahnya seketika dipenuhi kekuatiran. "Aku akan bersabar. Aku bisa bersabar. Aku hanya memerlukan kepastian. Apa yang akan kalian lakukan selanjutnya? Aku tidak ingin berada dalam kegelapan terus menerus. Aku bahkan tidak tahu apakah kalian masih hidup.. apakah keponakanku masih hidup. Ketidaktahuan ini yang membuatku merasa sangat tersiksa."     

Orang yang berhasil menghadapi dan mempermainkan Alaric Rhionen dan keluarganya tidak boleh dipandang remeh. Malah, Sophia lebih takut kepadanya daripada kepada Alaric.     

Ia hanya merasa kuatir karena sudah hampir dua tahun ia sama sekali tidak mendengar kabar apa-apa. Ia juga tidak dapat mencari mereka.     

Bagaimana ia bisa tahu bahwa rencana mereka masih berjalan? Bagaimana kalau telah terjadi sesuatu dan ia sama sekali tidak menyadarinya? Bukankah akan bodoh jika ia terus tinggal di Rotterdam dan mengurusi kafenya ini?     

Ia hanya membutuhkan kepastian. Dan kini mereka sudah datang secara langsung dan memberinya apa yang ia butuhkan. Sophia merasa ia bisa kembali bersabar.     

Ahh.. sudah sepuluh tahun.     

Dendamnya ini sudah begitu berakar dalam dirinya.     

"Baguslah kalau kau mengerti. Aku tidak akan menghubungimu lagi. Tetapi, suatu hari nanti kau akan melihat keponakanku dan keponakanmu bersama. Bila itu terjadi, kau harus menghubungi keluarga Schneider dan Medici. Hanya itu petunjuk yang perlu kau ingat."     

Sophia mengangguk patuh. Ia menatap pria itu dengan pandangan rumit. Hanya begini sajakah?     

Mereka hampir dua tahun tidak bertemu, sekarang... saat ia datang menemuinya, mengapa hanya seperti ini? Apakah ia tidak menginginkanku? pikir Sophia resah.     

Pria itu seolah dapat membaca pikiran Sophia. Ia menyentuh rambut gadis cantik itu dan membelainya pelan.     

Keponakannya mengangguk dan segera bangkit berdiri dan keluar meninggalkan kafe itu tanpa berkata apa-apa. Sikapnya terlihat acuh tak acuh dengan kedua tangan di dalam saku.     

"Ahh.. apa itu artinya kau mau tinggal untuk makan malam?" tanya Sophia dengan penuh harap. Pria itu mengangguk. Wajah Sophia seketika berubah menjadi berseri-seri. "Aku akan mengambil mantelku. Aku tahu ada restoran steak yang enak di dekat sini."     

Ia bergegas berdiri dan masuk ke ruang belakang. Ia keluar tidak lama kemudian dengan mengenakan mantel cantik berwarna biru langit. Ia lalu mengulurkan tangannya dan menggandeng lengan lelaki itu dengan gembira.     

Suasana hati Sophia benar-benar sangat cerah hari ini. Walaupun cuaca di musim gugur tampak begitu kelabu dan angin yang mendera terasa dingin menusuk hingga ke tulang, ia sama sekali tidak mempedulikannya.     

Akhirnya, hidupnya yang sepi terasa sedikit berbunga.     

***     

Ren tiba di penthousenya pada pukul 5 sore. Ada begitu banyak hal yang harus diurusnya selama akhir pekan ini, dan besok ia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadiri konferensi lainnya. Ia belum sempat tidur dan tubuhnya mulai terasa sangat lelah.     

Ah... mengapa ia begitu lemah dan tergantung pada kehangatan tubuh istrinya untuk dapat sekadar memejamkan mata? Memang ia dengan ketus mengatakan kepada Fee bahwa ia sudah hidup dengan baik selama tiga puluh tahun sebelum bertemu Fee, tetapi sesungguhnya ia berbohong.     

Kehidupannya sebelum bertemu Fee sama sekali tidak baik-baik saja. Ia sangat menderita. Ia hanya bertahan karena keinginan kerasnya untuk mencapai begitu banyak hal yang sudah ia rencanakan.     

Hmm.. ia harus bertahan beberapa minggu lagi. Saat itu pasti Fee sudah dapat mengambil keputusan. Mengingat bahwa Fee tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini selain dirinya, Ren merasa yakin bahwa istrinya akan memilihnya.     

Ia hanya perlu menunggu.      

Sementara itu, ia akan menyibukkan dirinya dengan pekerjaan dan berbagai rencana lainnya.      

***     

Fee merasa semakin tidak kerasan tinggal sendirian di rumah tanpa Ren di sana. Semua pelayan masih memperlakukannya dengan baik, tetapi Fee sadar diri, dia bukanlah pemilik rumah. Ia tak mau bersikap sebagai nyonya rumah tanpa suaminya.     

Mengapa Ren memperlakukannya seperti ini? Baru pertama kalinya Fee menentang keinginan suaminya, dan ia tidak mengira Ren akan bereaksi demikian keras. Padahal Fee sendiri sebenarnya tidak menuntut apa-apa. Kalau ia memang hamil, ia hanya ingin membesarkan anaknya dengan tenang. Kalau Ren tidak mau terlibat, Fee tidak akan memaksanya untuk mengakui anak itu.     

Selama seminggu Fee berusaha memikirkan baik-baik semua yang telah terjadi dan apa yang ia inginkan ke depannya.     

Setelah merenung sangat lama, ia akhirnya mengambil keputusan.     

***     

Ren mendelik ketika mendengar bunyi dering panggilan telepon. Ia sedang sibuk mempelajari sesuatu. Ia menyambar ponselnya hendak membanting benda itu ke lantai, ketika ia membaca nama penelepon di layar.     

FEE     

Ia akhirnya menarik napas panjang dan memencet tombol terima panggilan.     

"Ren, aku ada di lobi gedung apartemenmu. Bisakah kita bicara sebentar? Aku yang memaksa John untuk mengantarku kemari. Jadi, tolong jangan marahi dia."     

Ren melihat bahwa ada SMS masuk dari John sejam yang lalu. Mungkin supirnya itu hendak meminta izinnya untuk membawa Fee kemari, tetapi Ren tidak sempat membacanya.     

"Naiklah," kata Ren. Ia lalu menutup teleponnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.